Oleh :
Basri Amin
Baru kali pertama saya melihatnya. Sebuah bongkahan besar berwarna hitam dengan sedikit bintik putih. Di sebelahnya lagi, bongkahan yang seukuran tapi dengan warna kuning. Karena penasaran, saya tanya kepada Oma –penjaga warung kecil di Pasar Sentral itu (Jumat, 18/6/21). Rupanya, dari pecahan bongkahan itulah serbuk-wewangian (dupa, alama) dipasarkan. Di Gorontalo, “tradisi dupa” adalah simbolisme (tradisi keagamaan) yang penting. Setiap saat kita bisa menemukannya di banyak ritual, terutama ketika “doa arwah” (aruwa) dan ngaji shalawati.
Sejak Gorontalo menjadi bagian dari sejarah perlintasan peradaban banyak bangsa, sejak itu pula tradisi yang berkembang di Gorontalo mewadahi banyak “keragaman” yang bersumber dari banyak penjuru di dunia. Satu di antaranya yang terkenal adalah “Jalur Dupa” yang menandai perjumpaan kita dengan tradisi kekaisaran kuno di jazirah Arabia. Di kawasan ini, “wewangian dupa” menyejarah karena ekonomi aromatiknya. Wewangian yang bersumber dari kayu-kayuan pun menjadi objek perdagangan dunia. Pedagang Arab Selatan membawa wewangian surga itu ke Mediterania sejak abad ke-2 Masehi, bahkan jauh sebelum itu. Di kemudian hari, Jalur Dupa membentang hingga ke Afrika, India, dan Asia (NGI, 2021).
Jaringan Dupa inilah yang mengantarkan kita mengenal nama “kemenyan”. Pada awalnya, ia bersumber dari tempat yang jauh, tepatnya dari sebuah pohon genus Boswellia di Libanon. Dari sanalah resin aromatik itu bermula dan menyebar sejak kekaisaran kuno di Mesir, Roma dan Babilonia.
Dupa hadir dalam peradaban manusia karena “aroma” adalah pemantik katalis-katalis budaya yang bersentuhan dengan pengobatan, kecantikan, dan terutama untuk ritual keagamaan. Diyakini bahwa “dunia atas” yang berada di ketinggian langit akan lebih mudah mendekat dengan “dunia manusia” (di bumi) melalui “Jalur Aroma”. Hembusan wewangian surgawi ini menyulut ke-intim-an tertentu. Ia mengepul dan mewadahi bahasa ruhani.
Di Nusantara, Palembang menduduki posisi penting karena pernah berperan sebagai “pusat resin wangi benzoin”, sementara Kalimantan adalah sentrumnya kapur barus. Kekayuan lain yang terkenal karena aromanya adalah kayu cendana di Timor dan gaharu di pulau Jawa. Di titik-titik itulah Nusantara kita memasuki jalur (perdagangan) dunia untuk komoditi “wewangian” di dunia (NGI, 2021) dan agama Islam pun menyebar lebih luas.
Sudah pernah diungkapkan sebagiannya (Spektrum, 2020), dengan merujuk penulis klasik Gorontalo, M. Lipoeto, dalam bukunya “Boekoe Poesaka Gorontalo” (1949/1950) jilid VII, hal. 32, ketika menulis bahwa baginda raja Mohamad Iskandar PuI Monoarfa (1860) adalah seorang raja yang mengembangkan pembelajaran Islam. Beliau dikenal sebagai seorang alim yang mempunyai kemampuan ilmu agama yang tinggi, pandai berbahasa Arab dan “mengaji Kitab”. Beliau adalah menantu Sayid Alwi Al-Habsy. Beliaulah yang mengembangkan “seni Islam” awal di Gorontalo, misalnya melalui karangan-karangan syair, zikir tepuk rabana, surujanji, dan lagu-lagu islami lainnya.
Jalur Dupa sepertinya berjalan seiring dengan perkembangan kesenian Islam di Nusantara. Dan itu sangat jelas diperkaya oleh komunitas Arab. Musik gambus dan marwas (marawis) dibawa oleh komunitas Arab, bahkan dari orkes gambus itulah akar musik rakyat (dangdut) berkembang di kemudian hari. Kosa kata dan praktik musik Islam pun meluas, misalnya penggunaan gambus, gendang-gendang kecil (marwas), gendang dari kayu (hajir), dsb.
Demikianlah arus pengaruh Hadramaut menyebar di Nusantara. Mereka berasal dari Yaman (Arab Selatan), bukan dari Saudi Arabia. Meskipun berasal dari spirit yang sama, tetapi latar geografis (batu karang yang tandus) dan struktur sosialnya mempunyai beberapa perbedaan, terutama keadaan ekonomi Hadramaut yang sulit dan rentan kelaparan. Di Hadramaut sendiri, “kelas sosial” itu tetap terbentuk, terutama bagi “kelas suku” (abid/masakin), warga biasa/kesatria (qabili), syaikh (ulama), dan kalangan elite (sayid) –-keturunan Nabi Muhammad SAW–. Tak heran kalau tradisi yang mereka kembangkan pun berbeda, misalnya dalam praktik kesenian, gambus lebih banyak digunakan oleh “kalangan suku”, bukan oleh kalangan menengah-atas (Sayid) karena dianggap tidak cocok dengan martabat mereka. Lebih jauh dari itu, gambus pun berkembang dengan kombinasi tarian (zafin), sebagai ekspresi tari kepahlawanan dari Timur Tengah yang awalnya banyak dilakukan kalangan santri, sebagai kegiatan ekstra setelah menempuh pelajaran agama (Isnaeni, “Historia”, 2013: 64-66).
Adalah Birgit Berg dari Universitas Rhode Island, Amerika Serikat yang pernah datang di Sulawesi Utara, termasuk Gorontalo (2006/2007), melakukan penelitian panjang tentang “musik Arab” dan menemukan bagaimana musik gambus yang disertai dengan gendang-gendang kecil (baca: maluwasi), disertai dengan dana-dana (tari zapin Melayu) berkembang di Gorontalo. Jenis berkesenian ini sangat identik dengan pertunjukan budaya daerah.
Semua ini adalah gambaran tentang “lokalitas Islam” di tanah Melayu yang ikut diperkaya dengan perjumpaannya dengan tradisi kesenian Arab. Dalam praktik yang lebih luas, bentuk orkes itu dikenal pula dengan sebutan samrah (dalam bahasa Arab artinya: “hiburan malam”), ditampilkan oleh perempuan yang menyanyikan teks arab dengan iringan rabana.
Laporan khusus majalan Historia (2013) mengurai dengan apik tentang “Orang Arab di Nusantara: “Mencari Cincin Nabi Suleman” (edisi no. 15). Masyarakat keturunan Arab melahirkan banyak seniman atau para penghibur, baik dalam seni peran maupun tarik suara. Dari keluarga Bafagih, Bahasuan, Albar, Sungkar, Ali Shahab, Husein Bawafie, Syakieb, Alkatiri, Ali, dan lain-lain, terlahir banyak seniman, aktor dan pekerja musik yang sangat terkenal di negeri ini. Di luar itu, kehadiran keturunan Arab di panggung keulamaan dan politik Indonesia sudah sangat terang. Nama-nama seperti A.R. Baswedan, Alqadri, Afiff, Alatas, Hassan, Makarim, Muhamad, Shihab, dst. Sementara keluarga besar kalangan Sayid juga menyebar luas dengan otoritas keagamaan tinggi, seperti: Al-Idrus, Al-Habsyi, Assagaf, Alhadar, Shahab, Al-Hasni, dst. Di Gorontalo sendiri, sebagaimana dicatat Dr. M.H. Bahafdullah (2010:189), peran Hadrami-Nusantara antara lain tercatat sebagai Lieutenant Arab: Sayid Syeikh bin Husni Al-Hasni (1899), Sayid Muhamad bin Salim Al-Hadar (1912), dan Syeikh Umar bin Basalamah (1934).
Di berbagai tempat di Nusantara, “komunitas Arab” sudah lama eksis dan memberi pengaruh yang luas di wilayah syiar Islam, jaringan perdagangan, pola pemukiman, pendidikan (Jamiat Kheir, Al-Irsyad) dan bahkan (kekuatan) politik, fashion dan kuliner. Dari segi pemukiman, di beberapa tempat di Indonesia Timur dikenal dengan istilah “kampung Arab”, seperti di Gorontalo, di Ternate (Fala Jawa/Muhajirin, Tanah Raja) atau di Manado (Kampung Istiqlal).
Dalam soal etos, jiwa dagang dan semangat berlayar yang jauh, sambil berguru dan menyebarkan agama, adalah karakter utama masyarakat Hadramaut. Tak heran kalau di beberapa tempat dikenal istilah “Lieutenant Arab”, sebagai indikasi kepemimpinan koloni Arab di wilayah tertentu yang diakui di masa kolonial. Demikian luasnya pengaruh mereka sehingga kehadiran orang-orang Arab di tanah Melayu demikian besar artinya. Sejarah abad ke-18 di beberapa kesultanan di Melayu sangat tampak, di tengah-tengah empat kekuatan besar pada masa itu: Melayu, Bugis, Minangkabau, dan Aceh (De Jonge & Kaptein, 2002). Hebatnya karena Gorontalo berada di pusaran sejarah besar ini. ***
Penulis adalah Parner di Voice-of-HaleHepu;
Anggota Indonesia Social Justice Network (ISJN).
E-mail: basriamin@gmail.com











Discussion about this post