Oleh :
Hamka Hendra Noer
DALAM dinamika politik Indonesia, birokrasi sering dipersepsikan sebagai institusi berwajah dua. Di satusisi, diidealkan sebagai mesin administratif yang netral, profesional, dan melayani kepentingan publik. Namun di sisi lain, birokrasi juga sering menjadi instrument kekuasaan yang tunduk pada elite politik dan rawan disalahgunakan untuk kepentingan tertentu.
Masalah ini semakin pelik ketika birokrasi tidak hanya menjadi korban politisasi, tetapi juga ikut melanggengkan kekuasaan. Banyak pejabat birokrasi berwajah dua. Tampil profesional di depan publik, namun menjalankan fungsi politik di balik layar. Birokrasi terlibat dalam praktik manipulatif administratif, hingga intervensi kebijakan strategis.
Untuk mengatasi persoalan ini, reformasi birokrasi harus menyentuh aspek structural dan kultural sekaligus. Perlu sistem meritokrasi yang kuat serta pembentukan budaya kerja berorientasi kepentingan publik. Tanpa itu, birokrasi akan terus beroperasi dengan dua wajah—melayani rakyat secara formal, namun memperkuat kekuasaan secara laten.
WAJAH PELAYANAN PUBLIK
Secara ideal, birokrasi adalah tulang punggung negara dalam menyediakan pelayanan publik yang adil, efisien, dan merata. Dalam sistem demokrasi modern, pelayanan publik merupakan manifestasi kehadiran negara di tengah masyarakat, mulai dari layanan administrasi sipil, pendidikan, kesehatan, hingga perizinan usaha.
Namun di Indonesia, birokrasi sering kali gagal menjalankan fungsi ideal ini secara optimal. Ketika pelayanan seharusnya bersifat responsif dan inklusif, kenyataannya masyarakat menghadapi prosedur yang berbelit, waktu tunggu panjang, dan perilaku diskriminatif aparatur negara. Hal ini mencerminkan adanya jarak yang lebar antara regulasi yang dirancang dengan implementasi di lapangan.
Birokrasi masih dihantui oleh warisan feodalisme administratif yang membuat hubungan antara birokrat dan masyarakat cenderung vertikal. Ketimpangan ini menghasilkan pola pelayanan yang tidak partisipatif, bahkan cenderung transaksional. Berdasarkan survey Indeks Kepuasan Masyarakat (IKM) yang dirilis KemenPAN-RB, banyak instansi pemerintah daerah masih mendapatkan nilai “cukup” atau bahkan “kurang” dalam hal transparansi prosedur, kepastian waktu layanan, serta kejelasan biaya. Di balik ini semua, terletak persoalan mendasar, lemahnya akuntabilitas birokrasi.
Kondisi ini sangat kontras jika dibandingkan dengan negara-negara Skandinavia seperti; Denmark dan Swedia, yang konsisten menduduki peringkat teratas dalam Indeks Persepsi Pelayanan Publik. Kedua negara ini, menjalankan prinsip citizen-oriented governance secara konsisten.
Warga diberihak untuk mengakses informasi layanan secara digital, mengajukan complain dengan mekanisme cepat, serta menilai kinerja aparatur melalui plat form terbuka. Menurut Christensen dan Laegreid (2007), keberhasilan pelayanan publik di Skandinavia berakar pada profesionalisme ASN, integritas sistem, dan kepercayaan publik yang tinggi terhadap pemerintah.
Sebaliknya, di Indonesia, reformasi birokrasi sering berhenti pada tataran structural dan teknokratis, tanpa menyentuh aspek kultural. Banyak ASN bekerja berdasarkan loyalitas politik, bukan kompetensi. Bahkan, mutasi dan promosi jabatan dikendalikan oleh kepala daerah atau elite politik, bukan oleh system meritokrasi yang objektif. Ini menyebabkan banyak birokrat yang tidak memiliki insentif untuk melayani secara profesional, karena orientasi kerja banyak ditentukan oleh loyalitas dan kelanggengan jabatan.
Pelayanan publik yang buruk bukan sekadar soal keluhan sehari-hari masyarakat, tapi merupakan masalah demokrasi. Ketika birokrasi gagal melayani, kepercayaan publik terhadap negara ikut tergerus. Oleh karena itu, membenahi wajah birokrasi sebagai pelayan publik tidak cukup dengan pelatihan atau aplikasi digital, tetapi harus dibarengi reformasi budaya kerja dan penegakan etika pelayanan. Negara perlu mendorong ASN sebagai aktor perubahan, bukan hanya operator sistem. Sebab, pelayanan publik yang berkualitas adalah wajah sejati birokrasi yang profesional.
WAJAH ALAT KEKUASAAN
Sisi gelap birokrasi adalah perannya sebagai instrument kekuasaan politik. Dalam praktik politik, birokrasi tidak hanya menjadi pelaksana kebijakan, tetapi juga alat bagi elit politik untuk mempertahankan, memperluas, bahkan mereproduksi kekuasaan. Posisi strategis dalam struktur birokrasi, khususnya di tingkat daerah, sering dijadikan alat tawar-menawar dalam dinamika politik elektoral. Fenomena ini menciptakan birokrasi yang “terkooptasi,” bukan netral secara institusional, dan menjauh dari prinsip civil service neutrality yang menjadi standard demokrasi modern.
Hal ini tampak jelas dalam siklus lima tahunan pemilihan kepala daerah. Banyak kepala daerah mengganti pejabat birokrasi atas dasar loyalitas politik ketimbang kompetensi. Menurut laporan KASN (2023), sejak Pilkada langsung diberlakukan, terdapat ribuan kasus pelanggaran netralitas ASN—mulai dari keterlibatan aktif dalam kampanye hingga penggalangan suara untuk petahana. Dalam pandangan Hadiz (2010), hal ini adalah cerminan dari oligarki politik Indonesia, dimana elite ekonomi dan politik menggunakan birokrasi sebagai instrument distribusi patronase.
Sebagai perbandingan, Singapura menunjukkan arah sebaliknya. Birokrasi di negara kota tersebut dikenal sangat professional dan tahan terhadap intervensi politik. Melalui sistem rekrutmen berbasis kompetensi dan pengawasan anti korupsi yang ketat oleh CPIB (Corrupt Practices Investigation Bureau), Singapura berhasil menjaga netralitas birokrasi sekaligus meningkatkan efisiensi pelayanan. Merujuk Quah (2010), keberhasilan ini tak lepas dari konsistensi pemerintah dalam menegakkan meritokrasi dan membangun budaya pelayanan publik berbasis integritas.
Sementara, di Indonesia, birokrasi sering diperalat untuk mempertahankan dominasi kekuasaan lokal, seperti dalam kasus dinasti politik di sejumlah daerah. Aparat birokrasi semestinya menjadi penyeimbang, justru menjadi alat kekuasaan dinasti. Bahkan, membantu proses mobilisasi sumber daya, mengamankan suara pemilih, dan turut serta memanipulasi kebijakan menguntungkan rezim berkuasa. Fenomena ini memperkuat logika politik transaksional dan memperlemah kapasitas negara dalam menjalankan tata kelola yang bersih dan demokratis.
Untuk memutus lingkaran ini, perlu ada upaya sistemik dalam menjamin otonomi birokrasi dari intervensi politik. Tidak cukup hanya dengan regulasi netralitas ASN. Justeru, dibutuhkan sistem akuntabilitas publik yang kuat, perlindungan hokum bagi whistle blower birokrasi, serta mekanis mepromosi yang transparan. Artinya, demokrasi yang sehat membutuhkan birokrasi yang otonom—bukan birokrasi yang menjadi perpanjangan tangan kekuasaan politik. Jika tidak, birokrasi akan terus berwajah ganda dengan menyembunyikan dominasi elite di balik jargon pelayanan.
Fenomena birokrasi berwajah dua mencerminkan kegagalan structural dalam memisahkan fungsi administrative negara dari kepentingan politik kekuasaan. Ketika birokrasi dijadikan alat distribusi patronase oleh elite, maka prinsip netralitas dan pelayanan publik terdistorsi. Ini menunjukkan bahwa problem birokrasi bersifat sistemik dan erat kaitannya dengan desain kekuasaan itu sendiri.
Jadi, kualitas demokrasi sangat bergantung pada kapasitas institusi negara. Karena itu, reformasi birokrasi harus dilakukan secara komprehensif—mencakup meritokrasi, integritas kelembagaan, dan pembatasan intervensi politik. Dengan begitu, birokrasi benar-benar menjadi penopang demokrasi, bukan sekadar perpanjangan tangan elite penguasa. (*)
Penulis adalah Dosen Ilmu Politik, FISIP,
Universitas Muhammadiyah Jakarta









Discussion about this post