Oleh:
Basri Amin
GORONTALO kita akan semakin intens dan terbuka ujian masa depannya. Kita sungguh-sungguh butuh pemimpin yang otentik jiwa dan nalarnya. Kita jangan lagi terbiasa dengan retorika kepejabatan dan sirkus pengetahuan.
Drama ketokohan (di) daerah yang terus berlanjut akan menghabiskan energi bersama. Momentum membuat perubahan besar yang bermakna bagi orang banyak akan hilang begitu saja. Kita semakin boros biaya dan waktu dari acara ke acara yang tidak menempa mentalitas perbaikan yang benar-benar membumi dan berdampak.
Rutinitas keseharian yang dibangun di hampir semua organisasi (publik) kita, sesungguhnya, hanya menumpuk “kelompok penjilat” dan “perkawanan kepentingan” yang abai kepada nalar masa depan. Nyaris, tabiat kerja kita beberapa tahun terakhir ini, makin menjauh dari spirit kerja yang ber-daya saing.
Budaya produktif di negeri ini semakin kempes karena orang-orang terbaik disingkirkan di mana-mana. Figur teladan dan role model kehidupan makin jarang kita rasakan di banyak pekerjaan, termasuk di sektor pendidikan dan di pemerintahan.
Faktanya, “gaya saing” cenderung kita rayakan di mana-mana. Kalangan sarjana, atau yang merasa “pakar” atau “elite menengah” sekolahan, lebih banyak sibuk dengan urusan-urusan “permukaan” yang dangkal sembari asyik “menempelkan dirinya” dengan otoritas-otoritas kuasa yang menyebar sembari mengais-ngais kesempatan “rente” dan keuntungan (citra-diri dan material) dari ketimpangan (kemajuan) daerah.
Hari-hari ini, sengketa demi sengketa, sambung-menyambung mengisi tata pergaulan kemasyarakatan kita. Agenda politik kelompok dan kesibukan acara elitis begitu ramai dan hedonis di banyak tempat, tetapi ketimpangan (nasib) orang-orang kebanyakan meraung di banyak ruang.
Negara, yang selalu dipercaya kuat dan kuasa dengan aparatus dan teknologinya tidak bisa berbuat banyak dan tak kuasa tepat meredam kemarahan-kemarahan kelompok di banyak tempat di Republik (Hukum) berideologi Pancasila ini.
Kita adalah negeri pemarah yang suka pameran Pidato dan Seruan. Kita adalah negeri, yang dalam situasi buruk, barulah tampak kecerdasan-kecerdasan latennya dalam berkata-kata dan mendaftar kronologi peristiwa. Disertai janji baru dan kesedihan temporer di ruang media.
Kita adalah negeri yang, tampaknya, terlalu lamban untuk mampu “mengantisipasi” keadaan dan yang mampu “mengendalikan” momok-momok kemarahan –-yang sudah lama tumbuh dari jejaring kekalahan ekonomi dan ketidakadilan sosial— di masyarakat kita. Kita, dalam banyak hal, “mudah bereaksi tapi abai mengantisipasi…”
Agama, Adat, dan Budaya selalu disebut setiap saat. Selalu diucapkan bahwa agama adalah penyatu kesadaran bersama dan “ketakutan bersama” atas kemarahan dariNya, tapi melalui perjalanan waktu pulalah yang akhirnya menyuguhkan gambaran yang lain dari itu semua: manusia yang rapuh, masyarakat yang retak-retak. Begitulah pula dengan nasib Adat dan Budaya, selalu dikata-katai tapi abai jadi rujukan bermakna yang kukuh dan dilembagakan nilai-nilai utama yang menempa perilaku kolektif.
Ketika sengketa demi sengketa terus menyeruak dan melilit seperti tak ada habisnya, semuanya jadi tontonan yang tak memberi simpul-simpul kebenaran dan penyadaran keadaan.
Semua keadaan jadi persoalan. Tak kenal lapisan atas atau pun bawah, tabiat membuat sengketa nyaris sudah rata di semua kalangan dan profesi. Kita bahkan semakin lincah menggunakan aturan dan regulasi untuk membuat sengketa. Nalar sehat pun jadi kisruh.
Di kala lain, masyarakat pun beroleh ruang setara untuk mempertanyakan pengabaian-pengabaian yang mereka alami. Relasi timbale-balik seperti ini menjadi tidak sederhana karena laku pengabaian, kisah kalah dan menang, terbela dan terhempas, serta yang terhukum dan yang terbebas, pada satu masa yang berulang pernah di alami oleh setiap individu dalam sebuah bangsa/masyarakat. Itulah sebabnya, dalam hemat saya, kekuatan hukum dalam sebuah bangsa tergambar dari konfigurasi cerita-cerita yang tumbuh di masyarakat tentang (praktik) hukum itu sendiri.
Tidak perlu semua orang menghapal pasal-pasal dalam kitab-kitab hukum. Yang dibutuhkan adalah tekad yang kuat untuk “tidak melanggar” hak-hak umum dan kepentingan orang lain.
Apa yang harus diusahakan adalah kepekaan atas makna kebajikan (manusiawi) yang terkandung dalam (misi) lahirnya sebuah kebijakan. Dasar etis itu adalah penghargaan kepada tertib bersama dan usaha-usaha bersama mewujudkan tertib itu di berbagai arena hidup dan kesempatan. Perlu ditekankan di sini soal kesempatan karena dalam banyak hal kita cenderung lalai menggunakan kesempatan yang kita punyai untuk menegakkan “tertib hidup” itu dalam ukuran sehari-hari, dan di ruang-ruang hidup yang kita lakoni secara rutin.
Di jalan-jalan raya dan di tempat-tempat kerja dan organisasi-organisasi kita, “tertib hidup” hendaklah menjadi pegangan agar kepungan sengketa dalam bernalar dan dalam berhubungan tidak semakin menjalar kejenuhannya. Kebiasaan membahasakan harapan tidaklah harus ditimpali dengan nada-nada angkuh dan sok mengatur. Kebiasaan menutup-nutupi kegagapan dan kegagalan tidaklah harus dibenci dengan bahasa apatisme, melainkan dengan dialog dan keterbukaan.
Tak ada kepongahan yang bisa bertahan dengan penyumbatan atau penutupan –dengan kuasa dan bahasa apa pun–. Ia akan meledak melalui celah-celah kesadaran yang tumbuh dari dalam (jiwa) masyarakat itu sendiri. Pertentangan dengan mudah diciptakan, ditiru, ditebalkan, dan disirkulasi. Terlalu banyak sebab, urusan dan media yang memicu perangai sengketa.
Masa depan peradaban kita akan hangus berulang dengan puing-puing sosial-ekonomi yang setiap saat kita bakar bersama, mengelompok, atau dengan cara sendiri-sendiri.***
Penulis adalah Parner di Voice-of-HaleHepu;
Surel: basriamin@gmail.com










Discussion about this post