Oleh:
Basri Amin
BANYAK orang yang kehilangan momentum mengerjakan perbaikan. Sebabnya antara lain karena anti nasehat dan lemahnya kontemplasi. Tidak mudah memang menjadi orang yang berkemampuan “menerima nasehat”. Padahal, sebagai manusia, sejak awal kita dibekali pengetahuan bahwa kita adalah makhluk yang setiap saat bisa salah.
Banyak masalah yang kita hadapi seringkali disebabkan oleh sikap kita yang merasa benar sendiri, merasa sangat tahu, dan berpikir bahwa diri kitalah sebagai pusat pengambilan keputusan. Kita cenderung senang didukung dan diramaikan.
Kita begitu rentan terpukau dengan publikasi dan selebrasi, daripada keterbukaan menerima orang-orang yang menyampaikan gagasan dan sudut pandang, menyuguhkan peta resiko, potensi masalah dan pilihan-pilihan perbaikan.
Manusia angkuh pastilah menolak nasehat. Di alam nyata, kepercayaan diri yang berlebihan banyak dialami oleh mereka yang merasa punya pengalaman, otoritas dan pengetahuan lebih. Satu hal yang mudah mereka lupakan adalah bahwa setiap peran mempunyai “hukum waktunya” sendiri dan pada setiap etape waktu yang dijalani, keragaman hubungan terbentuk dengan kepentingannya masing-masing.
Sekali kita mempunyai otoritas dan sumberdaya tertentu, makin banyak mata, telinga dan mulut menganga yang mengitari kita setiap saat. Semuanya hilir-mudik, sering tak menentu, dan datang bergantian menyuguhkan suara, gambar dan cerita. Tapi semuanya tidak pernah datang-utuh menerangkan keadaan yang sebenarnya.
Tokoh ternama di bidang sains, Sir Isaac Newton, ketika merenungi semua kosmologi yang mengitari pengetahuan manusia dan penghidupannya, akhirnya berucap: “manusia kebanyakan membuat tembok-tembok pemisah daripada jembatan-jembatan penghubung….”. Banyak makna yang bisa kita simak dari ungkapan ini.
Sistem (pergaulan) hidup yang kita bangun belakangan ini, baik di tingkat dunia maupun di tingkat lokal, sepertinya terkesima dengan pembuatan “tembok pemisah” itu. Kita, sadar atau tidak, sangat mudah membesarkan kotak-kotak “pemisah” di antara kita. Di medan kerja apa pun yang kita jalani, kita demikian sulit “percaya” satu sama lain.
Kita makin lihai membangun siasat hidup daripada membesarkan silsilah hidup yang menyambungkan nilai-nilai kita. Semua urusan akan sangat ditentukan oleh “perubahan perilaku” kita, demikian nasehat John Kotter dari Harvard (Covey, 2006).
Dalam hidup, keberanian amat kita perlukan, sama seperti kecerdasan dan energi besar dalam bekerja. Tapi, tanpa integritas yang mengakar dari dalam, semua potensi yang lain potensial akan membunuh atau mencelakai kita.
Jika tidak dalam jangka pendek, dalam waktu yang tidak terlalu lama kenyataan yang memilukan akan datang, tepat di saat kurva pencapaian tinggi dan kemenangan sudah di depan mata.
Kehilangan kesempatan di depan mata tentulah sangat menyakitkan. Tapi, sesungguhnya, yang nyata adalah bahwa kita telah lama mengidap sakit parah dan permanen dalam jiwa dan pikiran kita. Hal itulah justru yang telah membunuh harapan-harapan kita sejak awal.
Memimpin diri sendiri bukanlah pekerjaan ringan. Memimpin dalam arti “memberi nasehat” kepada diri sendiri dan selalu berdaya untuk belajar, terutama untuk lapang hati dan pikiran jernih untuk “meminta nasehat” dari orang lain.
Jelas terasa bahwa untuk urusan nasehat, adalah lebih sehat untuk kita terbiasa “meminta” nasehat daripada “menanti nasehat”. Penghalang satu-satunya dalam perkara ini adalah egoisme kita sendiri. Godaan untuk selalu merasa di atas dari yang lain, lebih hebat, lebih tahu, dan lebih paham dari orang lain, adalah tembok keras yang melintang.
Dalam organisasi, terutama organisasi di negara-negara maju, kedudukan “advisory board” (dewan penasehat) sangat sentral adanya. Bukan dalam kedudukannya sebagai sesuatu yang formalistik tapi sungguh-sungguh menjadi piranti organisasional yang dibutuhkan kapasitas dan keterhandalan kerjanya.
Mereka yang menempati fungsi ini mempunyai otonomi tertentu yang tinggi dan justru karena itulah diharapkan pandangan dan “nasehat”nya menjadi sangat bernas dan diandalkan. Mereka bukanlah tukang yang ikut menjadi parasit dari sistem organisasi dimana kedudukan mereka tak lebih sebagai tempelan dan sekadar sebagai sebuah tim yang bergerombol tapi efisiensi kerjanya biasa-biasanya saja.
Nasehat yang dibutuhkan oleh mereka yang bekerja untuk orang banyak (baca: publik) tidak bisa ditakar dengan standar biasa. Begitu banyak situasi dan sensasi yang mengitari perkara-perkara publik setiap hari. Keputusan harus diambil dalam berbagai kondisi dan kontestasi, dengan keruwetannya masing-masing.
Dalam banyak hal, “pengalaman formal” tidak cukup karena hanya akan menjerumuskan kita pada cara-cara kerja lama dan konservartif. Jika Anda bekerja dalam satu bidang selama 5 (lima) tahun, itu belumlah cukup karena bisa jadi kemampuan Anda barulah sampai pada tahap “menjalankan aturan” dan “rutinitas organisasi”.
Dalam skala waktu lima tahun, juga sangat berpotensi tidak mencipta terobosan, melainkan masih besar naluri meniru dan uji-coba pekerjaan untuk tema-tema yang aspek “ramai”nya lebih dominan. Terkecuali Anda berani, punya visi hebat dan dilingkari oleh pekerja loyal yang solid dan bertipe influencer (Grenny, dkk, 2013).
Pemimpin ritualistik masih dominan di negeri ini. Mereka memimpin dengan psikologi menang-kalah. Dalam praktiknya, nada-nada khawatir, klik demi klik kelompok, tabiat mengatur dan memaksa, pikiran-pikiran jargonistik, anti kritik dan memobilisasi momen-momen, cenderung mewarnai wajah budaya kerjanya.
Pemimpin seperti ini tidak mempunyai “empati-kreatif” terhadap jeritan publik. Ia akan sulit menemukan “suara asli” dari masyarakat yang dipimpinnya. Ia lemah dalam memaksa aparatnya untuk belajar cepat dan ia kehilangan fokus dalam menata sistem monitoring dan pola mentoring dalam program-programnya.
Daftar kegiatan seremoni diperbanyak tapi sangat mudah bosan untuk bercakap di tengah-tengah rakyatnya. Ia selalu tampak sibuk dan rapi, tapi mudah gerah dengan nalar yang diskursif. Yang ia nikmati adalah sibuk dengan gaya bahasanya sendiri!
Pemimpin hebat haruslah mampu menasehati dirinya sendiri. Dan untuk mencapai hal itu, ia membutuhkan “lingkaran penasehat” yang dedikatif, yang menyandang kemampuan tertentu dalam bekerja akurat, menawarkan pilihan dan mempunyai imajinasi yang melintasi lingkaran-lingkaran resiko yang potensial menghalangi sebuah keputusan atau menimpa sebuah posisi (Maister, dkk 2000).
Nasehat sejati akan berjalan dengan pola “membangun jembatan”. Dengan itulah jalan-jalan (keluar) selalu tampak ketika waktunya dibutuhkan. Masalahnya, untuk apalagi sebuah nasehat ketika “nasi sudah jadi bubur.”
Kekalahan kita dalam hidup justru bermula pada kekalahan kita menasehati diri sendiri; dan ketika kita gagal bertemu dengan sumber dan pemberi nasehat yang tepat.***
Penulis adalah Anggota Indonesia Social Justice Network (ISJN)
Surel: basriamin@HYPERLINK “mailto:basriamin@gmail”gmail.com










Discussion about this post