Oleh :
Muh. Amier Arham
LEBIH dari satu dekade pembangunan ekonomi terbilang sangat pragmatis, aturan yang melandasi kebijakan sangat minim partisipasi publik. Hadirnya berbagai undang-undang bersifat kontroversi banyak ditolak oleh kalangan mahasiswa, aktifis dan akademisi, kendati pun itu tak mendapatkan respon, ia tetap saja disahkan.
Hasilnya kemudian dapat dirasakan, tidak sedikit kebijakan yang dijalankan justru menimbulkan bencana ekologi, kehadiran investasi asing di bidang pertambangan dan industry membuka karpet merah bagi tenaga kerja kasar yang dibawah serta oleh investor, memindahkan penduduk secara paksa di lokasi Proyek Strategis Nasional (PSN) dan lebih miris lagi pemberian fasilitas pembangunan proyek swasta berlabel PSN yang memungkinkan merampas tanah rakyat atas nama pembangunan.
Koreksi dari berbagai pihak tak diindahkan sama sekali, pandangan akademisi seolah hanya nyanyian sunyi yang tak perlu diresapi liriknya kendati mengandung edukasi dan nilai-nilai kemanusiaan. Pembawa suara “kebenaran” dianggap penggaduh, melahirkan adu domba di tengah masyarakat atau label negative lainnya.
Membangun dengan pendekatan “idiologi pragmatisme” cenderung menutup masukan, program yang lahir tak mendapatkan sentuhan teknokratis, hadir seperti pemadaman kebakaran. Model semacam ini tentu sangat populis, akan tetapi memerlukan energy yang banyak untuk merawatnya agar citra positif terkelola, butuh biaya untuk mengorkestrasi dikalangan pendengung.
Program populis nan pragmatis tanda-tandanya tetap lanjut, mendiskusikan program dan desain pembangunan dianggap memboroskan biaya, bukan lagi waktunya seminar, apalagi berdialog, yang diperlukan eksekusi, demikian takzimnya. Namun lazimnya program pragmatis yang minim bantalan akademis ia tak akan berjalan sesuai ekspektasi, kerap muncul lubang kebocoran dan untuk menambalnya dilahirkan program baru yang cenderung membutuhkan biaya tak sedikit.
Model tata kelola pembangunan semacam ini merembes ke bawah pada level pemerintah daerah, desain dan kebijakan pembangunan yang futuristic jarang dihadirkan. Visi yang dimunculkan lebih cenderung memilih tema populisme, dikedepankan proyek fisik atau bersifat carity. Sentuhan teknokrasinya minim, miskin desain sehingga kurang diminati oleh pihak swasta maupun investor, dengan sendirinya hanya mengandalkan pembiayaan dari APBN dan APBD yang sangat terbatas.
Bagi daerah yang minim SDA tentu makin memberatkan langkah pemerintah, jalan keluarnya terbatas. Alhasil kepala daerah kerjanya wara wiri melobi kementerian untuk mendapatkan bantuan, mengatasi kondisi keterbatasan sejatinya diperlukan desain yang berefek jangka panjang untuk mengoptimalkan sumber daya yang ada.
Pemda senantiasa perlu membuka ruang dialog, menghadirkan partisipasi publik yang segmented untuk melahirkan cetak biru pembangunan yang futuristic dengan melibatkan banyak ahli dan masukan akademisi. Karena program yang minim sentuhan teknokrasi dipastikan tidak akan sustainable, ketika pemimpin daerahnya berganti maka orientasi pembangunan pun akan berubah. Apalagi jika pemimpin yang terpilih menggantikan kepala daerah sebelumnya merupakan rival politik, program yang dilahirkan bersifat antitesa dari program yang telah ada.
Pada konteks itu, secara spesifik saya memberikan apresiasi yang sangat tinggi terhadap Bupati dan Wakil Bupati Boalemo dengan memulai sesuatu yang tak lazim, mengadakan seminar nasional dengan topik “Kebudayaan dan Peradaban Boalemo”. Saya sebut tak lazim karena di tengah efisiensi anggaran kegiatan semacam ini paling awal yang harus dienyahkan, bahkan kepala negara sendiri tidak lagi member ruang munculnya kegiatan acara seminar, diskusi maupun kajian.
Pada seminar tersebut Pemkab Boalemo menghadirkan dua arsitek kondang, yakni Gregorius Antar Awal (Yori Antar), ia merupakan sosok penting dibalik suksesnya berbagai proyek infrastruktur di tanah air, terutama dalam hal penataan kawasan, serta terlibat langsung dalam desain pembangunan kawasan strategis pariwisata nasional Labuan Bajo, Danau Toba, revitalisasi kawasan seribu rumah gadang serta revitalitalisasi desa adat di beberapa tempat.
Pembicara kunci lainnya adalah Danny Pomanto, arsitek kenamaan dari Makassar berdarah suku Gorontalo. Jauh sebelum jadi Walikota Makassar dua periode telah banyak melahirkan konsep pembangunan Kota Makassar, dan dimasa periode kepemimpinannya banyak merubah wajah Pantai Losari seperti saat ini.
Kegiatan yang tak lazim ini juga sejatinya menghadirkan rektor UNG sebagai pembicara, namun karena berhalangan, maka saya menjadi jangkar cadangan. Tugas saya menjelaskan mengapa UNG senantiasa menggaungkan pembangunan Kawasan Teluk Tomini, bahkan kawasan ini secara spesifik dijadikan sebagai Differentiation Value untuk mengembangkan perguruan tinggi. UNG memilih mendorong pengembangan teluk terluas di tanah air ini bahkan di dunia karena dilandasi evidence memiliki potensi sumber daya yang cukup besar.
Pada saat yang sama kawasan ini juga menjadi kantong kemiskinan di regional Sulawesi, dimana mahasiswa UNG dari daerah yang mendiami Teluk Tomini jumlahnya ribuan. Penduduk yang mendiami kawasan ini juga menjadikan Kota Gorontalo sebagai pusat aktifitas ekonomi. Majunya kawasan Teluk Tomini tentu memberikan dampak terhadap input bagi UNG, terutama dapat menerima mahasiswa selain memiliki prestasi akademik juga diharapkan memiliki kemampuan ekonomi yang memungkinkan memberikan kontribusi kenaikan penerimaan untuk kemajuan UNG.
Kedua keynote speaker lebih banyak menguraikan konsep visualisasi yang telah dikerjakan dan yang akan dikerjakan, bagi audience ini hal menarik, karena seolah membawa kita dalam alam nyata sesuai karakteristik wilayah yang akan dikembangkan. Jika dapat diwujudkan secara fisik ia akan merubah perwajahan suatu wilayah yang selama ini masih terbatas, minim sarana penunjang terutama untuk menggerakkan sector pariwisata. Dimana sector ini telah puluhan tahun dijadikan sebagai program unggulan di Gorontalo, namun belum ada cetak biru dan langkah konkritnya untuk pengembangannya, baru sebatas festival dimana kegiatan itu lebih banyak gelontoran uang pemerintah.
Di tengah kecenderungan kebijakan pragmatisme, pada sisi lain akan menjadi peluang bagi Pemda untuk melakukan percepatan pembangunan. Sebagai contoh, desain pengembangan pariwisata di Labuan Bajo tidak semata dilihat dari keindahan alam, tetapi karena konsepnya telah tersedia dan detilnya telah lengkap dengan sentuhan arsitektur kearifan lokal, menciptakan suatu keunikan.
Kehadiran Yori Antar sebagai arsitek kenamaan tidak semata dating menyampaikan pengalaman di Labuan Bajo dan tempat lainnya, namun ia hadir dengan desain untuk mengembangkan lima titik kawasan di Kabupaten Boalemo. Salah satunya adalah Pulau Mohupomba, pulau yang berada di depan beranda Pelabuhan Tilamuta rencananya akan disulap menjadi pusat destinasi wisata alam di Kawasan TelukTomini.
Saya berharap rencana ini dapat terwujud sekali pun belum rampung untuk satu periode pemerintahan, setidaknya pemimpin Boalemo telah memiliki impian besar untuk menjadikan daerah ini sebagai pusat peradaban baru di Kawasan Teluk Tomini. Sebab kendati UNG terus menggaungkan pentingnya pengembangan Kawasan Teluk Tomini sebagai pusat pertumbuhan baru di KTI, ia tak akan bermakna bila mana pemerintah daerah tidak menyahutinya.
Upaya Bupati dan Wakil Bupati Boalemo menggelar seminar suatu pertanda bahwa mereka amat serius membangun Boalemo sebagai pusat peradaban Teluk Tomini. Bupati Boalemo telah bermimpi, impian acap kali menjadi pemantik untuk mewujudkan secara nyata, berbeda halnya daerah lain yang ada di kawasan tersebut belum beranjak dari lamunan. Padahal melamun yang berkepanjangan dapat menjadi penghambat produktivitas, mengurangi fokus, dan bahkan mempengaruhi memori apa yang hendak dikerjakan.
UNG sendiri pada posisi mengambil peran membangun keadaban manusianya, termasuk memperbanyak alokasi bantuan beasiswa (KIPK), sebab disadari sampai saat ini kualitas SDM Boalemo diukur dari tingkat IPM masih jauh dibawah rata-rata provinsi dan nasional atau terbilang paling rendah kedua di Gorontalo, APM perguruan tinggi juga masih di bawah rata-rata provinsi serta angka kemiskinan paling tinggi. Lalu Pemerintah Provinsi Gorontalo dan Sulawesi Tengah posisinya ada dimana? Sementara kolaborasi antara Pemda dan perguruan tinggi sangat diperlukan dalam mengembangkan kawasan Teluk Tomini, tanpa itu teluk ini hanya menyimpan misteri kekayaan yang melimpah tetapi sekaligus kemiskinan tetap lestari. (*)
Penulis adalah Ekonom
Universitas Negeri Gorontalo










Discussion about this post