Oleh :
Yusran Lapananda
Negeri ini sudah salah urus, negeri ini tak terurus. Tak sedikit Kepala Daerah (Gubernur/Bupati/Wali Kota) salah urus dalam menyelenggarakan pemerintahan daerah. Salah urus dengan urusan amanat peraturan perundang-undangan dan salah urus soal pertanggungjawaban kepada publik. Mulai dari soal salah urus kemiskinan, pengangguran, sampah, banjir, pekerjaan infrastrukur, tata kelola keuangan, keterbukaan informasi public, administrasi pemerintahan dan lain-lain, hingga laporan dan evaluasi penyelenggaraan pemerintahan daerah khusunya RLPPD (Ringkasan Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah) menjadi salah urus.
Dari salah urus, kebanyakan Kepala Daerah tak menghasilkan pemerintahan yang berkualitas dan pemerintahan yang tak berprestasi, malah menghasilkan pemerintahan yang carut marut, pemerintahan yang hanya menonjolkan pencitraan tapi tak berisi. Tak berkualitas dan tak berprestasi dalam soal inovasi daerah, minim penghargaan nasional hingga tak memenuhi segala macam perintah peraturan perundang-undangan.
Banyak perintah peraturan perundang-undangan yang tidak dikerjakan dan tidak dilaksanakan oleh Kepala-Kepala Daerah. Salah satu perintah peraturan perundang-undangan yang tidak dilaksanakan adalah RLPPD. Padahal dalam RLPPD terdapat sanksi administrasi dan pemakzulan/impeachment (pemberhentian) kepada Kepala Daerah.
Kebijakan RLPPD adalah suatu kebijakan yang sangat mudah dan gampang untuk dilakukan, namun tidak dilaksanakan. Mengapa gampang?. Teridentifikasi hampir semua Kepala Daerah membuat LPPD (Laporan Penyelenggaraan Pemerintah Daerah), nah RLPPD hanyalah ringkasan dari LPPD, mudah khan menyusunnya!.
Sesungguhnya segala urusan penyelenggaraan pemerintahan daerah sudah terbagi habis kepada perangkat daerah dengan dibentuknya berbagai Perangkat Daerah, namun urusan RLPPD menjadi kebijakan tak terurus. Mengapa perangkat daerah tak mengurus RLPDD?. Teridentifikasi perangkat daerah memang tidak membaca kebijakan RLPPD sehingga tak meresponnya. Perangkat Daerah tahu soal RLPPD tapi menggunakan jurus “percuekan atau masa bodoh”, “pembiaran”, hingga jurus “pendiaman atau tidak berbuat/berusaha apa-apa”. Diam tak berarti tak paham tapi diam merupakan langkah mengamankan diri, jangan sampai jika menyampaikan kebenaran akan menjadi ketidaksukaan dari Kepala Daerah. Perangkat daerah sengaja tidak membuatnya berharap Kepala Daerah terjebak pada kesalahan-kesalahan sehingga beroleh sanksi administrsai dan berharap Kepala Daerah termakzulkan/diberhentikan. Benarkah?. Wallahu A’lam Bishawab.
RLPPD Kebijakan Salah Urus
Kebijakan RLPDD adalah kebijakan dalam laporan dan evaluasi penyelenggaraan Pemerintahan Daerah sebagaimana yang diatur dalam Pasal 69 ayat (1) dan Pasal 72 UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, Pasal 22, Pasal 23 dan Pasal 24 PP Nomor 13 Tahun 2019 tentang Laporan dan Evaluasi Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, dan Pasal 21, Pasal 22 dan pasal 23 Permendagri Nomor 18 Tahun 2020 tentang Peraturan Pelaksanaan PP Nomor 13 Tahun 2019 tentang Laporan dan Evaluasi Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah.
RLPPD merupakan informasi yang disampaikan oleh Pemerintah Daerah kepada masyarakat yang memuat capaian kinerja penyelenggaraan pemerintahan daerah selama 1 (satu) tahun anggaran. RLPPD memuat: (a). capaian kinerja makro; (b). ringkasan capaian kinerja urusan pelayanan dasar; (c). hasil EPPD dan opini atas laporan keuangan Pemerintah Daerah tahun sebelumnya; (d). ringkasan realisasi penerimaan dan pengeluaran anggaran daerah; dan (e). inovasi daerah.
RLPPD disampaikan oleh Kepala Daerah kepada masyarakat bersamaan dengan penyampaian LPPD kepada pemerintah pusat. LPPD Provinsi kepada Presiden melalui Menteri, dan LPPD kabupaten/Kota kepada Menteri melalui Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat. LPPD disampaikan paling lambat 3 (tiga) bulan setelah tahun anggaran berakhir.
RLPPD dipublikasikan paling sedikit melalui: (a). 3 (tiga) media cetak harian dan/atau media online; (b). papan pengumuman yang mudah diakses publik; dan (c). website resmi pemerintah daerah. Dari publikasi RLPPD masyarakat dapat memberikan tanggapan atas RLPPD kepada kepala daerah sebagai bahan masukan perbaikan penyelenggaraan pemerintahan daerah.
Agar kebijakan RLPPD tak menjadi kebijakan salah urus, maka penyusuan RLPPD termasuk LKPJ dan LPPD disusun bersamaan. Untuk menyusun RLPPD dibentuk kelompok kerja khusus penyusunan RLPPD yang ditetapkan dengan Keputusan Kepala Daerah dengan Sekretaris Daerah sebagai Ketua Tim Penyusun. Adapun susunan keanggotaan tim penyusun dan kelompok kerja penyusunan LPPD, LKPJ dan RLPPD di lingkungan pemerintah daerah disusun sesuai dengan kebutuhan dan paling sedikit memuat unsur: (a). inspektorat daerah; (b). BAPPEDA; (c). biro atau bagian pemerintahan pada sekretariat daerah; (d). biro atau bagian organisasi/ kelembagaan dan tata laksana pada secretariat daerah; dan (e). perangkat daerah lainnya.
Sanksi Administrasi Dalam RLPPD
Jika RLPPD salah urus, maka sanksi administrasi menanti. Ancaman sanksi administrasi jika Kepala Daerah tak menyusun, tak menyampaikan dan/atau tak mempublikasi RLPPD kepada masyarakat. Hal ini dinyatakan dalam Pasal 69 ayat (1) dan Pasal 72 UU Nomor 23 Tahun 2014, Kepala Daerah wajib menyampaikan LPPD, LKPJ, dan RLPPD, dan Kepala Daerah menyampaikan RLPPD kepada masyarakat bersamaan dengan penyampaian LPPD paling lambat 3 (tiga) bulan setelah tahun anggaran berakhir sebagaimana yang diatur dalam Pasal 11 ayat (3) Permendagri Nomor 18 Tahun 2020.
Selanjutnya, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 73 ayat (1) dan ayat (2) UU Nomor 23 Tahun 2014, Kepala Daerah yang tidak menyampaikan dan/atau tidak mempublikasi RLPPD dikenai sanksi administratif berupa teguran tertulis oleh Menteri untuk Gubernur dan oleh Gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat, untuk Bupati/Wali Kota. Dan dalam hal teguran tertulis telah disampaikan 2 (dua) kali berturut-turut dan tetap tidak dilaksanakan, Kepala Daerah diwajibkan mengikuti program pembinaan khusus pendalaman bidang pemerintahan yang dilaksanakan oleh Kementerian serta tugas dan kewenangannya dilaksanakan oleh Wakil Kepala Daerah atau oleh pejabat yang ditunjuk.
Bagaimana proses penjatuhan sanksi administratif kepada Kepala Daerah yang tidak menyampaikan atau mempublikasikan RLPPD, hal ini diatur dan dibaca serta dipelajari sendiri-sendiri dalam Pasal 36 ayat (1), dan ayat (2) huruf b, Pasal 37 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 39 PP Nomor 12 Tahun 2017 tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah.
Pemakzulan Kepala Daerah Dalam RLPDD
Apa kaitannya antara Kepala Daerah tidak menyampaikan dan/atau tidak mempublikasikan RLPPD kepada masyarakat dengan pemakzulan/impeachment (pemberhentian) Kepala Daerah?.
UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah memberi ruang dan peluang serta jaminan kepada DPRD untuk memberhentikan Kepala Daerah dan/atau Wakil Kepala Daerah secara konsitusional. Pemberhatian Kepala Daerah dan/atau Wakil Kepala Daerah diatur dalam Pasal 78 ayat (1) huruf c dan ayat (2) huruf c dan huruf d UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Dinyatakan Kepala Daerah dan/atau Wakil Kepala Daerah berhenti karena diberhentikan akibat dinyatakan melanggar sumpah/janji jabatan Kepala Daerah/ Wakil Kepala Daerah yakni tidak menjalankan segala undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya dan/atau tidak melaksanakan kewajiban Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 huruf b, yakni tidak mentaati seluruh ketentuan peraturan perundang-undangan.
Adapun bunyi sumpah/janji jabatan Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah sebagaimana yang diatur dalam Pasal 61 ayat (2) UU Nomor 23 Tahun 2014, sebagai berikut: “Demi Allah/Tuhan, saya bersumpah/berjanji akan memenuhi kewajiban saya sebagai kepala daerah dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan menjalankan segala undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya serta berbakti kepada masyarakat, nusa, dan bangsa”.
Dari ketentuan tersebut, RLPPD merupakan kebijakan yang diatur dengan peraturan perundang-undangan. Kewajiban menyampaikan dan mempubliksikan RLPPD diatur dalam peraturan perundang-undangan. Peraturan perundang-undangan dimaksud adalah Pasal 69 ayat (1) dan Pasal 72 UU Nomor 23 Tahun 2014, dan Pasal 23 ayat (2) dan ayat (3) PP Nomor 13 Tahun 2019, serta Pasal 23 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 11 ayat (3) Permendagri Nomor 18 Tahun 2020.
Dengan demikian jika Kepala Daerah tidak menyampaikan dan/atau tidak mempublikasikan RLPPD kepada masyarakat berarti Kepala Daerah telah melanggar sumpah/janji jabatan Kepala Daerah dalam hal ini Kepala Daerah tidak menjalankan segala undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya. Dan tidak melaksanakan kewajiban Kepala Daerah yakni tidak menaati seluruh ketentuan peraturan perundang-undangan.
Kepala-Kepala Daerah dan perangkat daerah terkait dengan RLPPD, lakukan reviu ulang, ingat dan ingat apakah Pemerintahan Daerah selama ini sudah menyusun dan menyampaikan serta mempublikasikan RLPPD bersamaan dengan penyampaian LPPD kepada masyarakat paling sedikit melalui: 3 (tiga) media cetak harian dan/atau media online; papan pengumuman yang mudah diakses publik; dan website resmi pemerintah daerah?.
Apakah masyarakat sudah memberikan tanggapan atas RLPPD Kepala Daerah sebagai bahan masukan perbaikan penyelenggaraan pemerintahan daerah?. Jika sudah, Alhamdulillah. Jika belum, walau terlambat, setelah membaca tulisan ini jangan berandai-andai lagi (suuzdon), tapi kerjakanlah dan publikasikan RLPPD agar Kepala Daerah terhindar dari sanksi administrasi dan pemakzulan paling tidak untuk tahun ini. Untuk tahun-tahun sebelumnya, Wallahu A’lam Bishawab.(*)
Penulis adalah Penulis Buku Perjalanan Dinas Undercover dan PNS JPT










Discussion about this post