Pendidikan Gorontalo dan Semangat B.J. Habibie

Oleh:
Basri Amin

 

KITA mempunyai sejumlah orang yang pencapaiannya mencapai tingkat “keabadian” tertentu. Warisan karya, luasan pengaruh, jejaring gagasan, dan jejak hidupnya melampaui disiplin ilmu, periode hidup, dan posisi tertentu.

Pada suatu waktu, di tahun 2014, percakapan tentang Universitas B.J. Habibie pernah berproses intensif di Gorontalo. Banyak pandangan, dukungan, harapan, dan juga nada-nada pertanyaan di ruang publik tentang keberadaan “UBJH” tersebut.

Meski B.J. Habibie adalah “putra terbaik” bangsa di panggung dunia, akar “darah”-nya dari Kabila dan yang selalu bangga dengan ke-gorontalo-annya, tapi terbukti bahwa (di Gorontalo!) tidaklah mudah menjembatani akar-akar biologis seorang tokoh besar bernama B.J. Habibie guna menjadi pilar kokoh di sektor ilmu pengetahuan dan menjadi bagian dari visi besar dari wawasan pendidikan (kolektif) kita.

Bisa dikata, “simbolisme” dan “spirit” B.J. Habibie belum sepenuhnya (kita) manfaatkan untuk Gorontalo masa depan. Yang tampak kini adalah sebuah patung besar BJH di kawasan bandara Jalaluddin Tantu di Isimu.

Sebuah nama (besar) tentulah tidak otomatis menjamin kebesaran dan pencapaian. Meski demikian, semua haruslah ditakar secara wajar. B.J. Habibie punya keharuman dan marwah sendiri atas namanya karena beliau relatif komplit karakternya: jenius, religius, tulus-cinta, demokratis, dan optimis.

Warisan wawasan teknologi canggihnya, terutama di bidang dirgantara, sepertinya pelan-pelan tapi pasti mulai meredup di negeri ini. Tidak lagi jadi tema dan agenda strategis nasional. Padahal anak-anak biologis dan anak-anak kecendekiannya tidak pernah menuntut lebih…

Prof. B.J Habibie, dalam hemat saya, membutuhkan “pembumian” baru di negeri leluhurnya ini. Ikatan emotif yang kita punyai hanya akan berkembang produktif jika ke-gorontalo-an itu beroleh koneksi-koneksi baru dalam skala yang lebih luas, di mana B.J. Habibie adalah “konektor” untuk banyak domain kemajuan yang potensial membesar ke masa depan.

Bagaimana pun, figur dan kontribusi B.J Habibie terbukti “melampaui banyak batas”: disiplin akademis, kepemimpinan, identitas sosial, lokal-global, religius-rasional, privat-publik, distingsi generasi dan faksi kekuasaan.

Sejauh yang mampu saya hayati di tingkat keseharian maupun di arena yang lebih formal dan melembaga, kita belum berhasil menemukan formula yang produktif bagaimana mengajarkan dan merujuk “ketokohan Gorontalo” –-bahkan dalam arti luas, sejarah intelektual daerah ini,— guna diartikulasikan dalam proses pendidikan anak-anak kita.

Jarak emotif dan sandaran rasionalnya seringkali tumpang-tindih: antara bangga dan ragu-ragu. Tak heran kalau yang banyak dibicarakan adalah sisi-sisi emotif yang tak membumi. Hal ini, saya kira, terutama disebabkan oleh cakrawala daya baca kita terhadap khasanah (perubahan) zaman dan kemampuan (reflektif) kita atas pencapaian historis yang kita miliki.

Rasa-rasanya, kini sudah tiba saatnya Gorontalo (kita) “membaca kembali” dengan tepat tentang (warisan) tokoh-tokoh besarnya di berbagai bidang.

B.J. Habibie adalah sosok yang lebih sering menyebut universitas dan tugas-tugas fundamentalnya sebagai “pusat keunggulan” (center of excellence). Bertolak dari pandangan itu, sangat jelas bahwa beliau menghendaki “pemusatan” energi (otak dan watak) tertentu dari bangsa kita yang memihak kepada daya cipta manusia Indonesia –-dan tentu saja Gorontalo!—di bidang pendidikan tinggi.

Garis nalar seperti itu pula bermakna bahwa solusi atas berbagai keadaan yang selama ini kita hadapi –sebagai negeri kepulauan yang besar dan majemuk tapi kaya sumberdaya alam–, amat membutuhkan “mutu manusia” dengan nilai tambah yang mampu dihasilkannya. Hanya melalui jalan sains dan teknologi yang ditopang dengan moralitas kegenerasian dan tata-nilai rabbaniyah yang memungkinkan kita berdiri tegak memakmurkan Indonesia.

Dalam kata-kata Prof. Habibie: “Syarat sebuah negara untuk menjadi besar, berdikari dan kukuh, adalah jika dapat mengandalkan pada sumber daya manusia yang merdeka, bebas bertanggung jawab, terampil, bekerja produktif, berdaya-saing besar dan berbudaya…”.

Sudah jamak dikenal bahwa B.J. Habibie adalah tokoh bangsa yang berhasil menunjukkan bagaimana sains dan teknologi, nasionalisme dan kebudayaan menjadi pilar kemajuan peradaban bangsa.

B.J. Habibie telah membuat Indonesia “dihargai” dan “dirujuk” oleh dunia karena kapasitas dan konsistensinya dalam menancapkan basis sains dan teknologi sebagai prinsip kemajuan dan pembangunan nasional.

B.J. Habibie juga telah mematrikan sebuah rujukan keteladanan, leadership, komitmen moral dan kepekaan yang tinggi dalam membesarkan negeri ini sebagai “Benua Maritim Indonesia” (BMI). Di rumah beliau di Patra Kuningan, hanya dengan hitungan 1-2 meter setelah kita masuk di pintu utama kediaman beliau, jika Anda cermat, Anda akan lihat bagaimana imajinasi “BMI” itu terukir kokoh-indah di lantai-marmernya yang klasik.

Bagi kita di Gorontalo, spirit B.J. Habibie amat relevan bagi dunia pendidikan karena akan menciptakan “materi” dan “proses” pembelajaran yang akan menerapkan nilai-nilai ketekunan kerja, kejujuran, imajinasi-kreatif, tradisi berpikir kritis-solutif, dengan komitmen moral dan sosial yang tinggi.

Guna memperkuat kualitas penelitian dan produk-produk pengetahuan bermutu, “spirit B.J Habibie” akan mewarnai visi kelembagaan pendidikan di Gorontalo menyangkut kapasitas dalam membangun konsepsi-teknikal yang memperkuat produktivitas, nilai tambah, etos kompetitif, pengelolaan resiko, serta prinsip daya saing dan perbaikan yang keberlanjutan.

Bagaimana di alam nyata?***

 

Penulis adalah
Bekerja di Universitas Negeri Gorontalo
Pos-el: basriamin@gmail.com

Comment