Oleh:
Basri Amin
SEBUAH surat panjang yang dikirim dari Makassar, tertanggal 12 Agustus 1947. Surat itu ditulis oleh seorang nasionalis Gorontalo yang disegani di masanya di Sulawesi. Beliau adalah A.N (Nino) Hadjarati. Dalam surat panjangnya itu, dengan nada yang sangat patriotik, ia mengabarkan bahwa akan ada perayaan “17 Agustus” yang akan sangat ramai di kota ini.
Pada 1947, banyak sekali surat-surat H.B. Jassin yang beredar di luar lingkaran utamanya (kalangan sastrawan dan penulis). Dalam hal ini, jaringannya dengan “orang-orang Gorontalo” yang terlibat dalam masa transisi kemerdekaan Indonesia di beberapa kota, secara intens dikontak H.B. Jassin.
Dengan “kakandanya” –begitulah panggilan akrab Jassin kepada A.N. Hadjarati–. Beberapa bukti korespondensinya pada tahun 1947 amat meyakinkan bagaimana Jassin berupaya terlibat dalam pergolakan kebangsaan melalui bidang yang ia tekuni. Walau tak begitu terang-terangan pandangan politiknya –dalam arti berpartai–, Jassin terbukti sangat nasionalis dan berpendirian republikein sejak awal.
Ini tak basa-basi sebagaimana juga Jassin dan kawan-kawannya mengklaim bahwa terbitan besar yang mereka kelola, Mimbar Indonesia, sebagai “republikein in hart en nieren” (Bogaerts, 2012: 229).
Beberapa suratnya kepad A.N. Hadjarati, tokoh utama Parindra di Makassar, memberi bukti yang kuat tentang karakter keindonesiaan yang relatif merata di daerah-daerah. Dalam hal ini, posisi terbitan-terbitan di tanah Jawa, di Jakarta terutama, demikian memberi pengaruh terhadap sirkulasi gagasan, gerakan, dan perdebatan di tingkat tokoh-tokoh politik dan kebudayaan.
Kendati tentu saja tak semua tokoh nasional atau daerah dalam keadaan tertarik atau harus “membaca” pemikiran tokoh-tokoh lain, tapi karena sejak terbentuknya organisasi-organisasi (gerakan) kebangsaan –yang merupakan cikal bakal partai-partai politik— maka kebutuhan membangun pemahaman bersama dan sikap-sikap demokratis diartikulasi sebagiannya di media cetak. Memang, di antara media itu tentu saja bersifat terbatas, baik dalam arti jumlah terbitannya, luasan distribusinya, maupun dalam arti afiliasi organisasinya
Sejak Mimbar Indonesia terbit, Jassin sangat aktif melebarkan sayap pemasarannya ke daerah-daerah. Tak hanya itu, dan ini sudah menjadi karakter Jassin, yakni selalu mengajak orang lain untuk mencermati suatu tema sambil memintanya memberi kontribusi pemikiran.
Marilah kita sedikit menyimak sebagian isi surat A.N. Hadjarati pada 12 Agustus 1947, sebagai berikut: “….Tanggal 17 Agustus kita akan ramaikan di Makassar dengan secara besar2an, walaupun untuk kali ini dengan tidak mengibarkan Sang Dwiwarna. Bukan hanya di Makassar Hari yang mulia diramaikan nanti, tetapi di seluruh Indonesia Timur sampai di lubuk2 dan di gunung2 sampai lembah2 yang jauh terpencil. Sedikit demi sedikit tambah dekat kita kepada saat di mana seluruh tanah air kita akan bersatu lagi seperti sediakala di bawah lambaian Sang Saka Merah Putih.
Dua tahun yang lalu saya mendapat tantangan yang hebat dengan usaha yang saya jalankan itu, yaitu mempertemukan aliran Indonesia Timur dan Republik Indonesia di dalam Indonesia yang merdeka dan berdaulat sepenuh-penuhnya. Waktu itu saya sedia mengorbankan segala-galanya, nama baik, pangkat dan kehormatan. Dan itu semua memang saya sudah korbankan. Saya yang merugi, tetapi bangsa dan tanah air memperoleh keuntungan, yaitu dengan bersatunya kembali dari jiwa Indonesia yang pada lahirnya nampaknya sudah retak seakan-akan tak dapat diikat lagi menjadi satu.
Masih ingatkah Hans, lanjut surat Hadjarati, akan perdebatan saya dengan saudara Gani Katili di muka saudara Sutan Iskandar, waktu saya mengunjungi adinda di kantor Balai Pustaka. Saya katakan pada waktu itu “sekali waktu bangsa kita Indonesia akan bersatu kembali dan waktu itu angkatan kita masih akan alami”. Syukur Alhamdulillah, belum sampai dua tahun setengah, Tuhan telah memperlihatkan akan kebenaran ucapan saya itu.
Saya ambil menjadi dasar untuk perhitungan dalam mengeluarkan ucapan itu ialah: 1. Jasa2 perjuangan partai2 politik dan pemimpin2nya sebelum perang; 2. Prajurit di waktu Jepang, yang bekerja negatif untuk Jepang, tetapi mempunyai pengaruh yang positif untuk perjuangan kemerdekaan kita; 3. Kekuatan pahlawan2 kita yang gabung dalam PNI yang akan merupakan propaganda terhadap bangsa kita yang…; 4. Atlantic Charter, atau luar negeri; serta 5. Last but not least: di dalam hati tiap2 putra dan putri Indonesia mesti ada satu sudut di mana bersemi semangat keindonesiaan, walaupun bagaimanapun kecilnya…”
Cuplikan surat A.N. Hadjarati di atas, baik dipandang dari sisi bahasa dan tema-tema yang diungkapkan, maupun dari aspek sistematika penulisannya, memperlihatkan bahwa artikulasi nasionalisme beberapa tokoh Gorontalo di awal kemerdekaan terjembatani melalui sejumlah pertemuan dan tulisan.
Khusus dengan A.N. Hadjarati, kiriman koran, buku dan majalah dari Jakarta hampir semuanya dikerjakan oleh H.B. Jassin. Ini terlihat pada surat-surat mereka yang lain, dua tahun sebelumnya, sebagai contoh melalui surat tertanggal 4 Agustus 1947.
Dengan pekik kata “Merdeka!”, Jassin mengabarkan tentang kiriman sebuah buku karangan H.J. Laski, Gelachten over de revolutie van onze tijd, dengan harga f13.30,- dan ongkos kirim serta jerih payah Jassin mencarikan buku tersebut, sehingga total biaya yang Jassin kabarkan dan tagihkan adalah f19.95,-.
Jassin mengatakan bahwa buku tersebut awalnya hendak dia beli untuk perpustakaan pribadinya tetapi karena ia merasa lebih berguna bagi kakandanya (A.N. Hadjarati) sebagai pimpinan Pepera maka ia rela mengirimkan padanya. Melalui surat ini juga Jassin menawarkan diri dan berjanji untuk terus mencarikan buku-buku yang berhubungan dengan “kultur-politis” dan mengirimkannya ke Makassar.
Di surat yang sama Jassin juga mengabarkan tentang situasi Balai Pustaka dan kantor-kantor Republik di Jakarta bahwa mulai tanggal 21 Juli 1947 telah diduduki oleh Belanda, dan semua pegawai diminta untuk bekerja bersama Belanda. Akan tetapi, Jassin menegaskan bahwa hampir semua orang menolak bekerja-sama dengan Belanda dan menunggu keputusan dari Djogjakarta. Di akhir suratnya Jassin menulis: “saya harap perjuangan kakak di Indonesia Timur akan berhasil baik”.
Tanggal 4 Oktober 1947, A.N Hadjarati mengirim kartu post ke H.B Jassin di Jakarta, dengan permintaan baru atas keinginannya berlangganan surat kabar “Merdeka”, meski dia ragu apakah surat kabar ini bisa dikirimkan ke Makassar. Maklumlah karena situasi sedang tidak menentu.
Karena itu ia meminta Jassin memastikan hal ini kepada B.M. Diah, wartawan senior yang mendirikan koran Merdeka tersebut (Oktober 1945). Di kartu post yang sama, Hadjarati juga menyampaikan dukungan kepada Jassin jika kelak tetap bekerja lagi di Balai Pustaka. Bagi Hadjarati, yang penting adalah jiwa Jassin yang tetap “Republikein”.
Pada suratnya yang lain, masih di tahun 1949, kita masih bisa melihat bagaimana korespondensi Jassin-Hadjarati berlangsung dalam semangat yang sama. Permintaa bacaan, khususnya Mimbar Indonesia, perkembangan Parindra, dan pekik salam “Merdeka!” masih terus bergema di dalam surat-surat kedua tokoh Republiken Gorontalo ini. Luar biasa (keteladanan) mereka! Bagaimana dengan kita hari-hari ini? ***
Penulis adalah Parner di Voice-of-HaleHepu;
E-mail: [email protected]