Oleh:
Ramli Ondang Djau
KEPUTUSAN Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang membatasi akses publik terhadap dokumen pribadi calon presiden dan wakil presiden belakangan menuai kritik keras. Beberapa kalangan menilai kebijakan tersebut sebagai kemunduran transparansi dan bukti lemahnya kelembagaan penyelenggara pemilu. Bahkan ada yang mengusulkan agar KPU “di-reset” untuk mengembalikan semangat demokrasi yang sehat. Namun pandangan seperti itu tampak terburu-buru, sebab ia mengabaikan konteks hukum, prinsip perlindungan data pribadi, serta tanggung jawab kelembagaan KPU dalam menjaga integritas sistem pemilu.
Pertama-tama, penting disadari bahwa transparansi bukanlah hak absolut. Dalam sistem demokrasi modern, keterbukaan informasi selalu dibatasi oleh prinsip perlindungan hak individu. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP) sendiri menegaskan adanya informasi yang dikecualikan, termasuk yang berkaitan dengan data pribadi seseorang. Pasal 17 huruf h UU tersebut secara eksplisit menyebutkan bahwa informasi publik dapat ditutup jika membuka data pribadi yang bersifat rahasia.
Dalam konteks itu, keputusan KPU membatasi akses terhadap dokumen pribadi calon presiden dan wakil presiden justru merupakan bentuk kepatuhan terhadap hukum positif. Data seperti ijazah, surat keterangan kesehatan, atau catatan pribadi lain adalah dokumen yang memiliki perlindungan hukum kuat. Selain UU KIP, juga berlaku Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP), yang mengatur bahwa setiap pengendali data — termasuk lembaga negara — wajib memastikan pemrosesan data dilakukan atas dasar prinsip keabsahan, proporsionalitas, dan tujuan yang jelas.
Jika KPU membuka dokumen pribadi secara bebas, hal itu justru berpotensi melanggar hukum. Ia dapat dianggap lalai melindungi data pribadi calon, sekaligus membuka ruang bagi penyalahgunaan data oleh pihak yang tidak bertanggung jawab. Dalam logika administrasi negara, pelanggaran semacam itu tidak hanya melanggar etika pemerintahan, tetapi juga bisa mengundang gugatan hukum. Dengan demikian, kebijakan pembatasan tersebut bukan bentuk ketertutupan, melainkan upaya memastikan keseimbangan antara keterbukaan dan perlindungan hukum.
Kedua, perlu diingat bahwa KPU adalah lembaga teknokratis, bukan lembaga politik. Dalam teori administrasi publik, sebagaimana dikemukakan oleh Dwight Waldo (1948) dan modernisasinya oleh Rosenbloom (1983), lembaga administratif dibentuk bukan untuk mencari popularitas, melainkan untuk menjamin kepastian hukum dan efektivitas tata kelola pemerintahan. Dalam situasi politik yang sarat tekanan, KPU memiliki tanggung jawab menjaga stabilitas administratif agar pemilu tetap berjalan sesuai jadwal dan aturan hukum, bukan sekadar mengikuti opini publik sesaat.
Tuduhan bahwa keputusan KPU mencerminkan kelemahan lembaga sesungguhnya berangkat dari asumsi normatif: bahwa semua keterbukaan pasti baik. Padahal, sebagaimana diingatkan oleh Robert Dahl (1989), demokrasi yang matang justru memerlukan “institusionalisasi prosedur” yang menyeimbangkan antara partisipasi publik dan stabilitas sistem. Artinya, dalam demokrasi yang kompleks, tidak semua proses harus dibuka secara total; sebagian perlu diatur untuk mencegah distorsi, penyalahgunaan, dan chaos administratif.
Ketiga, dalam teori good governance, prinsip transparansi memang penting, tetapi selalu harus berjalan bersama akuntabilitas, rule of law, dan responsiveness. Menurut UNDP (1997), keseimbangan antara keempat pilar itu menjadi syarat tata kelola yang sehat. KPU, dalam konteks ini, tengah menjalankan rule of law dan akuntabilitas administratif: setiap kebijakan diambil dengan dasar hukum, dapat dipertanggungjawabkan, dan diarahkan untuk menjaga kredibilitas pemilu.
Kebijakan pembatasan dokumen calon juga tidak berarti publik kehilangan hak untuk mengawasi. Justru mekanisme pengawasan telah tersedia melalui proses verifikasi internal dan eksternal, termasuk keterlibatan Bawaslu, DKPP, serta publik melalui uji publik calon di media massa. Dengan demikian, tidak ada pelanggaran prinsip transparansi; yang ada hanyalah penataan ulang prosedur agar hak-hak pribadi tetap terlindungi.
Keempat, dalam analisis kelembagaan, konsep institutional resilience (North, 1990) menekankan bahwa lembaga yang sehat harus mampu bertahan terhadap tekanan politik tanpa kehilangan legitimasi. KPU dalam hal ini sedang menunjukkan ketahanan institusional: tidak tunduk pada tekanan publik jangka pendek, tetapi berpegang pada aturan hukum yang menjamin kepastian bagi seluruh peserta pemilu.
Seruan untuk “mereset” penyelenggara pemilu, meskipun terdengar progresif, sebenarnya berisiko tinggi. Reset kelembagaan berarti merombak struktur dan tata kerja yang telah dibangun bertahun-tahun. Pengalaman di berbagai negara, seperti yang diteliti oleh Andrew Reynolds dan Ben Reilly (2002) dalam studi Electoral System Design, menunjukkan bahwa reformasi kelembagaan pemilu yang tergesa-gesa sering berujung pada krisis transisi dan turunnya kepercayaan publik karena ketidakpastian hukum.
Selain itu, gagasan “reset” dapat dengan mudah dimanfaatkan oleh kekuatan politik tertentu untuk melakukan politisasi kelembagaan. Dengan dalih reformasi, mereka dapat menekan KPU untuk mengubah personel, mekanisme, bahkan keputusan, sesuai kepentingan politik jangka pendek. Padahal, independensi penyelenggara pemilu adalah fondasi utama demokrasi elektoral yang berfungsi.
Kelima, dari perspektif sosiologi kelembagaan, James March dan Johan Olsen (1989) dalam teori New Institutionalism menjelaskan bahwa stabilitas prosedural lebih penting daripada perubahan personel. Lembaga kuat bukan karena siapa yang duduk di dalamnya, melainkan karena prosedurnya konsisten dan dipatuhi. KPU dengan segala kekurangannya telah menunjukkan konsistensi prosedural dalam menyelenggarakan pemilu serentak dua kali berturut-turut — 2019 dan 2024 — tanpa gangguan sistemik. Ini prestasi administratif yang tidak bisa diabaikan.
Keenam, perlu pula diingat bahwa tanggung jawab KPU bukan hanya kepada publik, tetapi juga kepada hukum dan negara. Pasal 22E UUD 1945 menegaskan bahwa pemilu dilaksanakan oleh sebuah komisi yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri. Kemandirian ini menuntut KPU untuk bebas dari intervensi, termasuk tekanan opini publik yang dapat mengaburkan prinsip netralitasnya.
Dalam perspektif hukum tata negara, sebagaimana diuraikan oleh Jimly Asshiddiqie (2019), independensi penyelenggara pemilu adalah bagian dari prinsip checks and balances dalam sistem demokrasi. Jika setiap keputusan KPU harus selalu tunduk pada tekanan publik atau desakan politik, maka yang hilang bukan hanya kemandirian, tetapi juga legitimasi konstitusionalnya.
Ketujuh, penting pula melihat konteks global. Di banyak negara demokrasi maju, seperti Jerman dan Kanada, akses terhadap dokumen pribadi calon presiden atau perdana menteri juga tidak bersifat publik penuh. Informasi itu diverifikasi oleh otoritas penyelenggara dan lembaga audit negara, bukan dibuka ke masyarakat tanpa batas. Tujuannya sama: menjaga privasi, mencegah fitnah, dan memastikan proses verifikasi berlangsung objektif.
Dengan demikian, langkah KPU bukanlah anomali, melainkan praktik lazim dalam tata kelola pemilu modern. Yang dibutuhkan bukan reset, tetapi refinement — penyempurnaan prosedur agar transparansi tetap sejalan dengan perlindungan data pribadi.
Kedelapan, dalam konteks sosial-politik Indonesia yang kerap polarisatif, membuka semua dokumen pribadi calon justru bisa menjadi bahan eksploitasi politik. Pengalaman Pemilu 2019 menunjukkan bagaimana data pribadi kerap dijadikan bahan disinformasi dan serangan karakter. Jika hal itu terulang, yang hancur bukan hanya reputasi calon, tetapi juga kredibilitas pemilu itu sendiri.
Kesembilan, memperkuat kepercayaan publik tidak selalu berarti membuka semua informasi, melainkan memastikan bahwa setiap informasi yang dibuka relevan, valid, dan terverifikasi. Itulah prinsip meaningful transparency menurut Archon Fung, Mary Graham, dan David Weil (2007), yang menegaskan bahwa transparansi efektif adalah keterbukaan yang disertai konteks dan tanggung jawab kelembagaan.
Kesepuluh, daripada menyerukan pembongkaran lembaga, energi publik sebaiknya diarahkan untuk memperkuat kapasitas KPU: memperbaiki manajemen sumber daya manusia, memperluas literasi hukum penyelenggara, dan memperkuat kolaborasi dengan lembaga pengawas independen. Ini langkah realistis yang lebih menjamin keberlanjutan demokrasi elektoral.
Menjaga demokrasi tidak selalu identik dengan membuka semua pintu. Kadang, ia justru menuntut keberanian untuk menutup sebagian — demi melindungi hak, hukum, dan integritas sistem. KPU telah memilih berdiri di jalur hukum, bukan popularitas. Dalam situasi di mana opini publik mudah digiring oleh narasi populis, sikap berhati-hati seperti ini justru menjadi penanda kedewasaan institusional.
Reset kelembagaan mungkin terdengar heroik, tetapi stabilitas demokrasi dibangun bukan oleh revolusi instan, melainkan oleh kepatuhan jangka panjang pada hukum dan prosedur. Di sinilah kita seharusnya menilai KPU: bukan dari seberapa banyak pintu yang dibuka, tetapi seberapa kuat ia menjaga fondasi rumah demokrasi kita tetap tegak. (*)











Discussion about this post