Oleh :
Basri Amin
Dewasa ini, budaya makin sering disebut-sebut. Terkadang, dalam keadaan yang bimbang, banyak pihak merasa bahwa “budaya” adalah jawaban bagi semua perkara. Sayangnya, semua tampak sebagai gelombang-gelombang yang reaktif. Nada-nada yang muncul semakin nyaring tapi volumenya penuh dengan kekhawatiran. Makin dikesankan bahwa budaya adalah sesuatu yang harus dipegang erat, dipeluk, dimiliki, dikuasi, dibela, dan sebisa mungkin diamankan.
Di balik itu semua, kita lalu membelah diri masing-masing: kita dan mereka. Kita di sini dan mereka ada di sana. Jangan sampai yang di sana menyeberang kesini dan menguasai. Kita harus bertahan. Kita tak boleh kalah. Budaya kita “lain”, tak boleh “dicampuri” oleh “yang bukan punya kita”. Begitulah seterusnya, budaya lalu terkesan mensyaratkan kita (cenderung) waswas dan terus-menerus membesarkan rasa khawatir dan curiga, diam-diam atau pun terang-terangan.
Kematangan budaya sebuah bangsa ditentukan oleh aksi-aksi kreatifnya, bukan oleh faksi-faksi yang manipulatif, bukan pula oleh fiksi-fiksi yang narsis. Satu sama lain berlomba dengan (hanya) satu tujuan: tiba terdepan di garis kemenangan. Itukah yang hendak kita cari dewasa ini? Dalam rangka mengalahkan, budaya ikut dibawa-bawa. Dalam rangka beroleh pembenaran, budaya disangkutpautkan di semua urusan. Budaya menjadi korban!
Ketika sebuah kelompok masyarakat mengacaukan tertib hidup bersama, dimanakah hukum dan konstitusi?. Ketika yang berkuasa serakah menguasi ruang publik dengan baliho-nya, lalu itukah yang dimaksud layanan publik? Ketika keterpelajaran menjadi siasat untuk membungkus manipulasi, lalu dimanakah ilmu? Ketika orang-orang terpandang tak lagi tertarik memandang orang-orang biasa, lalu di manakah etika? Ketika mereka yang berprestasi terseok-seok mencari jalan hidup, lalu dimanakah negara? Ketika semua waktu untuk anak telah direbut oleh sekolah, lalu dimanakah rumah tangga? Ketika semua nasehat sudah ada di internet, lalu dimanakah agama? Jika sebuah bangsa diremehkan oleh indeks-indeks internasional, lalu dimanakah ideologi dan nasionalisme? Ketika label-label penghargaan dan prestasi sudah jadi tontonan, lalu dimanakah keteladanan dan keikhlasan?
Pertanyaan di atas daftarnya bisa kita perpanjang. Tak jadi soal berapa jumlahnya. Yang jadi soal adalah mengapa tak hadir jawaban tuntas. Yang jadi soal adalah kenapa kita tak lagi mampu mengajukan pertanyaan dasar. Kita tak lagi terbiasa “mempertanyakan” sesuatu atau seseorang. Padahal jawaban-jawaban yang hadir di tengah-tengah kita sedang gencar-gencarnya dihadirkan oleh orang-orang yang (sesungguhnya) sementara kita pertanyakan. Mereka mengobral kepercayaan dan amanah begitu murah!
Debat kusir makin menjamur karena “jamur-jamur” tertib berpikir dan berperan sudah menempel di mana-mana. Dalam situasi seperti itu, kita sangat butuh menghargai dan menyaringkan suara-suara mereka yang sudah lama di pinggiran. Dengan sikap begitu, kita pun ikut terselematkan karena dasar-dasar kesadaran (hidup) kita sendiri beroleh sandaran. Keselamatan dalam hidup bermula dari kemampuan kita “menyelamatkan” makna-makna dari keselamatan itu sendiri. Menjadi selamat tidaklah harus berarti (sukses) tiba di suatu tujuan atau karena meraih sesuatu. Tetapi selamat bisa pula berarti “berada” di tempat yang aman, sekalipun, untuk sementara, kita belum mampu beranjak dari tempat itu. Yang jelas, di tempat itu sendiri, di dalam dirinya, telah memberi kita “rasa” akan ke-selamat-an: tak mengganggu dan tak pula diganggu. Walaupun terkesan ini bersifat sementara dan cenderung (sekadar) bertahan, tapi sebenarnya dengan itu saja sudah cukup mengantarkan kita ke kondisi yang menegaskan siapa kita dan berada di mana kita. Di sini, kita seperti tengah menahan sesuatu, sambil menempati sesuatu, menjadi bagian dari sesuatu sambil berbagi sesuatu, yang sekalipun tampak tidak begitu stabil, tapi ia akan memberi kekuatan kepada kita menyikapi keadaan.
Budaya adalah keadaan yang membuat (semua) keadaan hadir bersamaan. Itulah sebabnya, ketika di pagi hari kita bangun tidur dan semua anggota keluarga kita mengurus urusannya masing-masing, tapi pada saat yang sama setiap anggota keluarga juga sadar dan tahu bahwa ia juga hadir-peduli-berperan, serta rela mengerjakan urusan anggota keluarga yang lain, maka itu berarti kita tengah menyusun bagian-bagian dasar “budaya keluarga”. Walau tak begitu jelas kapan pastinya sebuah keluarga menyadari atau menyebut-nyebut budaya keluarga-nya, tetapi di antara mereka sendiri pasti ada sejenis pengakuan dan pemilikan (bersama) akan sejumlah kata kunci, peran-peran, kode-kode tertentu, serta ruang-ruang di mana praktik berbahasa, pembagian peran dan cara-cara “bersama” dalam menyikapi rupa-rupa keadaan diwujudkan.
Proses menerima dan memberi, menduga-duga dan mencoba-coba, kemudian mencocok-cocokan sesuatu, termasuk di dalamnya nilai-nilai dan praktik tertentu, adalah situasi dasar di mana sebuah budaya hadir dan disebut-sebut di kemudian hari sebagai budaya. Ia seperti proses belajar yang tak kenal batas dan tak terstruktur. Hanya di dalam bagian-bagiannya saja yang mudah kita amati dan lakoni. Perangkat-perangkatnya pun macam-macam. Bermula dari bahasa, cara-cara hidup, tradisi, benda-benda, hingga ke ideologi dan cara berpikir.
Dunia dipecah dan dipandang terpisah-pisah. Manusia mengubah dan merujuk, ia mencipta tapi sekaligus mencari ranah-ranah baru yang menurutnya pantas digariskan sebagai sandaran baru bagi manusia lain atau bagi generasi berikutnya. Singkatnya, ia berpindah dari satu bagian ke bagian lain di dalam ruang, masa, lintas usia dan kelompok. Transmisi!
Budaya tak pernah berhenti; Ia adalah kata ciptaan manusia, yang entah karena apa, dengan kata “budaya” itu seolah-olah manusia demikian sangat rentan untuk berlari mencari sesuatu kepadanya. Budaya terkadang sebagai pelampiasan, menjadi sesuatu di mana kita (tergoda) untuk menemukan “pembenaran” akan sesuatu yang tertampung di dalamnya. Jika ada goncangan, jika ada waswas, jika ada situasi kritis, jika ada kevakuman, dst kita lalu melarikan diri kepada “budaya”. Tak heran kalau belakang ini kata “budaya” terkepung gumpalan-gumpalan polusi makna karena apa saja cenderung ditempeli dengan kata budaya. Apa saja hendak di-budaya-kan! Apa-apa, budaya. Sedikit-sedikit, budaya! Kita sewenang-wenang dan lancang menggunakan kata yang satu ini.
Budaya bahkan kita cari di masa lalu. Kita baca semua manuskrip dan petuah-petuah leluhur, hanya untuk mencoba “menemukan” seperti apa “budaya kita” yang asli dan tradisi mana yang lebih cocok dengan agama, dst. Kita belajar sejarah untuk mencari budaya. Kita mengunjungi negeri-negeri yang jauh (hanya) untuk mencoba menyaksikan dan merasakan “budaya mereka”: yang Barat, yang religius, yang liberal, yang tradisional dan yang posmoderen, dst. Padahal, sebelum kita secara fisik berada di sana, jiwa dan pikiran kita sebenarnya sudah lama menjadi Barat, misalnya. Sebelum kita ke sana, kita sudah lama sangat religius sebenarnya. Sehingga yang kita cari tinggal pembenaran-pembenaran yang menyamankan kepicikhatian kita sendiri, dengan gaya bahasa sehari-hari yang menumpangi jargon-jargon budaya.
Dengan terang-terangan kita (mencoba) bersembunyi di tempat-tempat di mana orang-orang yang sadar sudah sangat tahu bahwa itu adalah persembunyian yang akan segera runtuh dengan satu kilasan nasehat: “lidah tak bertulang!”. Dengan itu, orang-orang baik tak lagi jadi pusat perhatian dan rujukan. Yang merasa terkemuka adalah orang-orang yang mukanya terpampang di mana-mana. Itukah yang disebut “budaya?”. Tampaknya, mentalitas kita cenderung saling menipu, dan itu kita benarkan dengan bahasa yang kita lentingkan setinggi langit. Belakangan ini, budaya cenderung menjadi “tempelan” murahan di ruang-ruang publik. Bagaimana menurut Anda?. ***
Penulis adalah Parner di Voice of HaleHepu
E-mail: basriamin@gmail.com











Discussion about this post