Oleh
Basri Amin
Entah sengaja atau tidak, “Kopi Gorontalo” sempat disebut Menteri Sandiaga Uno ketika hadir di acara “keluarga besar’-nya menjelang siang di Gorontalo, Ahad 7 November 2021. Saya hadir karena diundang oleh Dokter Syam Biya. Yang saya tangkap, Kopi Pinogu sangat dinikmati dan diapresiasi oleh Menteri Sandi –-yang tak berubah hangatnya dalam berbicara dan betul-betul enjoy dan antusias di tengah-tengah keluarga-nya (Uno-Monoarfa-Katili, dst) di Gorontalo.
Pak Sandi, mungkin Anda tak baca catatan bebas ini. Tapi, perkenankan saya sedikit membagi pembacaan saya tentang Kopi Gorontalo. Sejak Gorontalo menjadi provinsi otonom, Kopi Gorontalo tidak pernah hilang dalam sistem pendataan pertanian/perkebunan daerah ini. Di Bone Bolango, tercatat 471 hektar lahan perkebunan kopi tahun 2003, demikian juga di Kabupaten Gorontalo di tahun yang sama masih mencatatkan lahan Kopinya 638,6 hektar. Hingga tahun 2020, lahan kopi di Bone Bolango relatif tidak berubah banyak (474 hektar), kendati mengalami penurunan dari luasan lahan tahun 2015 –ketika itu dicatatkan lahan perkebunan kopi Bone Bolango 708 hektar. Yang agak “aneh”, data perkebunan Kopi di Bone Bolango pernah mengalami penurunan drastis tahun 2006 karena hanya tercatat 113,9 hektar. Pasti di tahun itu ada sesuatu yang terjadi di sana.
Dua daerah ini, Bone Bolango -–dengan Kopi Pinogu-nya— dan Kabupaten Gorontalo –dengan Kopi Dulamayo-nya— telah beroleh perhatian publik beberapa tahun terakhir ini. Cukup banyak momen daerah yang membawa “Kopi” sebagai brand (komoditas) dan sugesti (ekonomi) baru yang dipandang relevan bagi daerah ini. Padahal, dari sisi lahan perkebunan Kopi yang dikelola oleh rakyat, juga tercatat baik di Gorontalo Utara. Dinas Pertanian Provinsi Gorontalo melaporkan bahwa Gorontalo Utara mempunyai lahan seluas 385 hektar untuk Kopi pada tahun 2007. Angka lahan ini tidak banyak bergeser sampai tahun 2020, yakni 366 hektar.
Dari sisi jumlah produksinya, Kopi Gorontalo Utara “mengalahkan” Kabupaten (induk) Gorontalo. Daerah ini menghasilkan 287 ton sementara Kabupaten Gorontalo hanya mampu mencapai 112,7 ton tahun 2007. Yang ajaib, produksi Kopi Bone Bolango tampaknya tidak mengalami perbaikan berarti, hanya mencapai angka produksi 37,62 ton tahun 2017. Sementara di tahun yang sama, Gorontalo Utara mencatatkan produksi kopinya 63 ton. Hal serupa terjadi dengan Kopi di Kabupaten Gorontalo yang hanya mencapai 65 ton produksinya tahun 2017.
Pemerintah Provinsi Gorontalo memang sejak tahun 2001 sudah menegaskan keberadaan 4 (empat) jenis tanaman tahunan yang menjadi andalah daerah ini, yaitu: Kelapa, Cengkeh, Kakao dan Kopi. Sementara Tebu tetap signifikan sebagai “tanaman semusim”. Di sektor ini, komoditas andalan Gorontalo tentu saja adalah Kelapa, dengan angka (proyeksi) produksi tahun 2001 sebanyak 52.109 ton, sementara Kakao menempati posisi kedua, 1.254 ton. Adapun Kopi, tercatat 491 ton dan Cengkeh 240 ton di tahun yang sama. Jika demikian, mari kita lanjutkan pelacakan kita tentang progresifitas produksi Kopi daerah ini sejak menjadi daerah otonom.
Kopi Gorontalo mencapai “produksi puncak”nya pada tahun 2014, ketika mencapai produksi 954 ton, tak jauh berbeda pada dua tahun intensif 2009-2010 dengan produksi 929 ton. Kendati demikian, angka produksi 800-an ton Kopi pertahun sudah dicapai Gorontalo pada periode 2005-2014 (mencapai level 900-an ton). Uniknya, justru di tengah-tengah gencarnya “promosi Kopi Gorontalo” ke mana-mana, yakni sejak tahun tahun 2015, justru angka-angka produksi Kopi Gorontalo tidak menampakkan pencapaian yang memadai.
Sejak tahun 2015, produksi Kopi Gorontalo sebenarnya telah “jatuh” di titik yang aneh, dengan tingkat produksi 182 ton pada tahun 2016 dan terus menurun sampai tahun 2019, yakni 160 ton. Angka terbaru, dari upaya saya membaca data BPS Gorontalo, angka produksi Kopi Gorontalo tahun 2019 adalah 131,26 ton dan menurun lagi di angka 112 ton tahun 2020 (total produksi dari Bone Bolango, Gorut dan Kab. Gorontalo). Jika melihat lebih rinci, gejala ini semakin tampak tanda-tanda penurunannya sejak tahun 2017 dan 2018 dari total produksi Kopi Gorontalo (termasuk di dalamnya produksi Kopi yang berasal dari Pohuwato). Kendati agak membaik di tahun 2017 dengan capaian 200,62 ton tapi pelan-pelan melemah di tahun berikutnya, ketika Kopi Gorontalo hanya berada di angka 164,50 ton tahun 2018. Di sini, Pohuwato mencatatkan produksi Kopi-nya di angka terkecil, hanya 7 ton tahun 2017 dan makin menurun pada 2018 (hanya 4,60 ton).
Pada Spektrum sebelumnya (13/9/21), Kopi Gorontalo sudah diringkaskan masa lalunya. Di sini, saya coba ulangi lagi agar lebih jelas lagi, bahwa jejak Kopi Gorontalo cukup jelas di masa lalu. Kopi Gorontalo di pertengahan abad ke-19 memang memberi tanda tentang perluasan budidayanya, terutama di wilayah Gorontalo, Bone dan Limboto. Melalui catatan Riedel (1870) misalnya, kita bisa tahu bahwa telah terdapat sejumlah kebun Kopi yang teratur dan yang “tersiar” –tersebar di wilayah-wilayah utama di perbukitan Gorontalo. Pada tahun 1867, tercatat jelas jumlah pohon Kopi di Gorontalo sebanyak 216.925 pohon (yang berbuah waktu itu 80.742 pohon). Di Limboto, pohon Kopi sebanyak 155.151 pohon (40.820 berbuah). Di wilayah Bone, tercatat 56.172 pohon (28.213 berbuah). Bandingkan dengan jumlah pohon Kopi di Minahasa pada periode 1844-1877, sebanyak 4.632.659 pohon (Ulaen, 1995: 40).
Dalam tulisan Riedel (1870) juga dicatatkan perdagangan komoditi yang aktif di masa itu: kakao, karet, teripang, lilin, beras, kuda, kain/katun, kapas, pala, tembakau dan milu (perkebunan tahun 1867). Semua ini didinamisir oleh kapal-kapal niaga di masa itu yang beroperasi di Gorontalo, terdiri dari 3 buah kapal Eropa dan kapal-kapal pribumi berjumlah 104 buah kapal. Keterangan ini menegaskan bahwa Pelabuhan (di) wilayah Gorontalo merupakan simpul penting dari kekuatan ekonomi Gorontalo sekian abad, pun di masa datang.
Kopi tak hanya dikonsumsi oleh penduduk setempat tapi terutama diekspor ke wilayah sekitarnya –ketika itu Manado adalah tujuan penting. Tercatat Kopi Gorontalo memasuki Manado sebanyak 610 pikul tahun 1864 dan terus meningkat di angka 820 pikul tahun 1865, sampai mencapai 1.074 pikul tahun 1866. Di masa itu, banyak pula terjadi kematian tanaman kopi dan memang produktivitasnya lebih banyak terjadi pada lahan-lahan yang terkontrol oleh penduduk.
Kopi di Nusantara adalah sebuah riwayat besar. Kopi Gorontalo sendiri dikembangkan intensif pada periode 1824-1839, ketika itu wilayah Kabila dan Tapa sebagai kawasan percontohan awal yang terbesar. Adalah Raja Iskandar PuI Monoarfa yang menggerakkan pembudidayaannya yang luas, berkat dukungan pembesar-pembesar Gorontalo lainnya (Hasanuddin, 2014: 58-60). Ke masa depan, akan adakah lagi sejarah baru Kopi Gorontalo? Waktu yang akan menguji “rasa” dan “rasio” Kopi Gorontalo. ***
Penulis adalah Parner di Voice-of-HaleHepu.
Surel: basriamin@gmail.com











Discussion about this post