Negeri yang Ke(gemuk)an  

Basri Amin

 SEJAK 1975, menurut data WHO, perkara kegemukan sudah melanda dunia. Sejak 2016, tercatat lebih 340 juta penduduk dunia (anak-anak dan dewasa) yang ‘menderita’ kegemukan (obesity). Sebagian besar kematian (di dunia) berada di negara-negara yang dilanda masalah kegemukan. Pada tahun 2019, WHO memperkirakan sekitar 38 juta penduduk berusia lima tahun ke bawah (Balita) mengalami masalah kegemukan. Jelas sekali, WHO menggambarkan gejala global ini karena kegemukan adalah indikasi penyakit (tidak sehat karena kelebihan lemak).

Waswas juga tampaknya. FAO menghitung bahwa butuh sekitar Rp. 2,3 triliun setiap tahunnya untuk menangani obesitas. Oleh CNN Indonesia, dengan merujuk Data Riset Kesehatan Nasional (Riskesnas) tahun  2016, disebutkan bahwa  20,7 % penduduk dewasa di Indonesia mengalami obesitas. Data ini lumayan serius meningkat dari angka 15,4% pada tahun 2013. Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 menunjukkan beberapa daerah penyumbang angka tersebut, yakni Sulawesi Utara, DKI Jakarta, Kalimantan Timur, Papua Barat dan Kepulauan Riau.

Bagaimana di Gorontalo? Ali dan Nuryani (2018) mengompilasi data sebagai berikut: prevalensi obesitas tahun 2013 di Provinsi Gorontalo pada penduduk dewasa (>15 tahun) yaitu Kabupaten Gorontalo 30,9%, Kota Gorontalo 36,7%, Kabupaten Bone Bolango 21,6%, Kabupaten Boalemo 18,6%, Kabupaten Pohuwato 14,7% (Dinkes Provinsi Gorontalo, 2014). Data ini bisa diperpanjang dari tahun ke tahun dan dari daerah ke daerah. Tidak cukup dengan data obesitas, angka-angka stunting dan cerita-cerita kekurangan gizi pun menarik ditelaah.

Negeri ini memang unik: angka kegemukan terus meningkat, tapi kasus kekurangan gizi juga masih menjadi berita di banyak wilayah. Jika demikian, kita butuh lebih peduli pada tubuh. Kita butuh (politik) kesehatan yang memihak kepada keseimbangan jiwa dan tubuh. Bukankah dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang sehat? Mens sana in corpore sano! Masalahnya, begitu banyak kondisi yang di luar kontrol kita, sebut saja: mutu air, udara sehat, pangan yang aman, sebaran bakteri, virus, dst.

Bangsa kita terkesan lebih percaya kepada pengobatan dari pada membina pola hidup sehat. Tampilan tubuh setiap saat diformat sedemikian rupa agar tampak lebih gagah, bugar, dan cantik padahal tak seluruhnya bisa dikatakan “sehat”. Meski demikian, tak sedikit orang yang obsesif dengan kesehatan. Semua hendak dibeli/dibayar untuk (kelihatan) sehat. Di ruang-ruang pasar, selain makanan, benda-benda dan layanan yang berurusan dengan tubuh semakin laku diperjual-belikan. Belum lagi soal jasa-jasa yang menyertainya: barbershop, salon-salon kecantikan, SPA, massage, Gyms, dan beragam “bisnis tubuh” lainnya. Tak jarang, klinik-klinik untuk kulit, terapi aura, dan perawatan tubuh lainnya menjadi laku di mana-mana. Jaringannya pun menghiasi lanskap kota-kota kecil dan menengah di negeri ini.

Gejala ini berjalan seiring dengan perkembangan lain: penyembuhan herbal, pengobatan alternatif, klub-klub kebugaran, komunitas senam, dan terapi-terapi “teknologis” lainnya. Di beberapa tempat, pelan-pelan tapi pasti, kini mulai terbentuk kelas-kelas sosial baru hal mana ukuran membership-nya ditentukan oleh brand, harga layanan, style lokasi, profil promosi, dan kekhususan jasa-jasa tambahan.

Kini tubuh menjadi urusan yang makin rumit. Itulah antara lain ciri baru masyarakat manusia di zaman now! Orang banyak gusar dengan kondisi tubuhnya dan hal-hal lain yang berhubungan: kecerahan kulit, guntingan rambut, ukuran tubuh, bau badan, model pakaian, asesori tubuh, dst. Ada “emosi tubuh” yang tak menentu setiap harinya; terus-menerus memicu pencarian kebenaran-kebenaran (baru) di sektor kesehatan. Teknologi mengokohkan janji-janjinya melayani nafsu manusia atas tubuhnya. Inovasi yang mengklaim perlindungan kesehatan dan pemuasan-pemuasan lainnya juga mengalami ke(gemuk)an tersendiri. Jejaring usaha, variasi produk dan testimoni, serta sel-sel pemasaran lintas negara pun terbentuk.

Pengobatan dan makanan, pada kadar tertentu, sedang berhadap-hadapan. Ditengarai sejak awal bahwa pola makan adalah sebab utamanya obesitas. Satu di antara sekian banyak sebabnya adalah perubahan gaya hidup, terutama dalam urusan makan. Nasi terlalu dominan di Asia Tenggara dan masih banyak warga yang miskin kesadaran mengonsumsi sayur-sayuran dan buah bermutu. Belum lagi jenis makanan lain yang kadar garam, gula, minyak, dan komposisi lemaknya tak terkendali. Dunia semakin heboh dalam urusan tubuh. Laporan internasional dari Organisasi Pangan dan Pertanian, FAO (2018) memberi penegasan serius tentang bahaya obesitas (kegemukan) di Asia Pasifik. Kegemukan bahkan telah menjadi masalah kalangan anak dan remaja. Secara meyakinkan, dengan obesitas yang tak terkendali, resiko penyakit diabetes tipe #2, darah tinggi dan penyakit hati pun meningkat.

Ekonomi yang semakin membaik ternyata melahirkan mental “orang modern”. Waktu lebih banyak dipakai di luar rumah, sibuk dengan jaringan perkawanan, aktif dengan smartphone, dan, -–ini yang amat khas–: bisa makan (fast-food) di mana-mana!. Tradisi kuliner lokal dan nusantara, tak terkecuali menu ala Barat dan Timur pun sudah tersaji bebas. Semua membentuk kelas, gaya, pilihan, dan ruang yang menyebar. Terasa bahwa dengan (gaya) makan dan (pilihan) makanan tertentu, kita lalu eksis dan –-barangkali– merasa lebih impresif.

Kegemukan, di luar pembenaran genetik, adalah penanda lain dari kegairahan berlebihan dalam menempatkan rupa-rupa hal sebagai makanan di dalam tubuh. Di sini, tubuh tidak sekadar “isi perut”, tapi dalam arti keseluruhan organ fisikal kita. Melalui logika keseluruhan (organik) itulah kita memaknai kesehatan dan keberartian tubuh kita di semesta ini, karena ia adalah “karunia yang diperalat” manusia ketika menikmati kebebasannya dan ketika mengerjakan misi hidupnya yang sejati. WHO dan otoritas kesehatan bisa mempersoalkan kegemukan atau kekerdilan setiap saat, tapi tugas negeri kita yang utama adalah mencerdaskan (kehidupan) bangsa. Negeri yang cerdas mestinya sehat. Tantangannya adalah bagaimana agar prinsip pen-cerdas-an ini menjadi agenda utama di Pilkada 2020. Jangan sampai hanya “pemain yang berganti, tapi permainan sama saja”. Bagaimana? ***

 

Penulis adalah Parner di Voice-of-HaleHepu;

Pos-el: basriamin@gmail.com

Comment