Oleh:
Basri Amin
KETIKA Presiden Joko Widodo menggetarkan jargon “Revolusi Mental” di awal pemerintahannya di periode pertama, saya terkesima. Menyentuh! Menjanjikan! Jargon itu dibuat Soekarno. Pada mulanya, kuat terkesan: Jokowi sangat Soekarno-is.
Lalu, apa yang terjadi saat ini? Dalam hitungan hari, presidensi Jokowi akan segera berakhir. Warisan kepemimpinannya akan segera dinilai terbuka oleh zaman. Adakah sesuatu yang benar-benar bisa diklaim mencapai level “revolusi” dari sisi perbaikan mentalitas kita dalam berbangsa dan bernegara?
Di masa awal pemerintahan Jokowi, “bahasa empatik” cenderung dinyatakan sebagai metode baru dalam menyegarkan keindonesiaan kita. Ketidakadilan dan kesenjangan dijawab dengan infrastruktur, kunjungan berulang ke daerah-daerah, serta populisme kebijakan tertentu. Handalkah itu semua merawat keindonesiaan? Sejarah masih akan menguji dan akan kita temukan jawabannya hari-hari ini.
Dalam faktanya, benturan-benturan (politik) identitas, kerancuan-kerancuan dalam kebijakan publik, kepemihakan kepada hak-hak sipil, serta ketegasan bangsa di percaturan ekonomi global cenderung (masih) dipertanyakan. Kita masih menunggu warisan kepresidenan seperti apa yang akan wajar disematkan kepada presiden Jokowi. Prestasi olah raga? Ibu Kota negara yang pindah? Kemakmuran yang makin merata? Koruptor di kalangan pejabat negara? Moralitas politik?
Dalam banyak hal, peran kita di tingkat dunia cenderung belum mampu menggetarkan “keseimbangan internasional”. Sebagai contoh sederhana, meski sudah beberapa kali diselenggarakan pertemuan “diaspora Indonesia” –sebagai forum manusia Indonesia yang berkiprah membanggakan di berbagai bidang utama di berbagai negara–, tapi kita belum sepenuhnya berhasil mendayagunakan jaringan dan kapasitas mereka untuk kepentingan nasional yang lebih luas.
Praktik-praktik cerdas yang mereka capai selama ini dan apa-apa yang mereka telah kontribusikan di negara-negara maju, sepertinya belum sungguh-sungguh kita “copy” untuk berbagai bidang dan institusi di negeri ini. Di lembaga pendidikan misalnya, kultur akademis dan leadership yang progresif hingga kini masih terbayangi oleh “feodalisme” posisi dan fasilitas. Bahkan tak jarang, kolusi (kepentingan ‘gerombolan’ pertemanan jangka pendek) dan nepotisme (jaringan keluarga dan afiliasi organisasi) masih menyelinap diam-diam. Ia terus mengakar dan menyebar di banyak situasi.
Negeri ini sebenarnya makin butuh Presiden pemberani. Putaran zaman yang melilit Indonesia membutuhkan haluan dan kepemimpinan yang kokoh. Terpaan global yang menusuk semua titik lokalitas kita meniscayakan visi bersama yang terkonsolidasi. Ledakan informasi menerpa semua orang, tapi tak semua golongan siap mengunyah itu semua dengan kadar kesadaran dan volume pemanfaatan yang sama.
Teknologi, di masa kini, adalah sesuatu yang meliputi banyak hal. Kita tak bisa menghindar darinya. Ia ibarat makanan. Harus selalu ada! Tapi, ia tak akan memberi faedah apa-apa kalau takaran, perlakuan, dan kandungannya tak kita perhitungkan. Ledakan masif inilah yang kini merasuki masyarakat kita. Pengaruhnya sangat besar: hoaks, kriminalitas, kehampaan, agresifitas, hipokrisi, dst. Lalu, negara berperan di mana? Pengatur signal dan frekuensi udara? Berkuasa memblokir akun? Perluasan propaganda anti teror? Kampanye damai di ruang-ruang publik?
Banyak perkara silih-berganti di depan mata setiap presiden. Cukupkah waktu untuk menangani dan mengelola itu semua? Bagi presiden hasil Pemilu 2024, tantangannya makin kritikal: ancaman pangan, perubahan iklim, sebaran penyakit, radikalisme, internasionalitas kondisi Papua, serta “hadiah demografi” semuanya hadir bersamaan. Belum lagi gelombang (industri) berbasis teknologi digital disertai big data di tengah-tengah ekonomi dunia yang bergejolak. China, Korea Selatan, dan Vietnam yang makin tampak besar. Juga, Amerika yang makin gagap tapi tetap saja angkuh.
Ratusan juta penduduk, tapi dengan kesenjangan yang belum jua membaik. Lalu, Presiden hendak “menggerakkan” yang mana? Saya kira, jargon “presiden penyatu” adalah sangat positif di tengah-tengah bangsa super majemuk seperti Indonesia. Tapi, dalam skala yang lebih luas, penyatuan seperti ini adalah sekaligus sebagai penanda bahwa bangsa ini –dari waktu ke waktu– demikian membebani presidennya dalam urusan pluralisme. Secara normatif, tentu ini adalah perkara mendasar.
Presiden harus menjamin harmoni sosial negeri ini. Presiden memegang amanah “melindungi segenap hajat hidup orang banyak”. Bersamaan dengan itu, Presiden juga tentulah sangat paham tentang tugas-tugas konstitusionalnya yang lain. Hanya saja, perspektif presidensial seperti ini belum seutuhnya menunjukkan “kebesaran” Indonesia sebagai negara-bangsa.
Amanah untuk aktif “menjaga ketertiban dunia”, adalah juga sebuah tuntutan yang tak kalah seriusnya untuk diperankan. Di sinilah Presiden harus berani melihat dan memperlihatkan kepada bangsanya, bahwa Indonesia adalah bangsa yang aktif di tingkat dunia. Tak cukup dengan rutin bersidang di forum-forum dunia dan merativikasi konvensi-konvensi internasional.
Lebih jauh dari itu, Presiden juga haruslah lebih lantang memberi gagasan bandingan dan praktik baik tentang isu lingkungan, tata kelola pemerintahan, pembangunan mutu manusia, demokrasi, keamanan, kesehatan global, hak azasi manusia, dst. Selanjutnya, yang butuh disatukan adalah cita-cita bangsa, mutu manusia Indonesia yang mengelola alam negeri ini, serta kesetiaan kita mewujudkan keadilan dan kemakmuran.***
Penulis adalah parner di Voice-of-HaleHepu
E-mail: [email protected]
Comment