Oleh :
Hamka Hendra Noer
DI tengah arus deras digitalisasi, politik mengalami transformasi fundamental yang tak terhindarkan. Internet, media sosial, kecerdasan buatan, hingga algoritma platform digital telah mengubah pola-pola lama partisipasi politik menjadi lebih terbuka, cepat, dan dinamis. Ruang diskusi politik kini tidak lagi terbatas pada parlemen atau media arus utama, melainkan meluas ke platform digital tempat warga dan aktivis menyuarakan pendapat serta membentuk opini publik secara langsung.
Transformasi ini membuka peluang besar bagi demokratisasi. Teknologi digital memperluas akses informasi politik, memungkinkan partisipasi yang lebih luas, serta memperkuat kontrol masyarakat terhadap institusi kekuasaan. Media sosial menjadi alat mobilisasi efektif, untuk menekan kebijakan tidak responsif. Namun, di balik itu, digitalisasi juga menghadirkan paradox penyebaran disinformasi, polarisasi politik, dan bentuk otoritarianisme baru pengawasan algoritmik.
Dalam konteks ini, digitalisasi politik tidak bisa dipandang sekadar sebagai inovasi teknis, melainkan sebagai bentuk kontestasi kekuasaan yang kompleks. Diperlukan respons kritis dan kolaboratif masyarakat, negara, dan sektor teknologi untuk membangun tata kelola digital yang inklusif, adil, dan demokratis. Tanpa itu, risiko terkikisnya demokrasi oleh kekuatan algoritma dan dominasi data akan semakin nyata.
RUANG PUBLIK DIGITAL
Transformasi digital membawa harapan baru bagi demokratisasi. Teknologi telah memperluas akses masyarakat terhadap informasi politik dan mendorong partisipasi public lebih aktif dan terbuka. Bukan lagi sekadar objek kebijakan, masyarakat menjadi subjek membentuk wacana politik melalui media sosial, forum digital, dan kanal daring lainnya. Menurut Castells (2012), internet sebagai “ruang perlawanan” yang memberikan panggung bagi kelompok marginal untuk menyuarakan isu-isu yang sering diabaikan oleh media arus utama. Gerakan #ReformasiDikorupsi dan #SaveKPK menunjukkan bahwa mobilisasi digital dapat mengguncang struktur kekuasaan dengan cepat dan masif.
Digitalisasi juga mendisrupsi dominasi elit dalam membentuk opini publik. Penelitian Tufekci (2017) menyatakan media sosial memungkinkan dinamika mobilisasi sosial horizontal, memperkuat tekanan dari bawah terhadap lembaga formal. Di Indonesia, 68,9% pengguna internet mengakses informasi politik melalui media sosial (APJII, 2023), yang menunjukkan pergeseran signifikan dalam struktur komunikasi politik. Politik digital memungkinkan munculnya aktor-aktor non-elite mengintervensi wacana public secara efektif, meski tanpa infrastruktur politik konvensional.
Namun, transformasi juga membawa paradoks. Algoritma media social mendorong keterlibatan menyajikan konten selaras dengan preferensi pengguna, menciptakan ruang gema (echo chamber) dan memicu polarisasi. Survei LSI (2023) mencatat 41% responden hanya mengakses informasi politik dari sumber yang mereka anggap sejalan. Akibatnya, ruang publik digital kehilangan fungsi deliberatifnya karena dialog lintas pandangan menjadi semakin langka.
Dalam kondisi tersebut, disinformasi berkembang subur. Laporan Mafindo (2022) menunjukkan bahwa 35% hoaks di Indonesia berisi konten politik, seringkali dimanfaatkan elite untuk membentuk persepsi public melalui narasi menyesatkan. Disinformasi melemahkan rasionalitas warga dan menciptakan ketidak percayaan terhadap proses politik. Politik digital seharusnya memberdayakan, justru digunakan memanipulasi opini public dan merusak kualitas demokrasi.
Lebih mengkhawatirkan lagi, Negara dan aparat keamanan mulai memanfaatkan teknologi digital untuk pengawasan dan represi. Ini menandakan munculnya otoritarianisme baru berwujud digital. Kekuasaan dibungkus teknologi, tetapi bekerja membungkam oposisi dan mengatur ulang ruang public sesuai kepentingan penguasa.
Sementara, kebocoran data pribadi warga seperti kasus e-KTP, PeduliLindungi, dan kebocoran data pemilih menambah urgensi pembentukan tata kelola data yang akuntabel. UU Perlindungan Data Pribadi yang disahkan tahun 2022 masih lemah dalam implementasi dan pengawasan. Ketika data digunakan untuk microtargeting dalam kampanye, maka yang terancam bukan hanya privasi, tetapi juga integritas politik elektoral.
Menghadapi tantangan ini, Negara harus mengambil peran aktif dalam menciptakan ekosistem informasi yang sehat dan demokratis. Literasi digital masyarakat perlu diperkuat agar warga tak hanya menjadi konsumen informasi, tetapi juga actor politik yang kritis. Regulasi terhadap algoritma, transparansi data, serta jaminan kebebasan berekspresi di ruang digital harus menjadi agenda politik utama. Demokrasi digital hanya akan berkembang jika kekuasaan teknologi dikontrol oleh prinsip keadilan, etika, dan kebebasan partisipasi publik yang terbuka.
OTORITARIANISME DIGITAL
Digitalisasi semula dipandang sebagai alat emansipasi politik kini berbalik menjadi instrument kontrol di tangan rezim otoriter. Negara-negara seperti Tiongkok dan Rusia telah menunjukkan bagaimana kecanggihan teknologi—terutama algoritma dan kecerdasan buatan—dimanfaatkan untuk mengawasi perilaku warganya, menyensor opini publik, dan menghukum lawan politik secara sistematis. Morozov (2011) menyebut fenomena ini sebagai cyber authoritarianism, bentuk kekuasaan baru yang bekerja di balik layar perangkat digital dan algoritma, tetapi berdampak nyata dalam membatasi kebebasan sipil dan partisipasi politik.
Tren ini merembet ke Indonesia. Laporan SAFEnet (2023) mencatat lebih dari 300 kasus serangan digital terhadap jurnalis, aktivis, dan akademisi antara 2021-2023. Tindakan seperti peretasan, penyebaran data pribadi, doxing, hingga pelaporan melalui Undang-Undang ITE menjadipola yang semakinsistematis. Bahkan, penggunaan spywarepegasus oleh aparat keamanan untuk memantau komunikasi politik menandakan ruang digital mulaidi kontrol demi mempertahankan dominasi kekuasaan.
Alih-alih memperluas partisipasi, digitalisasi justru berisiko mempersempit ruang publik. Munculnya akun bot dan buzzerpenyebar propaganda pro-pemerintah serta menyerang kelompok oposisi, merefleksikan bagaimana algoritma disulap menjadi senjata politik. Ruang publik digital berubah dari arena deliberasi menjadi lading pertempuran narasi, dengan bias algoritmik memperkuat polarisasi. Dalamkondisiini, demokrasi kehilangan semangat deliberatifenya dan menjelma menjadi demokrasi semu berbasis manipulasi informasi.
Lebih buruk lagi, masyarakat mulai terbiasa dengan praktik pengawasan dan pembungkaman. Fenomena consented surveillance, atau penerimaan public terhadap kontrol digital atas nama stabilitas dan keamanan, mulai menjamur. Demokrasi yang idealnya menjamin kebebasan berekspresi justru dihadapkan pada normalisasi penyensoran. Jika dibiarkan, akan terjerumus pada bentuk demokrasi ilusi, dimana prosedur electoral berjalan, tetapi substansi kebebasan politik dikerdilkan.
Selain itu, teknologi microtargeting memperdalam ancaman terhadap keadilan politik. Data pengguna media sosial dianalisis untuk memengaruhi perilaku memilih secara personal, tanpa disadari pengguna. Kasus Cambridge Analytica di AS menjadi contoh bagaimana pemilu dimanipulasi melalui personalisasi algoritmik. Praktik ini mulai diterapkan secara diam-diam di Indonesia, terutama dalam Pilpres dan Pilkada, menciptakan keunggulan tidak adil yang merusak asas kompetisi setara.
Sayangnya, perlindungan terhadap data pribadi masih lemah dan belum memiliki efektivitas implementatif. Infrastruktur kelembagaan yang rapuh dan rendahnya literasi digital masyarakat membuat data publik mudah diakses dan disalahgunakan untuk kepentingan politik. Kebocoran data menunjukkan betapa rawannya keamanan sistem digital dan etika penggunaan.
Menghadapi ini, dibutuhkan gerakan kolektif lintas sector untuk memperkuat demokrasi digital. Pemerintah, masyarakat sipil, media independen, dan komunitas teknologi harus bersama-sama mendorong regulasi platform, audit algoritma, dan peningkatan literasi digital. Demokrasi digital hanya dapat hidup jika public mampu mengontrol teknologi, bukan sebaliknya. Ruang publik hanya dapat bertahan jika dibangun atas dasar keterbukaan, kesetaraan, dan keberanian melawan dominasi terselubung.
Digitalisasi politik adalah hal baru, dimana nilai, kekuasaan, dan control saling berkelindan. Teknologi bukan sekadar alat netral, melainkan produk politik yang mencerminkan kepentingan dominan. Maka, demokrasi digital menuntut lebih dari sekadar konektivitas, tetapi keberanian struktural untuk menegakkan keadilan digital dan membongkar algoritma yang menindas.
Tanpa keberpihakan pada masyarakat, ruang digital akan dikuasai oleh elit dan korporasi teknologi. Karena itu, demokrasi masa depan bergantung pada sejauh mana public mampu mengintervensi arah teknologi secara kolektif. Bukan menyerah pada ilusi partisipasi data semu dan diawasi algoritma.
Hanya dengan itulah, digitalisasi benar-benar dapat menjadi jalan menuju demokrasi yang lebih substantif dan bermartabat. (*)
Dosen Ilmu Politik, FISIP,
Universitas Muhammadiyah Jakarta










Discussion about this post