Oleh :
Arief Rokhman
TEPAT tanggal 17 Agustus 2024 Republik Indonesia genap berusia 79 tahun. Momen Kemerdekaan biasanya diperingati agar semangat kebangsaan dan rasa cinta tanah air terus menggelora dalam jiwa setiap warga negara. Bentuk mengisi kemerdekaan saat ini adalah dengan melakukan pengabdian dan berkontribusi secara baik melalui tugas dan fungsi masing-masing. Tidak terkecuali dalam pelaksanaan APBN sebagai instrument strategis bagi pembangunan dan peningkatan kesejahteraan rakyat.
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) merupakan rencana keuangan tahunan pemerintah Indonesia yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Dengan demikian APBN pada dasarnya merupakan amanah rakyat yang dipercayakan kepada para penyelenggara negara dari tingkat pusat sampai daerah. Amanah ini harus dijalankan dengan sebaik-baiknya, profesional dan akuntabel mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
Di tingkat satuan kerja amanah ini dijalankan oleh pejabat perbendaharaan yang terdiri dari Kuasa Pengguna Anggaran (KPA), Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), Pejabat Penandatangan Surat Perintah Membayar (PPSPM) dan Bendahara. Setiap pejabat perbendaharaan telah dibekali dengan tugas, fungsi, wewenang dan tanggungjawab masing-masing dalam menjalankan amanah APBN di instansinya.
APBN dijalankan dengan beberapa prinsip antara lain hemat, efisien, sesuai kebutuhan, terarah, terkendali dan sesuai dengan rencana, program serta kegiatan untuk mencapai tujuan kesejahteraan rakyat. Dalam upaya menjalankan prinsip tersebut, pemerintah membuat berbagai kebijakan di bidang APBN. Dan guna pengukuran keberhasilan kebijakan dikembangkan metode best practise salah satunya yaitu Indikator Kinerja Pelaksanaan Anggaran (IKPA).
IKPA adalah indicator yang ditetapkan oleh Kementerian Keuangan selaku Bendahara Umum Negara (BUN) dan/atau pengelola fiscal untuk mengukur kualitas kinerja pelaksanaan anggaran belanja Kementerian Negara/Lembaga dari sisi kualitas perencanaan pelaksanaan anggaran, kualitas implementasi pelaksanaan anggaran, dan kualitas hasil pelaksanaan anggaran.
Semakin tinggi nilai IKPA idealnya semakin baik kinerja pelaksanaan anggaran di satuan kerja. Nilai IKPA juga mencerminkan bagaimana upaya yang dilakukan oleh para pengelola anggaran. Hal ini mengingat IKPA adalah cerminan dari proses awal sampai akhir, proses perencanaan hingga hasil yang diperoleh dari APBN (out put). Proses ini harus diawali dari sebuah pengetahuan (knowledge), pemahaman (understand), kesadaran (aware), kepedulian (care) dan tindakan (action) tentang bagaimana mengelola anggaran yang baik dan benar (APBN berkualitas).
Lebih lanjut mengapa penulis berpendapat bahwa IKPA merupakan salah satu bentuk kepedulian terhadap amanah rakyat. Mari kita telaah lebih dalam bagaimana peranan masing-masing parameter IKPA dalam mewujudkan APBN sebagai amanah rakyat.
Parameter pertama terkait dengan kualitas perencanaan DIPA yang diwakili oleh indicator Jumlah Revisi DIPA dan Deviasi Halaman III DIPA. Revisi DIPA berarti terdapatnya perubahan atas rencana yang telah ditetapkan di awal atau sebelumnya. Hal ini dimungkinkan untuk penyesuaian kondisi yang ada, penyesuaian kebijakan atau target baru. Namun revisi juga bias terjadi akibat dari kurang matangnya perencanaan, perencanaan yang tidak sesuai kebutuhan dan/atau asal dialokasikan anggarannya.
Tentu hal ini tidak sesuai dengan prinsip APBN tersebut di atas dan berpotensi terjadinya pemborosan atau bahkan fraud (korupsi). Selanjutnya Deviasi Halaman III DIPA menunjukkan gap antara rencana kas yang akan dicairkan dengan realisasi kas yang dicairkan. Hal ini terkait dengan penyediaan kas oleh Menteri Keuangan selaku BUN setiap bulannya. Kas negara dipengaruhi oleh jumlah uang yang masuk/diterima dengan jumlah uang yang harus dikeluarkan untuk membiayai kegiatan negara.
Dalam kebijakan APBN yang defisit, jumlah penerimaan lebih kecil dari pengeluaran, sehingga pemerintah perlu menutup dengan pembiayaan (utang). Deviasi halaman III DIPA baik deviasi plus atau minus menyebabkan ketidakakuratan kas (cash mismatch) yang berpotensi menyebabkan ketidakakuratan jumlah pembiayaan/utang yang diperlukan. Kerugian yang ditimbulkan adalah idle cash dan beban bunga utang yang meningkat.
Parameter kedua terkait kualitas pelaksanaan anggaran yang dinilai dari 4 indikator yaitu penyerapan anggaran, belanja kontraktual, penyelesaian tagihan dan pengelolaan uang persediaan/tambahan uang persediaan (UP/TUP). Keempat indicator tersebut berkaitan dengan prinsip anggaran yang cepat, terarah, terkendali dan sesuai rencana. Penyerapan anggaran berkaitan erat dengan pelaksanaan kegiatan instansi untuk mencapai tujuan, karena setiap kegiatan tentunya memerlukan dana.
Semakin cepat kegiatan dilaksanakan maka hasilnya pun akan dapat segera dinikmati masyarakat. Sebagai contoh anggaran bantuan sosial, anggaran untuk pembangunan fasilitas publik dan lain sebagainya. Secara umum penyerapan anggaran sebaiknya proporsional dan tidak menumpuk di akhir tahun. Dalam IKPA kebijakan penyerapan anggaran ditetapkan secara triwulanan yaitu sebesar 20, 50, 75 dan 95 persen.
Belanja kontraktual dan Penyelesaian Tagihan juga erat kaitanya dengan kecepatan pelaksanaan kegiatan. Kontrak di awal tahun tentu lebih baik dari pada pertengahan atau akhir tahun karena hasil akan lebih cepat didapat, kualitas output juga terjaga serta manfaatnya dapat dirasakan di tahun berkenaan. Dalam IKPA kebijakan ditetapkan paling lama 5 hari kerja kontrak harus segera didaftarkan ke KPPN. Penyelesaian Tagihan ditetapkan paling lama 17 hari kerja setelah ditandatangani berita acara serah terima barang/pekerjaan (BAST/BAPP), sehingga negara telah melunasi kewajibannya terhadap pihak yang berhak menerima tagihan kepada negara.
Pengelolaan UP/TUP selain berkaitan dengan kecepatan pelaksanaan kegiatan, juga erat kaitannya dengan potensi idle cash dan fraud. Karena itu kebijakan IKPA mengatur agar proses revolving uang persediaan tidak terlalu lama (mengendap), maksimal 1 bulan sudah terdapat pertanggungjawaban dan proses transaksi dalam UP/TUP dilakukan secara transparan melalui digitalisasi (CMS/KKP/Digipay).
Parameter Ketiga terkait dengan kualitas hasil pelaksanaan anggaran yang diwakili indicator capaian output. Setiap pengeluaran satu rupiah APBN harus menghasilkan output adalah prinsip dasar dari pengeluaran negara. Karena itu output harus sejalan dan selaras dengan penyerapan anggaran. Pencapaian output yang telah ditetapkan berarti telah mewujudkan peranan APBN dalam pembangunan dan peningkatan kesejahteraan rakyat. Demikian juga sebaliknya, ketidak tercapaian output menjadi salah satu ukuran ketidakberhasilan APBN dalam lingkungannya.
Dari uraian di atas tergambar dengan jelas bagaimana peranan IKPA dalam menjaga kualitas APBN yang merupakan amanah rakyat. Tentu pengetahuan dan kepedulian kita semua, khususnya para pejabat perbendaharaan di setiap instansi sangat diperlukan. Mengetahui apa itu IKPA, bagaimana peranan dalam mewujudkan APBN yang berkualitas dan bagaimana prosesnya, akan mendorong pejabat perbendaharaan untuk lebih dalam lagi memahami bagaimana proses perencanaan anggaran, bagaimana proses pelaksanaan anggaran dan mewujudkan anggaran tadi menjadi suatu output yang tepat. Meskipun hal tersebut juga tidak bersifat mutlak, karena kepedulian juga tergantung dari sifat pribadi manusia.
Sebaliknya ketidaktahuan bias menjadi penyebab tidak adanya kepedulian terhadap IKPA yang berpotensi menyebabkan ketidak pedulian terhadap kualitas APBN. Ketidaktahuan juga bisa merupakan bentuk ketidakpedulian itu sendiri. Dari hal ini berakibat pada proses pelaksanaan anggaran (APBN) yang dilakukan dengan ala kadarnya, sehingga hasilnya pun juga mungkin asal jadi atau asal ada. (*)
Penulis adalah Kepala KPPN Gorontalo
(Chief of Treasury and Financial Advisor)
Disclaimer :Tulisan ini merupakan opini
pribadi penulis dan tidak mewakili pandangan organisasi










Discussion about this post