oleh :
Basri Amin
Apa kabar, Masjid Raya Gorontalo? Masjid ada di mana-mana, lalu apa sesugguhnya yang butuh kita raya-kan? Kita bisa “sujud” di mana-mana, lalu dalam hal apa penghambaan kita kepada-Nya benar-benar dipandang oleh-Nya?
Sebuah masjid setiap saat bisa dibangun dan dibesarkan, tapi secara ruhani dan jika hendak menjadi penanda (pencapaian) peradaban, sebuah masjid ‘membutuhkan’ banyak sentuhan, tata-kerja, dan niat yang agung. Tidak karena (nafsu) pujian manusia, gugusan material dan ilmu, melainkan terutama sebagai penghambaan kita kepada Yang Maha Besar dan Maha Agung.
Emha Ainun Nadjib, tahun 1987, menulis puisi panjang “Seribu Masjid Satu Jumlahnya”: Cak Nun menulis: Masjid itu dua macamnya// Satu ruh, Lainnya badan// Satu di atas tanah berdiri// Lainnya bersemayam di hati. Masjid batu bata Berdiri di mana-mana// Masjid sejati tak menentu tempat tinggalnya// Timbul tenggelam antara ada dan tiada.
Sangat mahal biaya masjid badan// Padahal temboknya berlumut karena hujan//
Adapun masjid ruh kita beli dengan ketakjuban// Tak bisa lapuk karena asma-Nya kita dzikir-kan
Dalam benak saya sejak awal, aura masjid di Gorontalo sangat terasa. Masjid tersebar di mana-mana dengan tingkat pemakmurannya masing-masing. Di setiap masjid, selalu ada kebeningan ruhani yang dipancarkan oleh para “Imam” dan “Sara daa-nya, keguyuban jamaahnya, juga lanskap alam serta pekuburan yang mengitarinya. Untuk soal kemegahan, keindahan dan kebesaran, setiap orang bisa berpendapat.
Lagi pula, tidak setiap masyarakat membutuhkan rasa megah, besar dan indah. Bukankah elemen utama yang dibutuhkan adalah rasa lapang dan rasa bening (hati) dalam setiap ibadah di masjid. Belakangan, peneguhan identitas ke-Gorontalo-an itu melebar kepada pembangunan Islamic Center dan penentuan (jargon) identitas ‘Serambi Madinah’. Keduanya unik, satunya berbahasa Inggris dan satunya lagi mencoba meneguhkan sesuatu (?).
Sejak 2008 keluarga kami tinggal di Limboto, setelah bergeser dari keluarga besar di Datahu Isimu. Di Limboto, kisah-kisah masjid tergolong unik. Di bagian pelataran masjid Agung Baiturrahman (Limboto), kita akan menemukan satu bagian yang permukaannya kaca dengan air jernih di bawahnya, bahkan pada suatu waktu ada ikan-ikan lincah yang bermain. Di masa awal pasca renovasi besar masjid Agung Limboto ini, setiap orang merasakan betul sesuatu yang “lain”, tak biasa, dan hampir semua jamaah bangga dengan penampakan dan tampilan baru masjid agung.
Demikian juga di awal 1990-an, kita merasakan kebanggaan yang sama dengan kemegahan masjid Agung Baitturrahim (kota Gorontalo). Sejak itu, nuansa arsitekur Islam melalui disain interior, mihrab, mimbar, kaligrafi dan penampakan luar masjid memberi suasana baru di Gorontalo. Meski demikian, aura spiritual dan arsiteknya yang klasik dan menyejarah hanya hanya bisa kita temu-rasakan di Masjid Sultan Amai di Hunto (berdiri 1495 masehi) dan masjid Boki Owutango di Tamalate (1525 masehi).
Kembali ke Limboto, menurut hemat saya, penggunaan kaca dan air dalam pelataran masjid atau di bagian mana pun, sesungguhnya tidak sekadar hasil pekerjaan tukang karena pesanan pemerintah kabupaten dan pengurus masjid Agung. Entah sengaja atau tidak, secara historis, penggunaan “kaca transparan” dan penempatan air bersih nan bening dalam bangunan, adalah sebuah produk sejarah keagamaan yang penting. Dengan merujuk pada peristiwa Ratu Balqis yang demikian takjub dengan istana (raja/Nabi) Sulaiman, karena aura kemegahan (arsitektural) dan keindahannya (estetikal) yang tak terkira oleh sang ratu kaya dari Seba ini, sampai-sampai ia harus mengangkat gaun kebesaran keratuannya karena takut basah dan terpeleset di lantai kaca/kristal istana Sulaiman. Akhirnya, sang ratu jadi sadar bahwa istana ini dibangun di atas penghambaan kepada Yang Maha Besar, Maha Agung dan yang Maha Indah, yakni Allah SWT. Sang ratu “terkecoh” dengan matanya sendiri, sementara dari sisi Sulaiman, karya konstruksi (istananya) memang dirancang dan dibangun dari banyak kekuatan dan kekuasaan untuk menundukkan mata dan hati sang Ratu, agar taat kepada yang Maha Pencipta.
Fakta inilah yang kemudian memberi inspirasi sarjana di Barat dalam mengagumi konsep seni keindahan dalam Islam, sebagaimana ditunjukkan oleh Valerie Gonzales (2001). Penggunaan kaca kristal memberi aspirasi penting dalam sejarah (peradaban) Islam, sebagaimana tampak ketika Islam berjaya sekian abad di Spanyol, sehingga khalifah Andalusia, Al-Ma’mun membangun “istana kristal” (istana Toledo) dengan hamparan (taman) airnya yang indah, juga pilar-pilar masjidnya yang megah penuh wibawa, dengan warna marmer yang kemerahan yang lembut, yang hingga kini masih tampak sisa-sisa keindahannya di Spanyol (Lunde, 2002; Watt, A History of Islamic Spain, 1967: 144-146).
Di masjid, pengalaman visual tentang keindahan akan sekaligus tak terpisah dengan resonansi spiritual melalui aliran-aliran rasa dan kilatan-kilatan yang memang sejak awal “terkondisikan” oleh setiap orang yang pertama kali datang, yang selalu hadir atau yang sesekali hadir. Tentu, keindahan selalu membawa dua sisi: yang tampak-luar (zahir) dan yang tak tampak-dalam (batin). Karena Tuhan sendirilah yang telah memberi banyak “tanda” dan “contoh” tentang keindahan dan kemegahan itu melalui ciptaanNya di alam raya.
Tokoh terpandang dalam sejarah pemikiran seni Islam, Ibnu Hazim, adalah yang pertama merumuskan pentingnya dimensi material, spiritual dan etikal dalam konsep keindahan (arts, estetika) dalam masyarakat Islam. Ibnu Hazim (wafat 1064 masehi) adalah pemikir Andalusia di masa keemasan Islam Spanyol di Cordoba. Dialah yang menegaskan pentingnya kualitas fisik dan kekekaran, kecantikan yang manis (anggun, halawa), kemuliaan dan kewibawaan yang berjiwa (diqqa). Ibnu Hazim mengurai panjang lebar tentang keindahan dengan melibatkan banyak unsur, antara lain tentang “ketertarikan jiwa” kita kepada sesuatu, dan itu semua masih terus “memberi rasa” yang terkenang ketika seseorang berpisah dengan objek yang dikunjungi dan disaksikannya (Chapman, et al, 2012). Ada sejenis ruang di mana seseorang “merenungi”nya. Dengan demikian, kesejatian tentang indah tidaknya sesuatu, ia bisa ditentukan dari apa yang kita rasa dan akui menurut pengalaman kita sendiri.
Dalam konteks (bangunan) masjid, keindahan memang sangatlah relatif, terutama bagi sebuah masyarakat yang tingkat pengalaman dan kesadaran estetisnya masih terbatas. Masjid, secara nilai, adalah “tempat beribadah” dengan beragam aspeknya, sehingga bentuk standar (bangunannya) cenderung “saling meniru” satu sama lain. Dalam banyak hal, hampir semua masjid adalah sebuah bangunan tumbuh, ia tidak pernah sekali jadi dan terdisain komplit sejak awal. Perkembangannya ditentukan oleh pengurus, jamaah dan kontribusi finansial dari warga, pemerintah, dll. Keindahan selalu hadir “dalam dirinya” sendiri dan ia pun bisa tumbuh ketika beroleh pujian, penghargaan dan pemuliaan. Tentu bisa timbal balik keduanya: karena ia bagus dan indah maka ia dipuji, atau karena ia dihargai dan dipuji maka tampak indahlah ia.
Meski kita sangat memberi kedudukan tinggi atas artefak Islam di Timur Tengah, tapi kebesaran sejarah Islam Nusantara, dunia Melayu dan Islam di benua lain, tak bisa dipandang sebagai sekadar perbandingan biasa. Itulah sebabnya, arsitek Islam Indonesia, juga di Gorontalo, terutama dalam hubungannya dengan pembangunan masjid-masjid kita, tidaklah harus dan otomatis berkiblat kepada Timur Tengah. Yang kita butuhkan adalah “proporsi” dan “persepsi”, dengan begitu visi kita pun terbentuk secara otentik dan memberi dampak (internal) menyangkut identitas keGorontaloan yang unik di satu sisi (skala regional), tapi juga dalam konteks memperkaya keIndonesiaan yang Islam(i) dan majemuk di sisi lain (skala nasional). Intinya, jangan kagum berlebihan dan jangan meniru dengan sepihak. Kita butuh nuansa kultural dan resonansi spiritual sendiri yang menampakkan kemandirian daya-cipta kita, tapi sekaligus keikhlasan tertinggi yang kita wujudkan dalam menghambakan diri dan kecintaan kepadaNYA, beserta segala kemampuan (imajinasi, rasa, kreasi, kontemplasi, dst) yang kita punyai. ***
Penulis adalah Parner di Voice-of-HaleHepu
E-mail: [email protected]
Comment