Oleh :
Hafiz Aqmal Djibran, S.I.Kom.
BISA dipastikan seluruh masyarakat Gorontalo pernah merasakan naik transportasi yang satu ini. Bentor atau ‘becak motor’ merupakan salah satu mode transportasi umum di Gorontalo.
Transportasi ini telah begitu melekat dengan kehidupan sehari – hari masyarakat Gorontalo untuk bepergian. Biayanya yang fleksibel, relative murah, dan menjangkau hampir seluruh pelosok perkotaan menjadikan bentor sebagai solusi dari mobilitas masyarakat sehari – hari.
Bentor digunakan tidak hanya mengangkut penumpang, tak jarang beberapa supir bentor melayani jasa pengangkutan barang rumah tangga hingga kebutuhan pokok di pasar. Kendaraan beroda tiga ini memang sudah menjadi bagian hidup dari masyarakat Gorontalo. Bukan hanya menjadi moda transportasi, Bentor menjelma sebagai ikon transportasi khas di Gorontalo.
Seiring dengan perkembangan teknologi komunikasi, pelayanan bentor pun terkena dampaknya. Transportasi ini bertransformasi dari pelayanan konvensional menjadi online. Perubahannya pun menimbulkan masalah baru.
Konflik antara bentor konvensional dan bentor online sering terjadi di beberapa tempat. Bentor konvensional dan online kerap berseberangan akibat dari penerapan regulasi yang berbeda.
Itu hanya salah satu dari berbagai masalah yang ditimbulkan dari transportasi bentor. Masalah berikutnya akan penulis uraikan di bawah ini.
Hingga saat ini bentor belum memiliki paying hukum yang jelas untuk beroperasi. Khususnya melalui Undang – Undang No. 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ).
Beberapa pertimbangan bentor belum diberikan izin beroperasi seperti kelayakan fisik, standar keselamatan penumpang, dan kelengkapan kendaraan. Padahal berbagai platform pelayanan transportasi online di Gorontalo telah menjadikan bentor sebagai mitranya.
Selain itu, pengendalian dan pengawasan terhadap bentor di Gorontalo masih terbilang minim. Maraknya pelanggaran dan tidak disiplinnya pengemudi bentor adalah wujud ketidakpastian paying hukum dari kendaraan roda tiga ini.
Dampaknya pun terus berlanjut, jumlah bentor yang ada di Gorontalo mengalami pertumbuhan pesat dari waktu ke waktu. Masyarakat dengan mudah memodifikasi motornya menjadi angkutan umum tanpa ada pengawasan ketat dari instansi terkait.
Berdasarkan data BPS di tahun 2019, jumlah bentor yang ada di kota Gorontalo sebanyak 3.220 unit. Sedangkan ruas jalan yang ada di kota Gorontalo di tahun 2024 (BPS, 2024) sepanjang 233,15 km.
Artinya, jumlah bentor dalam setiap satu kilo meter jalan yang ada di Kota Gorontalo sebanyak 14 unit. Hal ini masih tergolong skala moderat. Namun, karena bentor yang biasanya terpusat di Kawasan tertentu menimbulkan kemacetan lokal dan memakan waktu signifikan di jalanan.
Apabila anda berada di kawasan perbelanjaan sekitaran jalan Raja Eyato, anda akan melihat puluhan bentor berjejeran di Kawasan tersebut. Bentor sering kali berhenti sembarangan dan menunggu penumpang di jalan. Hal ini tentu mengganggu kelancaran dan ketertiban lalu lintas.
Titik krusialnya, bentor yang sudah beroperasi sejak tahun 2000 hingga saat ini belum memiliki integrasi ke dalam system transportasi publik kota. Dalam artian, aturan – aturan seperti peta zonasi operasional bentor, jam beroperasi, dan penyediaan tempat mangkal resmi agar bentor tidak lagi mengganggu lalu lintas di titik-titik padat.
Dari aspek sosio ekonomi, bentor menjadi alternative lapangan pekerjaan bagi masyarakat menengah ke bawah. Namun akibat dari minimnya regulasi dan pengawasan terhadap bentor menciptakan ketergantungan pada pekerjaan informal.
Tidak perlunya keterampilan formal untuk menjadi seorang pengemudi bentor membuat masyarakat memilih pekerjaan ini. Menjadi pengemudi bentor rasanya pilihan paling realistis dan rasional bagi masyarakat menengah ke bawah.
Fenomena ini tak lepas dari struktur ekonomi yang ada di Kota Gorontalo. Meski terus tumbuh dan melaju, lapangan kerja di sektor formal bisa disebut jauh dari standard ekonomi perkotaan. Industri masih terbatas, sektor jasa belum berkembang pesat, dan system pelatihan kerja kurang menyentuh masyarakat bawah.
Disinilah peran pemerintah dibutuhkan. Pemerintah perlu ‘menggodok’ regulasi terhadap transportasi bentor yang masih belum jelasadanya. Memang cukup dilematis. Di sisi lain banyak masyarakat yang menggantungkan nasib ekonominya di balik kemudi kendaraan roda tiga ini. Lebih khusus lagi, bentor menjadi identitas daerah yang telah melekat sejak lama. (*)
Penulis adalah Anggota
PB HPMIG periode 2024 – 2026










Discussion about this post