Oleh:
Basri Amin
UKURAN ijazah Sarjana memang selebar kertas, tetapi Ijazah dengan “I” besar adalah tanda pencapaian yang jujur, rasa syukur, dan pertaruhan kualitas diri dalam ber-Guru dan dalam mengabdikan ilmu dan cita-cita.
Ijazah adalah lisensi untuk berjalan lebih jauh dan berbuat baik lebih luas. Ijazah dan gelar bukan simbol untuk congkak dan pongah di hadapan manusia lain yang tak ber-ijazah. Ingat, jasa-jasa mereka yang tidak berijazah sungguh banyak untuk kita.
Kampus yang benar haruslah menanamkan kaidah-kaidah seperti ini kepada semua calon sarjananya. Janganlah percakapan masa depan terlalu mencengangkan mereka. Kukuhkan pribadi sarjana yang sejati dalam dadanya.
Tidak ada di antara kita yang bisa memastikan tentang masa depan. Meski demikian, tanda-tanda ke masa depan tetap bisa “dibaca” dan kekuatan yang akan menentukannya pun bisa terlihat bagian-bagiannya.
Puluhan tahun lalu, Professor Alvin Toffler, menulis sebuah risalah yang mengguncang dunia dan memicu perubahan di beberapa tempat di planet ini. Apa yang beliau jelaskan adalah tentang keterkejutan masa depan, Future Shock (1971). Prof. Toffler menggambarkan bahwa dalam guncangan kehidupan di abad 21, kita membutuhkan adaptasi, daya tahan dan kategori ‘manusia baru’.
Di abad ini, umat manusia tidak lagi semata dibagi-bagi berdasarkan agama, bangsa, ras dan suku atau idiologi, tetapi (terutama) manusia juga dikelompokkan berdasarkan kemampuan mereka “memahami, merasa, dan mengelola waktu” (a sense of their position in time).
Dewasa ini, masyarakat kita tidak sekadar banyak berubah; yang terjadi adalah munculnya jenis masyarakat baru! Sesungguhnya, ketika kampus melahirkan ribuan sarjana lulusannya, mereka sewajarnya adalah bagian atau pembentuk “masyarakat baru” itu.
Mereka tidak sekadar menjadi saksi atas perubahan karena mereka adalah bagian dari perubahan itu.
Psikolog terkenal dari Jerman, Eric Fromm, pada tahun 1974 menulis sebuah buku yang hingga kini dianggap karya klasik yang abadi dirujuk orang, termasuk kalangan sarjana. Apa yang ditekankan buku Fromm tersebut adalah tentang pentingnya kekuatan “harapan” dalam sebuah masyarakat sehat; sebuah revolution of hope!
Ketika menempuh kuliah bertahun-tahun, calon-calon sarjana kita tak terhitung berapa banyak kertas dan bahan-bahan copy–an yang sudah mereka pakai, berapa banyak pena yang sudah mereka habiskan tintanya. Begitu banyak waktu dan data yang dipakai melalui gawai mereka ketika setiap saat berselancar di dunia maya dari samudera informasi yang gelombangnya bergulung-gulung melibat daya ingat manusia.
Sejauh ini, diyakini bahwa tugas-tugas belajar membentuk tanggung jawab moral dan intelektual mereka ketika diminta atau dipaksa belajar melalui penugasan bacaan, tugas lapangan, dan percobaan-percobaan. Di luar itu, mereka juga harus berurusan tentang hidup sehari-hari, tentang uang yang harus mereka kelola, rupa-rupa menu makanan yang mereka cicipi, jam-jam tidur lelap dan gelisah yang mereka lewati, dst. Belum lagi mereka yang aktif menjadi aktivis organisasi mahasiswa, dst.
Tekanan demi tekanan datang silih berganti. Dan mereka, sebagian besar, berhasil melewati itu semua…
Tapi, di atas semua itu, terbentang luas doa-doa sang Ibu tercinta di rumah, berdiri kokoh wajah-wajah sang ayah yang tegar mencari nafkah untuk studi mereka;…keluarga besar yang tak henti-hentinya berharap akan masa depan anak-anak mereka, agar menjadi Sarjana yang berbakti.
Harga atas semua itu, tak akan pernah setara dengan Baju Toga yang mereka kenakan serta foto-foto besar yang secantik-cantiknya pada prosesi Wisuda mereka.
Di antara mereka, ada yang sudah tak puya Ibu dan mungkin juga tak punya ayah lagi; di antara mereka, ada yang mengalami luka-luka hidup, perih menjalani getirnya pendidikan di kampus-kampus, bekerja paruh waktu, dst. Tapi, boleh jadi, di antara mereka, ada beberapa orang yang barulah sadar bahwa betapa rindu dan besar cinta orang tua yang tak bertepi luasnya itu untuk kesuksesan, ketika hari wisuda itu datang.
Padahal, masa depan semakin tidak pasti. Negeri kita belum jua tampak “politik masa depannya” yang memihak kepada generasi barunya. Kawanan kepentingan membangun jejaring kuasanya di mana-mana.
Sarjana sejati haruslah punya pegangan. Harus punya abstraksi yang memadai yang memandunya untuk menembus banyak ruang pertumbuhan.
Doa menembus langit, Ilmu bisa menembus dunia! Tapi hanya dengan usaha dan jerih payah, melalui kehadiran Guru-Guru hebat, dengan kesungguhan belajar, dan keintiman kepada lembaran-lembaran pengetahuan melalui bacaan-bacaanlah yang membuat pena dan takdir (para) Sarjana bisa berjalan dan berputar jauh.
Keringat yang menetes dan terus menetes selama kuliah hanya akan memberi buah bagi Masa Depan kalau berkah dari Guru terus menyertai langkah-langkah kalian. Buang jauh-jauh rasa puas diri, buang jauh-jauh kemalasan dan kemunafikan berilmu pengetahuan.
Teguhkan prinsip hidup dan kehormatan kesarjanaanmu.
Ilmu yang tidak mengantarkan kita mengenal apa arti benar dan salah; ilmu yang tidak membantu kita paham apa itu baik, wajar dan salah, serta yang palsu dan hipokrit, adalah ilmu yang tidak benar.
Sarjana sejati haruslah bisa belajar lebih jauh keluar dari tembok-tembok jurusan dan fakultasnya. Kampus sejati tak boleh bermental “kampung”an dengan kasta-kasta feodalisme akademis dan simbol-simbol birokrasinya.
Kita bisa sedikit berkaca kepada negara yang diakui terdepan kualitas pendidikannya di dunia, Finlandia. Mengapa negeri ini terdepan dan hebat? Satu di antara beberapa alasannya adalah karena pendidikan di Finlandia “dinilai” sebagai pendidikan yang melahirkan manusia-manusia yang mampu memaknai dan memberi arti tentang apa itu kehidupan. Mereka hidup dengan pemikiran dan tanpa henti memikirkan dan mengerjakan hidup! Mereka mengajarkan tentang “Hari Esok” di sekolah-sekolah mereka! Guru-guru di Findlandia membawa luasan “dunia” ke dalam ruang-ruang kelas mereka!
Di Finlandia, kepada para mahasiswa dan sarjana, sejak awal ditancapkan sebuah prinsip paling fundamental. Masyarakat Findlandia sadar tentang ungkapan, “study where you can hear yourself think….” Belajarlah di tempat-tempat di mana Anda bisa mendengar, merasakan dan memastikan bahwa dirimu bisa berpikir dan memikirkan sesuatu…”.
Singkatnya, jangan pernah belajar di tempat-tempat di mana Anda tidak pernah dibantu untuk bisa berpikir! Anda harus belajar dan akhirnya sadar bahwa Anda bisa berpikir dengan yakin dan memadai. Di kampus yang benar, seperti itulah yang terjadi!
Penulis adalah parner di Voice-of-HaleHepu.
Surel: [email protected]
Comment