Oleh
Basri Amin
Bagi mereka yang tidak (pernah) punya Guru, mereka tidak akan pernah sungguh-sungguh mengenal “hari esok”. Jika ada pekerjaan yang hendak menjawab semua harapan kita tentang hari esok, maka itulah pekerjaan seorang Guru. Gurulah yang “menggenggam” semua cita-cita sebuah bangsa dan membawanya di dalam ruang-ruang kelas mereka. Hampir semua bahasa harapan, keluhuran hidup, dan kebaikan menghidupi kerja-kerja mereka sehari-hari.
Begitulah yang saya rasakan setelah hadir dalam dialog “Literasi Poros Pendidikan” yang digerakkan oleh Balai Guru Penggerak (BGP) provinsi Gorontalo pada hari Ahad 13 November 2022. Kepala BGP, Pak Eky A. Punu, Kepala Kantor Bahasa Provinsi Gorontalo, Ibu Armiati Rasyid, beberapa penulis muda-terpilih Gorontalo dan “Isal Gorapu” berhasil menegaskan bahwa daerah ini butuh banyak aktor, komunitas, dan penggerakliterasi di sektor pendidikannya. “Kondisi kita tidak sedang baik-baik saja!”. Sebuah percakapan pendidikan yang hidup, terbuka, dan bertenaga.
Pada akhir abad ke-13, kata Guru atau “teacher’ dalam bahasa Inggris sudah dikenal dengan pengertian yang unik. Kata ini bahkan bersumber dari bahasa klasik Jerman. Dengan kata “teacher”itu, yang dituju adalah: “seseorang yang mengajak dan yang memengaruhi; kegiatan menampilkan sesuatu: melatih, menguji, mengarahkan, dan menandai. Sejak awal abad ke-19, pengertiannya semakin identik dengan “seorang yang mengajar di sekolah…” (Harper, 2001-2022).
Guru demikiandekatdengan “keabadian” tertentukarenadariperannyalahkemanusiaankitadankehidupan yang kitajalanimenyuguhkanarti-artitertentu yang terusbertambah. Di tahapawal, kesadarankitatentangtahudantidaktahu, tentanglatihandanpercobaan, tentangkesalahandankebenaran, tentangprosesdanpencapaian, semuanyahadirsambung-menyambung. Di tengah-tengahnyakitamembangunpengalaman, mengoleksipengetahuandanmendayagunakanminat-bakatkita. Terkadanghasilnyamenakjubkan. Seoranganak yang tadinyakelihatanpolosternyataadalahmanusia multi-talenta yang luarbiasa. Sering pula kitasaksikanbagaimanadayamanusiademikiankaya, dalamhal: membaca, menghitung, menulis, menggambar, olah-ragawi, dst.
Proses pendidikanlah yang membuatmanusia “berbedanasibnya”.Pendidikanlah yang membuatsekolahdidirikan. Dalam faktanya, tidaklah otomatisbahwa pendidikanbermutu terselenggaraparipurna di sekolah. Dalam banyak keadaan, maaf, justru sekolah yang secara tidak langsung “menyingkirkan” maknapendidikanitusendiri, yakniketikaanakdidikhanyabolehmemilihsatukondisi –yaknihanya “diajar” dengancara-carasepihak. Padahal, merekamestinyaharuslebihmembutuhkanruangmerdekadalamperkara “belajar”.
Kita membutuhkan Guru sejati! Edukator ternama, Dr. Montessori, menegaskan bahwa guru harus memihak kepada kepentingan tumbuh dan “kepentingan belajar” yang hakiki bagi anak-anaknya,yakni ruang-ruang bagi hidupnya spontanitas, percobaan, pengulangan-pengulangan, dankegembiraan yang tak pernah berhenti dan lelah (Standing, 1957).
Guru terlahirdari “rahimkebudayaan” sebuahbangsa. Selanjutnya, derajatkepahlawananGurusangatditentukanolehmasyarakatdimanaiamengabdidanbagaimanaiamenanamkancita-citakepadaanak-anakbangsanya. Seorang guru bahkan terkadang tidakmemulaipekerjaannyadengan “mengisi” otakdanhatianak-anaknyadengantumpukan ‘matapelajaran’,melainkandengan terlebihdahulumenemukan “derita” terpendam yang melilitdan “harapan” yang mengurungkehidupannya.Selanjutnya, seorang guru –masih menurut Montessori—, kemudian meletakkan ruang “tumbuh” bagi anak-anaknya di setiap keadaan.
Guru seperti itukah yang kita lahirkan dan saksikan dewasa ini? Jawaban bisa beragam, bahkan tak sedikit yang menyakitkan dan memilukan kita. Memuliakan pendidikan bukankah pekerjaan yang mudah. Hampir semua publikasi internasional, hingga kini, masih menempatkan mutu pendidikan kita di ‘papan bawah’.
Kita bisa marah dan kesal, tapi langkah nyata jangan terbiasa berhenti di retorika media dan pasal-pasal kebijakan yang rutin di meja-meja birokrasi (pendidikan) kita. Kita mudah menghasilkan beragam konsep dan jargon yang indah setinggi langit, tetapi rentan kehilangandaya gebrakdi alam nyata. Kita pernah akrab dengan jargon revolusi mentaltetapi kita cenderung lemas membangun “mental revolusi” dalam dunia pendidikan kita.
Sebelumperkara (mutu) pendidikanbangsadiuraiujung-pangkalnya, padakapasitasgurulahpercakapanserius mestinyadimulai. Jikaurusananakbangsa tidakbisa lepas dari tanggungjawabmasyarakat, tetapiuntukurusan guru, pembahasannyatidak akan pernah sederhana. Iaharusbenar-benardiletakkandalamspektrum yangmendasar, yaknitentangpemahamandantindakankita yang utuhdalammenghadapiseluk-belukkapasitas tumbuh manusia.Tanpapandangan yang jernihtentangmanusia cita Indonesia, kitaakankehilanganarahdanakantersesatberulang-ulangdalammencerdaskan(kehidupan)bangsa.
Di depankelasdandisekolah, gurucenderung dikepungbanyakpengaturan, hirarki, teknologi, dan administrasi. Pergaulandenganmurid-muridnyanyarishanyatampakdidalamkelas–denganpolainstruksional-pedagogis–. Selebihnya, keadaan yang banyak melilit kemerdekaannya adalahpengaturan-pengaturanrutin dan kepungan administrasi yang meminggirkanfaktor-faktorkontekstualdalam menghasilkan interaksi pembelajaranyang mencerahkan dan yang mengisi aspirasi-aspirasi otentik murid-muridnya.
Bobot“percakapan” dan “pemahaman” tentangmanusia yang tengahtumbuh (baca: murid) dengankegairahan yang meluap-luapmasih jarangdijembatanidan dipacu perkembangannyadengankonsistensitinggi. Ruanguntukpencapaianitubahkandisederhanakanmelaluiruang-ruangujian (reguler) saja, sesekalidalambentukpertandingan, misalnyaolimpiadedankompetisi-kompetisilainnya. Semuainitentutidaksalah, tetapibelumutuhmenegaskanarah yang menjanjikan.
Guru harus mampu melihatgambarbesarkehidupan (global) dewasa ini danmenempatkanduniaataubumiini -–dimana Indonesia kita yang besar ini beradadidalamnya—. Guru menentukanpembentukan posisi kesadaran dan peran kita -–sebagaibangsa—dalampetabesar tersebut.Di ruang belajar itulah, karakter, mentalitas, visi perbaikan, kemajuan, dan derajat “Guru Merdeka” digerakkan. Gorontalo tengah bergerak ke arah sana. ***
Penulis adalah Fellow
di Lembaga Kajian Sekolah & Masyarakat (LekSEMA).
Surel: basriamin@gmail.com










Discussion about this post