oleh:
M. Rafid Farhan
Provinsi Gorontalo sekian lama telah dikenal sebagai salah satu produsen jagung berkat produksi jagungnya yang melimpah. Hampir setiap musim panen, ladang-ladang hingga perbukitan yang berisikan tanaman jagung membentang sejauh mata memandang. Tetapi, beberapa tahun terakhir, ada pemandangan baru yang tak kalah menarik: sapi mulai meramaikan lahan, bahkan jalanan di Gorontalo. Bagaimana tidak, coba saja melintas di GORR (Gorontalo Outer Ring Road). Di sepanjang jalan, kita akan melihat puluhan sapi yang digembalakan di padang terbuka.
Pemandangan ini bukan sekadar kebetulan, data dalam Provinsi Gorontalo dalam Angka 2025 (BPS Provinsi Gorontalo), jumlah sapi potong meningkat dari 153.402 ekor di 2023 menjadi 154.612 ekor pada 2024.Hal ini adalah sinyal kuat bahwa peternakan sapi sedang tumbuh di Gorontalo. Jagung dan Sapi bukan hanya menjadi simbol kekuatan agribisnis lokal, tetapi juga menyimpan potensi besar untuk mengakselerasi ekonomi daerah jika dikelola secara terintegrasi dari hulu hingga hilir.
Dalam rantai pasok peternakan, pakan adalah kunci produktivitas. Tanpa pakan yang terjamin dan penuh protein, sulit berharap produksi sapi potong bisa optimal. Dalam hal ini, Gorontalo punya satu keunggulan besar, yakni jagung yang melimpah ruah dan merupakan bahan baku utama pakan ternak.
Namun sayangnya, pengolahan jagung sebagai pakan ternak di Gorontalo masih terbatas. Pada saat panen, gudang-gudang jagung penuhdan sebagian perusahaan memilih mengekspor jagung, meskipun harga global lebih rendah dibanding harga domestik. Sebagai perbandingan, rata-rata harga domestik pada Juli 2024, bulan yang dilakukan ekspor jagung ke Filipina sebesar Rp4.000/kg, sedangkan harga jagung global sebesar Rp3.000/kg. Situasi yang ironis, dimana petani kehilangan potensi keuntungan maksimal karena adanya keterbasan tempat penyimpanan jagung.
Ke depan, pengembangan pakan ternak lokal menjadi solusi strategis untuk hilirisasi jagung. Dengan mengolah jagung Gorontalo menjadi pakan di daerah sendiri, efisiensi produksi sapi potong bisa meningkatdan jagung petani memiliki kepastian penjualan dan terserap secara berkesinambungan.
Hasil penelitian Suwarto dan Prihantoro (2020) membuktikan, integrasi jagung dan sapi di Tuban, Jawa Timur, mampu memangkas biaya pertanian sekaligus menjaga lingkungan. Resepnya sederhana: 1 hektar jagung dipasangkan dengan 2 ekor sapi. Kotoran sapi menjadi pupuk organik yang bisa menghemat urea hingga 100 kg per hektaratau setara 9.651 ton per tahun di seluruh Tuban. Dari sisi ekonomi, penghematan bisa mencapai Rp230 ribu per hektar atau total Rp20,26 miliar per tahun.
Selain menghemat biaya, sistem ini juga memanfaatkan limbah jagung sebagai pakan ternak, sehingga nyaris tidak ada yang terbuang. Siklus timbal balik ini menciptakan ekonomi sirkuler yang ramah lingkungan. Petani diuntungkan, peternak terbantu, dan masyarakat luas merasakan manfaatnya
Integrasi komoditas sapi dan jagung tidak berhenti di level budidaya. Hilirisasi daging sapi terus didorong untuk menjadi produk olahan seperti bakso, dendeng, abon, hingga frozen meat yang membuka lapangan kerja dan pasar baru, khususnya dari UMKM.
Peran Gorontalo dalam komoditas sapi menjadi semakin strategis apabila sapi Gorontalo dapat menjadi pasokan pada wilayah yang defisit daging sapi, antara lain di Kalimantan Timur. Defisit neraca daging sapi di Kalimantan Timur yang mencapai 5.500 ton setiap tahun menjadi pasar potensial bagi sapi potong Gorontalo. Kerja sama antar daerah (KAD) antara Gorontalo sebagai daerah produsen dan Kalimantan Timur sebagai daerah konsumen menjadi salah satu langkah strategis untuk membangun model perdagangan antarprovinsi yang saling menguntungkan.
Apalagi dengan berlanjutnya pembangunan IKN, tidak menutup kemungkinan bahwa kebutuhan akan daging sapi di wilayah Kalimantan Timur akan terus meningkat.Ketersediaan jagung lokal sebagai pakan juga memperkuat daya saing harga sapi Gorontalo karena biaya pakan dapat ditekan. Kombinasi ini menjadikan Gorontalo bukan hanya sebagai pemasok sapi, tetapi juga sebagai pusat agribisnis terintegrasi di Kawasan Timur Indonesia.
Pengembangan integrasi sapi potong dan jagung tidak akan berjalan optimal tanpa sinergi berbagai pihak. Dibutuhkan langkah nyata mulai dari kemudahan akses pembiayaan, penguatan organisasi petani-peternak, sampai peningkatan riset dan inovasi teknologi pakan.Sinergi perlu diperkuat antarapemerintah daerah, pelaku usaha, koperasi (Koperasi Desa Merah Putih), hingga dukungan skema pembiayaan dari lembaga keuanganakan menjadi mesin penggerak perubahan.
Bentuk dukungan kebijakan yang dapat dikembangkan antara lain (i) Kredit Usaha Rakyat (KUR) berbunga rendah khusus pada sektor peternakan dan pakan ternak, dan skema offtaker jagung yang menjamin penyerapan hasil; (ii) pendampingan Koperasi Desa Merah Putih atau BUMDes dalam mengelola pakan dan distribusi jagung-pakan; (iii) pelatihan kepada petani jagung atau peternak dalam pembuatan pakan fermentasi berbasis jagung, teknologi yang memperpanjang masa simpan pakan, serta inovasi pupuk organik dari limbah ternak; (iv) pemanfaatan tol laut Pelabuhan Kwandang untuk menghubungkan Gorontalo sebagai produsen dengan Kalimantan Timur sebagai pasar utama; (v) Dukungan dalam pembentukan asosiasi/koperasi peternakan atau penggemukan sapi demi mendukung kelembagaan dan solidaritas antara pelaku usaha.
Dengan potensi besar yang dimiliki, Gorontalo memiliki peluang untuk memposisikan diri sebagai center of excellence agribisnis sapi-jagung di Kawasan Timur Indonesia. Melalui integrasi dari hulu hingga hilir, dua komoditas ini tidak hanya akan menjadi penopang ekonomi daerah, tetapi juga kontributor penting ketahanan pangan nasional. Kerja sama lintas sektor dan lintas daerah akan menjadi kunci menjadikan jagung dan sapi potong sebagai pilar Gorontalo Emas yang madani, berdaya saing, dan berkelanjutan. (*)
Penulis adalah Ekonom Yunior, artikel merupakan opini pribadi, tidak mencerminkan pandangan lembaga/instansi











Discussion about this post