Oleh :
Muh. Amier Arham
PERTUMBUHAN ekonomi Indonesia pada quartal kedua 2025 telah dirilis oleh BPS, tercatat capaian pertumbuhan dengan membandingkan periode yang sama tahun sebelumnya (year -on- year) sebesar 5,12 %. Dengan demikian pertumbuhan ekonomi quartal kedua 2025 lebih tinggi dibanding quartal pertama 2025 hanya mencapai 4,87 %, halter sebut mencerminkan perekonomian tidak sesuram yang diramalkan oleh banyak pengamat ekonomi maupun lembaga independen kajian ekonomi.
Walau pun demikian capaian pertumbuhan ekonomi sebesar 5,12 % tidak serta merta disambut positif bahkan tidak sedikit yang meragukan angka tersebut. Sehingga di jagat maya (platform media sosial) singkatan BPS diplesetkan, misalnya —Biro Pusat Setingan, Biar Prabowo Senang, Badan Pembohong Se-Indonesia, Badan Propaganda Sejagat, dan Biar Paduka Senang—. Hasil rilis BPS atas capaian pertumbuhan ekonomi diragukan dan dipertanyakan oleh para ekonom tentu tanpa alasan, karena sejumlah indicator tidak mencerminkan kondisi ekonomi yang sebenarnya.
Kejanggalan pertama, pertumbuhan quartal kedua lebih tinggi disbanding quartal pertama, bila mengacu data historis tahun 2024 dengan membandingkan kuartal sebelumnya justru pertumbuhan quartal kedua lebih rendah, dan di tahun 2025 periode yang sama justru sebaliknya. Kecenderungan pertumbuhan lebih tinggi pada quartal pertama karena momen hari raya pada periode tersebut sehingga mendorong kenaikan konsumsi.
Kedua, pertumbuhan ekonomi dari sisi produksi Lapangan Usaha Jasa Lainnya mengalami pertumbuhan tertinggi sebesar 11,31 persen. Jasa lainnya ini bila diurai komponennya terdiri dari; Jasa Pribadi; Jasa Profesional, Ilmiah, dan Teknis; dan Jasa Lainnya. Di tengah efisiensi anggaran pemerintah, dan daya beli masyarakat yang merosot, sector tersebut logic-nya justru mengalami perlambatan.
Ketiga, lapangan usaha Industri Pengolahan tumbuh 5,68 % dan berkontribusi paling besar yaitu 1,13 persen terhadap pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan. Padahal fenomenanya menunjukkan bahwa kinerja industry pengolahan (manufaktur) Indonesia sedikit melemah yang ditunjukkan oleh penurunan Purchasing Manager Index (PMI) manufaktur Indonesia di Juni yang turun 0,5 poin, menjadi 46,9 dari 47,4 pada Mei 2025. Dimana PMI Manufaktur memberikan gambaran real-time tentang aktivitas produksi, pesanan baru, dan berbagai aspek lainnya dalam industry manufaktur.
Sejalan hal tersebut pihak Kementerian Perindustrian sendiri menjabarkan penurunan PMI Indonesia, disebabkan dua factor yakni, perusahaan industry masih menunggu kebijakan pro bisnis, dan pelemahan permintaan pasar ekspor dan pasar domestic serta penurunan daya beli di Indonesia. Dengan demikian perusahaan-perusahaan tidak ekspansif, dan tercermin meningkatnya jumlah tenaga kerja yang mengalami pemutusan hubungan kerja sepanjang tahun 2025.
Keempat, Perdagangan Besar dan Eceran, Reparasi Mobil dan Sepeda Motor tumbuh sebesar 5,37 %. Kegiatan perdagangan terasa tidak terlalu tinggi sehingga berdampak pada kegiatan industri ritel, apalagi kegiatan jual beli kendaraan bermotor Nampak sepi. Pameran otomotif yang dilaksanakan oleh Gaikindo tahun ini pengunjang tetap banyak akan tetapi tidak berbanding lurus dengan perputaran uang, nilai transaksi dan minat beli tak sekuat animo dating ke pameran. Fenomena ini memunculkan istilah Rombongan Jarang Beli (Rojali), Rombongan Hanya Nanya (Rohana).
Kelima, Lapangan Usaha Penyediaan Akomodasi dan Makanan Minuman (Pariwisata) sebesar 8,04 %, sector ini pertumbuhannya tertinggi kedua dari seluruh lapangan usaha. Terkait sector ini logis bila mana muncul pertanyaan pertumbuhannya sangat dahsyat, padahal disaat yang sama pelaku industry pariwisata lewat Gabungan Industri Pariwisata Indonesia (GIPI) menyatakan Industri pariwisata Indonesia tengah menghadapi tekanan berat sepanjang paruh pertama tahun 2025.
Jumlah kunjungan wisatawan terjadi penurunan hampir di seluruh destinasi, bahkan sector perhotelan, taman wisata, hingga penjualan tiket pesawat mengalami penurunan omzet secara signifikan. Malahan tingkat hunian hotel turun 30–40 %, salah satu penyebab utamanya adalah penghematan anggaran pemerintah.
Selama ini kegiatan pemerintah biasanya kerap menggunakan hotel dan restoran tempat meeting, konferensi dan seminar sehingga turut memberikan andil menigkatnya permintaan akomodasi. Selain itu daya beli masyarakat yang merosot menjadi penyebab dari tekanan industry pariwisata, termasuk larangan study tour atau karya wisata yang diberlakukan oleh sejumlah pemerintah daerah.
Keenam, komponen Pengeluaran Konsumsi Rumah Tangga tumbuh sebesar 4,97 %, memberikan andil pertumbuhan sebesar 2,64 % terhadap keseluruhan pertumbuhan ekonomi. Kenaikan komponen ini justru menyimpan pertanyaan sebab sepanjang April – Juni 2025 tercatat tidak ada momentum serta kegiatan besar yang dapat mendorong kenaikan pengeluaran konsumsi rumah tangga, akan beda halnya pada quartal pertama pengeluaran rumah tangga melonjak karena menghadapi momentum hari raya. Dengan demikian fenomena yang terjadi dilapangan dengan angka pertumbuhan terdapat ketidaksinkronan, seperti daya beli masyarakat merosot akan tetapi dicatat ada kenaikan konsumsi rumah tangga.
Ketujuh, pertumbuhan Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) merupakan proksi dari kegiatan investasi sebesar 6,99, data BKPM menunjukkan sepanjang bulan April – Juni 2025 realisasi investasi Indonesia mencapai Rp. 477,7 triliun atau naik 11,5 % disbanding tahun sebelumnya. Namun ironisnya jika pun terjadi kenaikan nilai investasi pada quartal kedua 2025 tidak serta-merta menghapus persoalan pelik di lapangan, gelombang PHK tetap berlanjut, serta kesenjangan investasi antar wilayah.
Data-data yang saya uraikan di atas memperkuat keyakinan pandangan para ekonom bahwa pertumbuhan ekonomi dengan kondisi ril dilapangan terdapat anomali, maka tidak salah kemudian bila angka yang dirilis oleh BPS diragukan. Seperti biasanya pihak BPS meyakini metode yang mereka gunakan sesuai standar dan prosedural, data olahan valid dan seterusnya.
Namun itu tidak cukup, sejatinya ada penjelasan lebih detil karena adanya ketidaksinkronan antara data dan kondisi yang terjadi. Apalagi BPS lembaga satu-satunya yang memproduksi dan mempublikasi data resmi yang harus dirujuk oleh semua kalangan, termasuk datanya dijadikan basis penyusunan kebijakan pemerintah. Bila data yang dirilis sekedar menjustifikasi keinginan pemangku kepentingan, maka kebijakan yang disusun juga hanya menghasilkan program yang tidak memperbaiki situasi ekonomi, terutama di tengah merosotnya daya beli masyarakat, gelombang PHK yang tinggi, penurunan angka kemiskinan yang makin kurang elastis.
Jika data yang tersaji tidak sejalan dengan kondisi sesungguhnya, maka angka-angka yang tinggi ia tidak akan memiliki makna apa-apa, justru akan melahirkan risiko. Risko pertama, akan muncul krisis kepercayaan terhadap lembaga resmi negara yang diberitugas secara konstitusional, namun ia tetap menjadi pijakan bagi pemerintah untuk menyusun program tahun selanjutnya.
Kedua, dengan data yang bersifat anomali tentu berpotensi penyusunan kebijakan dan program pemerintah kurang tepat sasaran, maka itu kemudian kerap terlihat program telah banyak digelontorkan namun tetap tidak memperbaiki keadaan. Ketiga, memperkuat tuduhan terhadap BPS yang dianggap sebagai tukang stempel keinginan pemerintah untuk membangun pencitraan, dan Keempat, kesenjangan pemahaman bagi masyarakat dan lembaga negara yang melebar karena data yang tercatat dengan apa yang dirasakan oleh masyarakat berbeda sehingga berisiko melahirkan amarah.
Oleh karena itu, sebagai pengguna rutin data BPS tetap menaruh harapan agar lembaga ini tetap mengedepankan independensi dan integritas, sebab taruhannya bukan hanya pada lembaga dan pimpinannya akan tetapi Bangsa Indonesia. Jika BPS membuat slogan –Membangun data itu mahal, tapi lebih mahal membangun tanpa data–, maka saya menambahkan –membangun dengan data yang tidak sinkron akan jauh lebih mahal–. Semoga saja tidak! (*)
Penulis adalah Pengamat Ekonomi
Universitas Negeri Gorontalo










Discussion about this post