Perempuan Patriot Sulawesi

Oleh:
Basri Amin
Lembaga Kajian Sekolah & Masyarakat

 

PULAU ini adalah pulau (para) patriot perempuan. Pioner Karawo di Gorontalo bernama Boki Ina Olii-Datau. Beliau sudah mendirikan industri rumah tangga era 1920an di Gorontalo untuk membesarkan Karawo dan keterampilah hidup bagi kalangan perempuan.

Di daerah tetangga, muncul pula perempuan hebat. Lahir di Kotabangon, Bolaang Mongondow, 23 Mei 1912. Dialah pendiri “Bhayangkari” Indonesia dan pejuang perempuan di masa Revolusi Kemerdekaan, bernama Lena Soekanto-Mokoginta. Rumah tinggalnya di Djokjakarta sempat menjadi tempat penginapan sementara Perdana Menteri Sutan Sjahrir, salah satu tokoh besar Indonesia. Ayahnya, Jogugu Abraham Patra Mokoginta. Beliau terkenal karena mengizinkan petinggi Sarikat Islam (S.I) dari Jawa guna meluaskan pengaruh S.I. di Bolaang Mongondow tahun 1918.

Di Batavia, Lena Mokoginta aktif di Indonesia Moeda, setelah sebelumnya di Jong Celebes. Ia adalah Ketua Kongres Pembubaran Jong Celebes untuk difusikan di Indonesia Moeda. Lena Mokoginta dipilih sebagai Sekretaris Indonesia Moeda Cabang Jakarta di usianya yang masih 17 tahun (Hardi, dkk, 1982: 149; Santosa, 2022). Dia aktif di Jakarta ketika Proklamasi Kemerdekaan dibacakan Soekarno-Hatta, 17 Agustus 1945 dan sempat tinggal sejenak di Pegangsaan Timur 43, menemani suaminya, Soekanto, yang ditunjuk Presiden Soekarno membentuk Jawatan Kepolisian Republik Indonesia, untuk pertama kalinya.

Di ujung Selatan Sulawesi, di Makassar, Emmy Saelan (1924-1947) terhormat namanya karena dialah patriot perempuan yang heroik perlawanannya kepada kolonialisme. Di usianya yang sangat muda, ia telah mengorbankan segalanya demi kebebasan dan kemerdekaan. Menjadi martir untuk Republik.

Patriotisme perempuan Indonesia selalu terhubung dengan Aceh. Di sana, di negeri Aceh, sudah lama kita kenal Laksamana Malahayati dan sultanah-sultanahnya sebagai wanita-wanita utama. Di Pulau Ternate, nama Nukila dan Boki Raja, dikenal karena pertarungan hidupnya membela bangsanya habis-habisan. Begitu abadi sejarah mencatat, bahwa Malahayati, sang “Panglima Laut di pusaran jalur rempah” berhasil menebas kepongahan Cornelis de Houtman di Aceh (Tempo, 2023).

Kembali ke Sulawesi. Di negeri Bone, kisah perempuan Bugis menyandang wibawa yang tak kalah pula heroiknya.

Kolumnis Tempo, Darmawati M.R. (edisi 18 Juni 2023), menukil sebuah tonggak sejarah perempuan bernama We Cenra Datu Cinnong dengan sangat bernyawa. Demikian kutipannya:

“Urusanmu dengan Petta Ponggawae telah selesai, tetapi kalau engkau mau berurusan dengan seorang wanita, langkahkanlah kakimu selangkah lagi” (Amir, 2015).

Demikianlah kata-kata yang keluar dari bibir We Cenra Datu Cinnong —dengan badik teracung di tangan— saat seorang serdadu Belanda dengan pedang terhunus mendekati jenazah suaminya. We Cenra Datu Cinnong, janda dari Abdul Hamid Petta Ponggawae, digambarkan sebagai sosok berani dalam literatur-literatur mengenai perjuangan rakyat Bone di bawah pemerintahan Raja La Pawawoi Karaeng Segeri saat melawan Belanda di Bone.

Heroisme serupa diperankan oleh banyak perempuan Sulawesi dengan karakter aksi dan momentum, yang berbeda-beda. Kita harus sebut berulang nama Emmy Saelan (1924-1947). Tapi kita juga ingat kebesaran gerakan bidang pendidikan oleh Maria-Walanda Maramis (1872-1924) di Minahasa. Demikian pula peran besar Zuzter Annie Senduk, salah satu tokoh pendiri Palang Merah Indonesia (PMI), 17 September 1945 di Batavia. Tercatat pula perempuan kawanua Dina Maranta Pantouw (1908-1994), pejuang KRIS di Djogjakarta. Atau, Wali Kota perempuan (pertama) di Indonesia, Augustine Magdalena Waworuntu (1899-1986) di kota Manado tahun 1950/1951. Dan masih banyak lagi…

Di Gorontalo, Karawo dibela dan dibesarkan karakter tradisinya di tengah-tengah keluarga di Gorontalo di masa kolonial oleh seorang perempuan – aristokrat terdidik bernama INA Datau-Olii (1893-1969). Perkembangan kerajinan Karawo secara teroganisir, yang melibatkan kalangan perempuan, menggerakkan pendidikan keterampilan “Sekolah Nona” dan beroleh legitimasi di masa Kolonial, adalah buah-buah dari peran besar yang dilakukan oleh Ibu INA Datau-Olii, yang akrab disapa “Tile Dido” (KSJ, 1939).

Beliau lahir di Gorontalo pada 27 November 1893. Pernah belajar di HIS dan terkenal sebagai pejuang pendidikan dan kerajinan Karawo sejak 1920an dan semakin eksis perjuangannya di era 1940an. Suaminya adalah Kasim Datau (Jogugu Kwandang) yang dipenjara di masa Jepang di Manado dan ditemani perjuangannya oleh Ibu Ina Datau-Olii. Beliau Mendirikan “Sekolah Nona” di Ipilo, Kota Gorontalo, juga di Tapa, Bumbulan, dan Batudaa. Bersama ibu-ibu pejuang nasional dan istri-istri pengusaha di Gorontalo terlibat dalam organisasi “Ibu Setia” yang terkenal perannya sebelum Kemerdekaan. Mendirikan Taman Perguruan untuk perempuan, termasuk organisasi Perempuan Islam di Gorontalo (Thaib, 2007; Amin, 2014).

Ruang terlalu sempit bagi nama-nama perempuan pembaru, pejuang dan pendidik di negeri ini yang begitu banyak dan menyebar. Mereka belum sepenuhnya beroleh ruang narasi yang memadai. Di banyak bidang, nama-nama mereka begitu harum pengabdiannya untuk Ibu Pertiwi – Indonesia. Perempuan pejuang yang menjawab zamannya. Mereka bukan pesolek! Itulah sekadar nilai dasar di bulan MEI ini: Bulan pendikan. Bulan Kebangkitan Nasional, dst. Agar negeri ini benar-benar terhindar dari ‘generasi cemas’, dan bergerak mencapai ‘generasi emas’. Semoga! ***

Comment