Oleh
Basri Amin
Belakangan ini, ruang publik kita semakin disesaki oleh “iklan diri” dan “warna kelompok”. Sebagiannya mengandung fantasi, sebagiannya lagi berisi fakta. Keduanya campur-baur mengisi obsesi-obsesi personal dan mendayagunakan sumberdaya institusional. Gejala ini mengandung persoalan: edukasi dan apresiasi kepada (banyak) pihak yang sesungguhnya sama-sama bekerja-nyata bagi orang banyak semakin hilang. Tergantikan oleh pantulan personal!
Lembaga-lembaga publik pun cenderung semakin ter-personal-isasi. Teks publik dan simbol institusi publik –yang sesungguhnya merupakan “milik bersama” dan tumbuh-terkelola menggunakan “uang publik”— hari-hari ini demikian mudah dikalahkan dan dikuasi penggunaannya oleh wajah-wajah tunggal dan pejabat puncak di lembaga-lembaga publik. Sewajarnya, etika publik bagi performa lembaga publik harus dirumuskan dengan jernih dan jujur.
Tampaknya, sadar atau tidak, banyak pihak belakangan ini terkesan sangat obsesif membangun (tabiat) propaganda: mengondisikan (pandangan) orang banyak dengan cara mengerdilkan sedemikian rupa beragam kemungkinan, pilihan, dan fakta-fakta. Keadaan yang kompleks kemudian dipoles oleh beragam mediasi yang memaksa agar keadaan dan peran-peran bersama menjadi lebih manunggal atau memusat kepada “seseorang” atau pun kepada “kelompok” dominan.
Sejak tahun 2000-an negeri ini beroleh gempuran baru di ruang-ruang publiknya. Terjadi ledakan jumlah organisasi masyarakat, partai-partai politik (baru), momen-momen (pemerintahan) di era otonomi daerah, aspirasi-aspirasi kelompok dan kegiatan-kegiatan (publik) oleh lembaga pendidikan, organisasi keagamaan, profesi, dst. Semuanya dipaksa eksis di ruang publik. Terkesan kuat, bahwa tanpa umbul-umbul dan/atau baliho, juga beragam (gaya dan bayaran) advertorial, sebuah organisasi, kelompok atau tokoh, seperti tidak “terakui” keberadaannya. Mereka terpukau menjadi tontonan! Spektrum di media ini, dua tahun lalu, sudah membaca gejala involutif seperti ini.
Umbul-umbul (di ruang publik) menjadi ke-unggul-an tersendiri di negeri ini. Semua jenis “manusia Indonesia” yang, sengaja atau tidak, menjadikan umbul-umbul dan baliho sebagai ekstensi dari diri dan organisasinya, jelas mempunyai struktur nalar dan motif-motif (khusus) yang tertanam dalam egoisme tertentu. Pada beberapa keadaan, kita bisa menemukan sejumlah motivasi yang luhur-utuh, tapi pada banyak kesempatan lain, kita juga sangat merasakan adanya akal-bulus dan tipu-muslihat (pencitraan) yang dicoba disamarkan di ruang-ruang publik.
Pencerdasan publik seringkali dikacaukan dengan teknik propaganda dan sosialisasi sepihak yang nyata-nyata tidak dirancang untuk penyebaran informasi yang jujur dan edukatif. Tak jarang, yang terjadi adalah “sampah informasi” yang meluber di mana-mana. Rasa publik diabaikan sedemikian rupa karena kegagapan elite-elite (masyarakat) dalam memproyeksi (kebutuhan) warga yang sebenarnya. Terpaan informasi kesehatan, pendidikan, solidaritas ke-agama-an, kepedulian sosial, ajakan partisipasi, iklan-iklan komersial dan kampanye acara beberapa tahun terakhir ini sudah “sesak-bertabrakan” di ruang-ruang publik kita. Kaidah edukasi dan estetika nyaris sudah hilang, padahal itu semua (kebanyakan?) menggunakan “uang negara”.
Kerangka etis-organisasi juga tak begitu jelas, yang mana kepentingan pribadi, keluarga -–dan indikasi-indikasi privat lainnya— dan bagian-bagian mana yang (sejujurnya) “untuk publik”. Kepentingan publik dan “pencerdasan bangsa” direndahkan sedemikian rupa oleh rapuhnya etika bersama –yang terkesan—sangat mudah dipinggirkan oleh mereka yang bertengger di kekuasaan. Tentu, gejala ini bukan peristiwa sederhana. Pada beberapa keadaan, “sindikasi” merebut/memelihara kekuasaan –-beserta motif-motif kerakusan dan klik-kelompok yang inheren di dalamnya–.
Kita harus waswas, kalau-kalau negeri ini berada di jalan yang salah dalam agenda pencerdasan publiknya. Kita butuh merasa, kalau-kalau organisasi-organisasi publik kita justru makin digerakkan oleh orang-orang yang lihai menyamarkan motif-motif pribadi dan kelompok tapi dengan meminjam “banyak tangan” dan “pikiran orang lain” di media-media publik. Mereka tampak cakap menjual “kebenaran” dan “kemajuan” tetapi sesungguhnya diam-diam ia menyamarkan dan menyamankan kawanan sendiri dengan mengeruk sumberdaya bersama.
Rasanya sudah semakin mendesak menerapkan sistem terapi “Revolusi Mental” di negeri ini. Bahwa keunggulan tak bisa otomatis tertancapkan, semudah memasang umbul-umbul berkibar-kibar di pinggir jalan. Keunggulan tidaklah bisa disamar-samarkan melalui warna-warni baliho di ruang-ruang publik. Ikatan-ikatan komunal yang melangkahi kaidah-kaidah kemasadepanan sangatlah jelas akan menjadi penyakit kronis bagi Indonesia. Di luar itu, sindikasi keluarga/kerabat, kawanan kelompok, dan nalar jangka pendek adalah virus laten bagi organisasi-organisasi publik kita. Kita harus cerdas memastikan apakah kita terbukti melahirkan dan memilih orang-orang yang satu antara kata-kata dan perbuatannya. Cermatilah di sekitar Anda! ***
Penulis adalah Parner di Voice-of-HaleHepu.
Pos-el: basriamin@gmail.com










Discussion about this post