Oleh :
Muh. Amier Arham
“Indonesia adalah kepingan surga yang dipindahkan ke bumi (Buya Hamka)”.
Ungkapan ini kerap dikaitkan dengan BuyaHamka, betapa ulama besar ini mengagumi dan begitu bangganya terhadap Indonesia. Kalimat —kepingan surga— menggambarkan Indonesia adalah negeri yang elok, kaya Sumber Daya Alam (SDA), karena itu bangsa Eropa zaman dahulu tertarik datang ke Indonesia untuk berniaga komoditi yang sangat dibutuhkan di negaranya, seperti; pala, cengkeh, tembakau, tebu atau produk perkebunan lainnya. Selain itu komoditi strategis diantaranya minyak bumi, gas, batu bara serta mineral, dan emas. Belakangan yang menjadi favorit komoditi nikel.
Jejak peninggalan keterlibatan bangsa asing mengeksplorasi SDA di Indonesia masih Nampak diberbagai lokasi, berdiri kokoh dan terus berproduksi, seperti kilang minyak yang ada di Plaju Palembang dan Balikpapan Kalimantan Timur. Sementara kegiatan pertambangan batu bara yang telah berlangsung lama ada di Sumatera dan Kalimantan, sebagian diantaranya telah habis depositnya tertinggal tanah koyak dan lubang raksasa, dan gunung emas ada di beberapa tempat, namun yang menonjol adalah tambang emas di Tembagapura Papua Tengah. Dan paling anyar tambang nikel membetot perhatian banyak pihak bukan karena Indonesia memiliki cadangan nikel terbesar di dunia, namun termasuk segala pro kontra yang mengemuka di dalamnya.
Selama puluhan tahun SDA yang dieksplorasi nilai tambah yang dihasilkan sangat minim, sejak tahun 2019 pemerintah memutuskan mendorong peningkatan nilai tambah komoditi melalui program hilirisasi, sekalipun jauh sebelumnya telah dirintis. Selain meningkatkan nilai tambah, hilirisasi dapat menciptakan lapangan kerja baru serta menambah penerimaan negara.
Tidak itu saja, kebijakan hilirisasi komoditi ekstraktif diklaim dapat menurunkan angka kemiskinan secara signifikan dan menggeser struktur tenaga kerja ke sector produktif. Hanya saja hilirisasi tidak semata memberikan dampak positif, juga sudah pasti akan menciptakan dampak negative (negative externality),seperti pencemaran lingkungan, konflik sosial, dan risiko ketergantungan pada industry tertentu. Bila dihitung valuasi ekonominya kerusakan lingkungan boleh jadi nilainya lebih besar ketimbang pendapatan yang diraih oleh negara dan masyarakat setempat.
Secara kasat mata daerah penghasil migas dan tambang cenderung menjadi kantong kemiskinan, tengok misalnya Aceh sejak zaman Belanda dikenal sebagai penghasil migas akan tetapi memiliki angka kemiskinan tertinggi di Sumatera bahkan menempati posisi ke 6 sebelum Papua dan Papua Barat dimekarkan, kondisi serupa dialami oleh Sumatera Selatan yang kaya SDA angka kemiskinan mencapai 10,51 % pada tahun 2024.
Bergeser ke timur angka kemiskinan tertinggi melingkupi seluruh provinsi yang ada di Papua serta penghasil nikel terbesar Sulawesi Tengah angka kemiskinannya masih double digit (11,04 %). Yang terakhir ini diklaim oleh LBP bahwa kehadiran smelter dan program hilirisasi nikel di Morowali menurunkan angka kemiskinan secara signifikan. Kendati data statistic membuka tabir yang sebenarnya, bahwa klaim itu tidak sepenuhnya valid. Data BPS menggambarkan secara gambling bahwa daerah yang tidak memiliki SDA, tambang maupun kegiatan hilirisasi justru elastisitas penurunan angka kemiskinan lebih besar dibanding dengan Provinsi Sulawesi Tengah dan Maluku Utara.
Mari kita simak angka-angka statistik yang dikeluarkan oleh BPS, dimana lembaga negara ini tugasnya memproduksi data yang wajib dijadikan rujukan untuk keperluan pengambilan kebijakan. Pada tahun 2013 tahap dimulai kegiatan hilirisasi nikel di Morowali Sulawesi Tengah, angka kemiskinan mencapai 14,32 % dan di tahun 2023 sebesar 11,04 persen atau hanya menurun sebesar 3,28 persen dalam kurun waktu satu dekade.
Sedangkan Provinsi Maluku Utara, kondisi kemiskinan di daerah kepulauan tersebut pada tahun 2013 sebanyak7,64 persen dan pada tahun 2023 sebesar 6,46 persen, artinya orang miskin hanya berkurang sebanyak 1,18 % selama 10 tahun. Bandingkan dengan Provinsi Gorontalo sumbangan sector pertambangan dan industry masing-masing kurang dari 5 persen, dimana elastisitas penurunan angka kemiskinannya tidak terpaut jauh dengan kondisi kemiskinan di Sulawesi Tengah.
Lebih mirisnya lagi keadaan kemiskinan di Kabupaten Morowali selama berdirinya kawasan IMIP persentase penurunan angka kemiskinan tidak sampai 5 persen, itu pun telah terjadi pemekaran wilayah sebelumnya hanya satu kabupaten. Maka dengan sendirinya orang miskin telah terbagi dua (Morowali dan Morowali Utara).
Lalu apakah terjadi pergeseran struktur ekonomi di kedua provinsi yang terdapat kawasan industry pemurnian nikel? Dalam sajian data BPS terjadi pergeseran secara signifikan, pada tahun 2013 sumbangan sector industri dalam pembentukan ekonomi Sulawesi Tengah sebesar 6,35 persen melonjak sebesar 40,37 persen pada tahun 2023, Kabupaten Morowali sendiri pada tahun 2013 sumbangan sector industry hanya sebesar 2,41 persen dan pada tahun 2023 sebesar 72,72 persen.
Untuk Maluku Utara, sumbangan lapangan usaha industry pengolahan pada tahun 2013 sebesar 11,41 persen naik menjadi 32,31 persen pada tahun 2023. Data terebut memberikan informasi yang cukup bahwa kegiatan hilirisasi di kedua provinsi penghasil nikel telah terjadi perubahan struktur ekonomi selama 10 tahun, yang ditandai dengan makin menurunnya pangsa sektor pertanian disaat yang sama pangsa sector industry pengolahan meningkat kontribusinya terhadap pembentukan ekonomi wilayah (PDRB).
Idealnya bila terjadi proses transformasi struktur ekonomi akan diikuti oleh pergeseran struktur tenaga kerja, dari sektor non produktif ke sector produktif (industry pengolahan). Namun bila dipelajari data statistik, di Sulawesi Tengah laju transformasi struktur tenaga kerja berjalan lambat, misalnya pada tahun 2013 penduduk bekerja pada sector industry sebesar 5,05 persen dan pada tahun 2023 bertambah sekitar 15 persen.
Sedangkan di Provinsi Maluku Utara pergeseran struktur tenaga kerja lumayan seimbang sebab penduduk bekerja di sektor industri pada tahun 2013 hanya 2,05 persen dan meningkat sebesar 25,33 persen pada tahun 2023, artinya pergeseran struktur ekonomi diikuti oleh pergeseran struktur tenaga kerja, sekali pun pergeseran yang terjadi tidak inline dengan perubahan angka kemiskinan karena penurunan angka kemiskinan di Maluku Utara kurang dari 2 persen selama 10 tahun.
Padahal perubahan struktur ekonomi sejatinya dapat merubah landscape kondisi kemiskinan disuatu negara (wilayah), Abdul A. Erumban dkk (2024) dalam artikelnya—Structural change and poverty reduction in developing economies—menyimpulkan bahwa pertumbuhan produktivitas sector industri (manufaktur) menjadi factor menonjol mengurangi kemiskinan, walau dalam studi tersebut faktanya tidak semua negara mengalami.
Meningkatnya pangsa sector industri yang di-drive oleh ekonomi ekstraktif pemerintah perlu mencermati, sebab pengalaman menunjukkan peningkatan pangsa sector manufaktur akan memiliki resiko ketergantungan pada sektor tertentu saja. Pada akhirnya kebutuhan pokok bergantung dari impor diikuti dengan kenaikan harga-harga, dan lazim terjadi biaya hidup melonjak.
Penduduk local akan mengalami kerugian karena kehilangan pekerjaan yang selama ini bekerja di sektor pertanian, disaat yang sama tidak selamanya dapat diakomodasi untuk bekerja di sektor industri mau pun kegiatan turunannya. Pada aspek lain ketika suatu negara (wilayah) tiba-tiba bertransformasi karena adanya eksplotasi SDA besar-besaran dapat terjadi masuknya pekerja internasional bergaji tinggi dari perusahaan multi nasional sehingga menciptakan ketimpangan pendapatan dengan pekerja domestik.
Kendati pun demikian akan meningkatkan ekonomi local untuk sementara, tetapi juga dapat menyebabkan ketergantungan kebutuhan pokok dari luar, dan beban paling berat dipikul oleh penduduk yang tidak bergantung pada ekstraksi sumber daya alam. Atas fenomena tersebut keberadaan SDA dan kegiatan hilirisasi ekonomi ekstraktif dapat mendorong pertumbuhan ekonomi, tapi ia sekaligus melahirkan nestapa bagi sebagian penduduk lokal yang bekerja di sector lain, dan pemerintah daerah pun hanya sekedar jadi penonton tidak mendapatkan akses informasi nilai hasil SDA, sementara wilayahnya makin terkoyak, bencana banjir terus mengintai.
Bencana yang lahir diakibatkan eksploitasi SDA yang dilakukan oleh pihak swasta tapi menjadi beban bagi Pemda untuk menanganinya. Dan bagi hasil yang didapatkan pemerintah daerah jauh dari nilai ekspor hasil SDA yang dihasilkan. Lalu siapa yang paling banyak meraih manfaat dari kegiatan eksploitasi SDA mineral (tambang)? Pastinya pemilik modal (oligarki), pengusaha merangkap pejabat pemerintah (pengpeng), dan tokoh berpengaruh (selling influence) yang pasang badan untuk kegiatan pertambangan. (*)
Penulis adalah Pengajar
FakultasEknomi dan Bisnis UNG










Discussion about this post