Oleh :
Hamka Hendra Noer
Peristiwa Idul Adha dalam islam berakar dari kisah monumental antara Nabi Ibrahim AS dan putranya Nabi Ismail AS, sebagaimana terekam dalam Al-Qur’an surah Ash-Shaffat ayat: 102-107.Kisah ini bukan sekadar tentang penyembelihan hewan kurban, tetapi menggambarkan puncak ketundukan manusia terhadap perintah Ilahi. Ini adalah simbol cinta dan keimanan yang melampaui logika serta kepentingan duniawi.
Namun lebih dari sekadar ibadah tahunan, peristiwa ini menyimpan pelajaran kepemimpinan moral yang relevan sepanjang masa. Sosok Ibrahim AS menjadi simbol pemimpin yang menjunjung tinggi nilai-nilai etis, memiliki keberanian moral, dan berpegang teguh pada prinsip meskipun harus menghadapi risiko besar. Dalam dunia yang dipenuhi pragmatisme politik dan krisis integritas, keteladanan ini mengingatkan kita bahwa kepemimpinan sejati tidak dibentuk oleh kekuasaan, melainkan oleh komitmen terhadap nilai dan kebenaran.
Kepemimpinan moral, dicontohkan Ibrahim AS, menuntut keberanian memilih yang benar meskipun tidak populer. Dalam konteks sosial-politik hari ini, kita melihat banyak pemimpin lebih memilih kompromi nilai demi mempertahankan kekuasaan jangka pendek. Padahal, sebagaimana dikemukakan oleh Greenleaf (2020, h. 13) dalam konsep servant leadership, pemimpin seharusnya hadir untuk melayani dan berkorban demi rakyat, bukan sebaliknya. Ibrahim AS tidak sekadar tunduk pada kehendak Tuhan, tetapi menunjukkan integritas pribadi yang tinggi. Bahwa kepemimpinan yang otentik selalu lahir dari keteguhan hati dan keberanian moral.
Ritual kurban merefleksikan bahwa kepemimpinan moral berkorelasi erat dengan tanggung jawab sosial. Hewan kurban yang disalurkan, bukan hanya wujud ketaatan spiritual, tetapi bentuk distribusi keadilan sosial dan empati. Dalam dunia yang sarat ketimpangan moral, pemimpin hadir untuk memperjuangkan pemerataan dan keadilanbukan sekadar mengelola kekuasaan. Nilai pengorbanan inilah yang seharusnya menjadi fondasi bagi pembentukan pemimpin publik—bahwa kepemimpinan harus sensitif terhadap penderitaan rakyat.
Maka, Idul Adha sejatinya bukan hanya momen spiritual, tetapi refleksi kolektif wajah kepemimpinan kita hari ini. Pertanyaannya adalah, apakah kita masih memiliki pemimpin yang berani menjaga integritas moral,rela berkorban, dan tidak tergoda oleh gemerlapnya kekuasaan? Jawabannya, kita memerlukan pemimpin yang bukan hanya cerdas, tetapi juga benar secara moral. Sebab, masa depan bangsa tidak ditentukan oleh banyaknya pemimpin yang tampil, melainkan oleh hadirnya pemimpin yang berpikir dan bertindak untuk kebaikan umat.
Kepemimpinan Ibrahim AS
Kisah Ibrahim AS menjadi simbol ketaatan total kepada Tuhan, bahkan saat diperintahkan untuk mengorbankan anaknya sendiri. Ini bukan sekadar ujian iman, tetapi juga ujian kepemimpinan. Kepemimpinan moral selalu melibatkan dilema, ketika nilai dan kepentingan berbenturan, mana yang akan dipilih? Ibrahim AS menunjukkan bahwa pemimpin sejati adalah mereka yang mendahulukan komitmen etis dan keadilan, meskipun itu menyakitkan secara personal.
Menurut Bass & Steidlmeier (1999, h. 182), kepemimpinan moral tidak hanya mengandalkan kharisma atau kekuasaan, tetapi bertumpu pada keaslian moral (authenticity)— keselarasan nilai yang diyakini dan tindakan yang diambil. Ini adalah contoh klasik pemimpin otentik tersebut. Dalam dunia modern yang dipenuhi politik pencitraan dan kompromi etis, sosok seperti Ibrahim AS menjadi pengingat bahwa kekuatan moral jauh lebih penting darisekadar retorika atau popularitas.
Idul Adha bukan hanya perayaan simbolik, melainkan momen untuk merefleksikan kualitas kepemimpinan hari ini. Ibrahim AS tidak membangun kekuasaan, tetapi membangun kepercayaan melalui keteladanan. Dalam konteks kekinian, masyarakat membutuhkan pemimpin yang memiliki keberanian untuk mengambil keputusan sulit demi kebaikan bersama, bukan mengikuti arus demi kenyamanan politik.
Lebih jauh, semangat kurban mengajarkanpemimpin harus berorientasi pengabdian, bukan keuntungan pribadi. Dalam kerangka servant leadership Greenleaf (2020, h. 14) menyoroti, pemimpin sejati adalah mereka yang hadir untuk melayani kebutuhan masyarakat. Kepemimpinan bukan posisi istimewa, tetapi tanggung jawab moral menciptakan kesejahteraan kolektif. Kurban dalam konteks ini bukan hanya menyembelih hewan, tapi menyembelih “ego kekuasaan”.
Sayangnya, dalam realitas politik hari ini, banyak pemimpin yang lebih memilih pragmatisme ketimbang idealisme.Mempertahankan jabatan daripada menegakkan keadilan. Menghindari keputusan tidak populer meski itu benar. Menutup mata terhadap kebatilan demi mempertahankan koalisi politik. Ironis, contoh keteladanan Ibrahim AS, menanggung risiko besar demi nilai-nilai kebenaran dan ketundukan pada yang hakiki.
Rakyat juga perlu lebih kritis dalam menilai pemimpinnya. Idul Adha bisa menjadi momen reflektif, bukan hanya personal, tetapi secara sosial-politik. Kita harus bertanya, apakah pemimpin yang kita pilih rela berkorban demi kebenaran? Atau sekadar tokoh populis yang lihai bicara tetapi rapuh dalam prinsip? Jawabannya, demokrasi akan kuat jika rakyat menuntut dan memilih pemimpin berdasarkan integritas, bukan semata janji.
Lebih dari itu, kepemimpinan menunjukkan bahwa dimensi spiritual dan etika publik tidak bisa dipisahkan. Seorang pemimpin tidak cukup cakap secara teknis administratif, tetapi harus memiliki kompas moral yang tajam. Kepemimpinan tanpa nilai justru mempercepat kehancuran institusi dan hilangnya kepercayaan publik. Maka, reformasi politik seharusnya dimulai dari reformasi moral.
Akhirnya, Idul Adha adalah panggilan bagi kita semua, terutama para pemimpin, untuk kembali kepada nilai pengorbanan, kejujuran, dan keberanian moral. Dalam postulatkepemimpinan, kisah Ibrahim AS menjadi teladan abadi bahwa kepemimpinan bukan tentang memerintah, melainkan tentang melayani. Dan sejarah akan mencatat bukan yang banyak menjanjikan, tetapi mereka yang berani kehilangan segalanya demi kebenaran hakiki.
Kurban Simbol Kepemimpinan
Idul Adha adalahsimbol pengorbanan untuk kepentingan yang lebih besar. Hewan kurban yang disalurkan kepada fakir miskin menunjukkan bahwa pemimpin ideal harus hadir bukan untuk memperkaya diri sendiri, tetapi mendistribusikan manfaat kepada masyarakat luas. Dalam konteks Indonesia hari ini, nilai kurban mengingatkan bahwa kekuasaan adalah amanah, bukan hak istimewa.
Greenleafmeyakini pemimpin sebagai pelayan. Bagi Greenleaf(2020, h. 14),pemimpin sejati bukanlah mereka yang dominan, melainkan yang berkomitmen untuk melayani orang lain. Dalam kerangka ini, praktik kurban dalam Idul Adha memiliki makna simbolik yang kuat. Pemimpin berkorban demi rakyat, bukan sebaliknya menuntut rakyat berkorban demi kepentingan kekuasaan.
Inilah realitas politik hari ini. Banyak pejabat memperkaya diri dan kelompoknya, bukan untuk distribusi kesejahteraan. Dalam iklim politik sarat patronase dan pragmatisme, semangat pengorbanan justru dianggap kelemahan, bukan kekuatan. Padahal, nilai pengorbanan adalah fondasi dari kepemimpinan yang luhur dan berkelanjutan.Kepemimpinan seperti yang dicontohkan dalam semangat Idul Adha sejatinya menuntut keberanian untuk bertindak melawan arus.
Senada dengan Northouse (2020, h. 187) dalam Leadership: Theory and Practicemenyebut pemimpin transformatif adalah mereka yang mampu mengangkat nilai moral kolektif dan mendorong perubahan dengan cara yang etis dan visioner. Pemimpin bukan sekadar menjalankan kekuasaan, tetapi membentuk kesadaran baru tentang keadilan, keberanian, dan pelayanan.
Dalam konteks ini, kurban menjadi lebih dari sekadar ritual keagamaan. Ia adalah simbol dari kesiapan pemimpin untuk menanggung beban, mengambil risiko, dan meletakkan kepentingan rakyat di atas kepentingan pribadi. Ketika pemimpin berkurban, ia sedang menghindari nepotisme dan menolak fasilitas berlebihan. Ini terlihat langka, namun dibutuhkan dalam demokrasi modern.
Nilai Idul Adha juga mengandung pesan keadilan sosial yang kuat. Pembagian daging kurban kepada yang membutuhkan menunjukkan distribusi sumber daya secara adil. Dalam tataran kebijakan publik, pemimpin harus berani mengoreksi ketimpangan untuk memperkuat kelompok yang kurang beruntung. Ini bukan hal mudah, apalagi dalam sistem politik yang dikendalikan oleh oligarki.
Refleksi Idul Adha seharusnya tidak berhenti pada ibadah personal, tetapi meluas menjadi dorongan kolektif memperkuat etika publik. Masyarakat harus berani menuntut transparansi, integritas, dan keberanian pemimpin. Sebab, pemimpin yang baik tidak lahir dari kekosongan, tetapi dari masyarakat yang peduli pada nilai dan kebenaran.
Akhirnya, Idul Adha memberi kita refleksi kritismakna kepemimpinan kehidupan berbangsa dan bernegara. Pemimpin ideal harus mampu menghadirkan keberpihakan kepada yang lemah, melayani dengan tulus, dan tidak ragu berkorban dengan prinsip yang diyakini. Seperti Ibrahim AS yang rela mengorbankan anaknya Ismail AS yang paling dicintainya demi ketaatan dan keadilan. Pemimpin hari ini pun harus berani menjadikan nilai sebagai kompas dalam setiap langkah politiknya.
Penutup
Kisah Ibrahim AS bukan dongeng kuno, tetapi refleksi bagi siapa saja yang dipercaya memegang kekuasaan. Pemimpin tidak sekadar mengandalkan kekuatan, popularitas, atau retorika, melainkan keberanian memikul beban moral. Ibrahim AS tetap setia pada kebenaran yang diyakininya, meski menempuh jalan penuh ujian. Inilah hakikat kepemimpinan, menghadapi dilema etis dengan keteguhan nurani bukan demi kepentingan diri sendiri.
Di tengah krisis kepemimpinanpolitik, spirit Idul Adha menjadi momentum kolektif menakar kembali kualitas moral pemimpin kita. Bangsa besar bukan hanya membutuhkan pemimpin cerdas secara teknokratis, tetapi benar secara etis. Pemimpin sejati adalah yang berani berkorban, bukan gemar mengorbankan orang lain demi ambisi kekuasaan. Pemimpin yang tetap setia pada nilai, meski jalan yang ditempuh sunyi dan sepi dari tepuk tangan. Refleksi keteladanan Ibrahim AS menjadi oase menghidupkan kembali harapan akan hadirnya pemimpin yang berpihak pada kebaikan dan keadilan. (*)
Penulis adalah Dosen Ilmu Politik, FISIP, Universitas Muhammadiyah Jakarta










Discussion about this post