Oleh :
Hamka Hendra Noer
Dalam beberapa decade terakhir, demokrasi kerap dipahami sebagai sistem yang berhasil jika mampu menyelenggarakan pemilu secara teratur, memiliki parlemen, dan lembaga-lembaga formal yang tampak berjalan. Namun di balik kesan tersebut, muncul kegelisahan akademik dan masyarakat sipil akan semakin menguatnya praktik demokrasi yang bersifat procedural semata. Demokrasi seolah telah direduksi menjadi sekadar ritual politik tanpa menyentuh substansi masalah, seperti keadilan sosial, perlindungan hak asasi, dan kesejahteraan rakyat. Fenomena ini dikenal sebagai bentuk politik formalistik, di mana simbol-simbol demokrasi hadir, tetapi esensinya kosong.
Pertanyaan mendasarnya adalah, apakah keberadaan lembaga demokrasi dan pemilu sudah cukup menjamin berjalannya esensi demokrasi? Dalam konteks Indonesia, misalnya, pemilu memang berlangsung secara berkala dan terbuka, namun masih diwarnai oleh politik uang, dinasti politik, serta minimnya partisipasi rakyat dalam proses pengambilan kebijakan. Demokrasi berjalan dalam kerangka yang sah secara hukum, namun sering kali gagal mencerminkan kehendak rakyat yang sebenarnya. Hal ini mengindikasikan adanya kesenjangan antara demokrasi sebagai prosedur (formalistik) dengan demokrasi sebagai sarana transformasi sosial (substantif).
Untuk itu, penting bagi kita mengevaluasi ulang cara pandang terhadap demokrasi. Demokrasi yang hanya menekankan aspek formalistic akan mudah dikooptasi oleh elite politik dan pasar. Sementara demokrasi substantive mendorong pencapaian tujuan yang lebih adil, partisipatif, dan inklusif. Melalui artikel ini, akan ditelaah dua pendekatan tersebut—politik formalistic dan politik substantif—serta menimbang bagaimana keduanya memengaruhi kualitas demokrasi Indonesia, baik dalam dimensi institusional maupun dalam kehidupan rakyat sehari-hari.
Politik Formalistik
Demokrasi sering kali dipahami sebatas rutinitas institusional—pemilu lima tahunan, partisipasi dalam kampanye, dan keterlibatan dalam lembaga-lembaga politik. Inilah yang disebut sebagai politik formalistik. Bentuk demokrasi yang menekankan prosedur, aturan, dan simbol-simbol formal tanpa memperhatikan makna dan dampak substantive dari system kehidupan warga negara. Dalam kerangka ini, demokrasi tidak lebih dari “panggung” tempat elite bersandiwara dan rakyat sekadar menonton untuk memberikan legitimasi setiap lima tahun sekali.
Fenomena ini dijelaskan oleh Baudrillard (1981), sebagai konsep “simulacrum”, dimana realitas demokrasi digantikan oleh representasi simbolik yang tidak lagi merujuk pada esensiaslinya. Dalam banyak kasus, pemilu sebagai pilar utama demokrasi justru dimanipulasi melalui politik uang, pencitraan, dan kooptasi media. Prosedur demokratis tetap berlangsung, namun esensi partisipasi hilang—yang tersisa hanya citra dan formalitas. Dalam pandangan (Hadiz & Robison, 2013), banyak pemimpin local lahir dari proses electoral terjebak dalam dinasti politik dan relasi patron-klien, justru memperkuat oligarki dari pada melahirkan pemerintahan yang responsif.
Persoalan formalistic ini juga diperparah oleh dominasi elite partai yang lebih mementingkan kekuasaan dari pada agenda publik. Seperti dikatakan Winters (2011), demokrasi elektoral Indonesia pasca-reformasi mengalami “oligarchic capture”, dimana elite kaya mendominasi proses politik melalui pembiayaan kampanye, kooptasi kebijakan, dan kontrol terhadap media. Dalam realitas seperti ini, demokrasi kehilangan substansinya karena tidak mampu mengoreksi ketimpangan kekuasaan yang begitu ekstrem. Indikator indeks demokrasi dari The Economist Intelligence Unit (2023), Indonesia peringkat 56 (skor 6,53) turun dua peringkat dari tahun 2023 (skor 6,71). Data yang sama disajikan Freedom House (2023), turun dari 62 tahun 2019 menjadi 57 tahun 2024. Data ini menggambarkan bahwa Indonesia adalah Negara demokratis, namun skor pada aspek kebebasan sipil dan akuntabilitas politik menurun.
Ini menunjukkan bahwa keberadaan prosedur formal demokrasi tidak serta-merta menjamin kualitasnya. Seperti ditulis Diamond (1999), demokrasi tidak cukup hanya dengan pemilu, tapi membutuhkan liberal institutions, perlindungan hak asasi manusia, serta system hukum yang independen dan adil.
Dengan demikian, kita harus berhati-hati terhadap jebakan politik formalistik yang hanya berorientasi pada prosedur tanpa menyentuh akar masalah sosial-politik. Demokrasi yang berhenti pada tataran electoral hanyalah demokrasi kulit luar, yang mudah dikooptasi oleh kekuatan pasar dan elite, dan gagal menjadi alat transformasi sosial.
Politik Substantif
Sebaliknya, politik substantive menekankan pada makna dan nilai-nilai demokrasi yang lebih dalam. Ia tidak sekadar bertanya bagaimana kekuasaan direbut, tetapi untuk apa kekuasaan digunakan. Demokrasi substantive berupaya memastikan bahwa mekanisme politik mampu meningkatkan kesejahteraan rakyat, melindungi hak-hak minoritas, dan menciptakan ruang partisipasi yang bermakna bagi semua warga negara, termasuk kelompok marjinal.
Dalam pandangan Sen (1999), demokrasi harus dilihat sebagai capability-enhancing institution, yakni sistem yang memungkinkan individu untuk mengembangkan kemampuan dan pilihan hidupnya secara bebas. Demokrasi sejati bukan hanya member kebebasan memilih pemimpin, tetapi juga menjamin akses terhadap pendidikan, kesehatan, pekerjaan layak, dan keadilan hukum. Maka, politik substantive adalah upaya untuk menjembatani kesenjangan antara prosedur politik dengan realitas sosial.
Memang, pendekatan substansial sangat relevan di tengah tantangan ketimpangan ekonomi, eksklusi sosial, dan kerusakan lingkungan. Kasus seperti Rempang dan tambang nikel di Papua menunjukkan bagaimana keputusan politik yang formal—berlandaskan hokum dan regulasi—sering kali mengabaikan hak-hak masyarakat adat dan lingkungan hidup. Padahal, demokrasi seharusnya memperkuat justice, bukan sekadar legalitas. Menurut Fraser (2005), keadilan dalam demokrasi harus mencakup redistribution (pemerataan ekonomi), recognition (pengakuan identitas), dan representation (representasi politik).
Implementasi politik substantive menuntut pembenahan budaya politik. Kualitas demokrasi bergantung sejauh mana warga memiliki kesadaran kritis, keberanian bersuara, dan akses terhadap informasi yang akurat. Dalam era digital, tantangan ini semakin kompleks. Meskipun media social member ruang partisipasi, namun sering membuka peluang disinformasi dan polarisasi identitas. Demokrasi digital yang sehat menuntut literasi politik dan pemberdayaan warga, bukan sekadar konektivitas.
Perlu juga ditegaskan bahwa politik substantive bukanlah utopia, melainkan orientasi jangka panjang yang bias dibangun melalui penguatan institusi publik, pendidikan politik, dan partisipasi deliberatif. Habermas (1989) menyebutnya sebagai ruang public komunikatif, yaitu forum dimana warga bias berdiskusi secara rasional dan setara untuk menentukan arah kebijakan. Inilah esensi dari demokrasi deliberatif, suara rakyat tidak hanya dihitung, tetapi juga didengar dan dipertimbangkan.
Untuk mewujudkan politik substantif, dibutuhkan reformasi sistemik. Dimulai dari rekrutmen politik lebih terbuka, pembiayaan politik transparan, perlindungan terhadap hak sipil, hingga penguatan masyarakat sipil. Semua itu harus disertai evaluasi kritis terhadap mitos-mitos formalistik yang selama ini menutupi kegagalan substantive demokrasi kita.
Demokrasi yang hanya berdiri di atas fondasi formal tanpa isi, ibarat rumah megah tanpa penghuni. Politik formalistik mungkin memukau dari luar, namun rapuh dari dalam. Di sisi lain, politik substantive mengajak kita untuk tidak puas dengan prosedur dan simbol, tetapi terus berjuang agar demokrasi menjadi alat pembebasan, keadilan, dan pemberdayaan.
Jadi, demokrasi adalah sistem yang tidak sempurna, tetapi harus terus diperjuangkan dan diperbaiki. Hari ini, pertarungan antara kekuatan politik formalistic dan substantive masih berlangsung. Dan, hasilnya,akan sangat menentukan masa depan demokrasi kita. (*)
Penulis adalah Penulis adalah Dosen Ilmu Politik, FISIP, Universitas Muhammadiyah Jakarta










Discussion about this post