Presiden Jokowi dan Pahlawan Bangsa dari Gorontalo

Oleh:
Basri Amin
Kolumnis Gorontalo Post

 

SELAMAT datang kembali, Pak Presiden. Inilah Provinsi yang tergolong istimewa di Republik kita. Nasionalisme Gorontalo berkobar sejak awal, melalui jejaring kebangsaan Jawa dan Sulawesi. Karena itu, Gorontalo sejak tiga tahun lalu memintakan (pengakuan) Pahlawan Nasional: Dokter Pejuang Kemerdekaan, Aloei Saboe (1911-1987) dan Sastrawan besar Indonesia, H.B. Jassin (1917-2000). Keduanya di TMP Kalibata, Jakarta.

Gorontalo istimewa! Pada hari JUMAT, “23 Januari 1942”, nasionalis Gorontalo Nani Wartabone – R.M. Kusno Dhanupojo – Pendang Kalengkongan, dkk sudah memproklamirkan “Kemerdekaan Indonesia di Gorontalo”, Merah Putih sudah berkibar dan Pemerintahan Nasional sudah berdiri. Di masa itu, di Jawa masih berjuang dengan invasi Jepang tapi di Gorontalo sang “Dwi Warna – Merah Putih” sudah berkibar (Lapian, 1980).

Gorontalo konsisten melahirkan tokoh besar yang mengabdikan gagasan dan gerakan untuk Republik ini. Ketika tekanan federalisme demikian keras di Indonesia Timur (NIT), pada Konferensi Denpasar (Desember 1946), adalah Ajoeba Wartabone (HPB Gorontalo/Sulawesi Utara) yang berteriak pada tanggal 19 Desember pukul 9:00 pagi, tentang pengesahan Indonesia Raya dan bendera Merah Putih di seluruh (wilayah) Indonesia Timur (DH-OR, 1953: 478).

Jiwa juang dan etos berkarya itu terus dilanjutkan oleh H.B Jassin (sastra), B.J Habibie (teknologi), Thayeb Gobel (industri), J.A. Katili (geologi), Ciputra (bisnis), J.A Dungga (musik), Hadjarati dan Napu (politik), dan Tom Olii (keagamaan). Demikian juga, tokoh-tokoh seperti Z. Badjeber (hukum) dan Arie Pedju (arsitektur). Dan masih banyak yang lain, misalnya Ong Eng Die (keuangan), Gani Katili (olahraga), Bakri Arbie (nuklir), dst.

Di baca dari masa kini, Gorontalo adalah “Provinsi Agraris”. Daerah ini adalah wilayah agraris dengan fakta kemiskinan yang cukup akut. Terkesan “tidak banyak berubah” beberapa tahun terakhir ini. Di setiap pergantian kekuasaan, terobosan besar di tingkat perdesaan dan pertanian juga terkesan “normal-normal” saja. Kendati pertanian tetap menempati sektor utama, tetapi pergerakan subsektornya belum berubah menjadi daya-ungkit yang kokoh bagi percepatan kesejahteraan sebagian besar rakyat di Gorontalo.

Dengan angka kemiskinan di atas 15% sejak 2017, apa yang bisa diterangkan dalam percepatan pembangunan daerah ini. Petani gurem Gorontalo tetap berada di posisi 34% sejak 2013, ditambah dengan penurunan jumlah rumah tangga petani dan daya belinya yang relatif tidak beranjak. Pertumbuhan regenerasi petani tidak bangkit memadai di desa-desa. Ketika mulai terjadi pergeseran dari dominasi tanaman pangan kepada subsektor peternakan dan perkebunan, juga di sektor jasa (26% PDRB, 2013), apakah ini akan menjadi tanda penting bagi sebuah transformasi yang menjanjikan buat masa depan?

Kabupaten Gorontalo adalah contoh sementara yang menarik diberi perhatian. Jumlah rumah tangga usaha pertanian dari tahun ke tahun mengalami penurunan. Tercatat dalam SP-2013, hanya di tiga kecamatan yang signifikan perkembangan rumah tangga usaha pertaniannya: Boliyohuto, Mootilango dan Tolangohula. Kecamatan lainnya mengalami penurunan, bahkan untuk kasus Tilango mencapai penurunan 66,81 persen.

Di luar itu, “petani Gurem” jumlahnya cukup besar di Kabupaten Gorontalo, bahkan indikasinya sejak 2013 mendominasi total petani Gurem se-provinsi Gorontalo, tidak kurang dari empat puluh persen. Dalam soal produksi, Kabupaten Gorontalo sangat penting posisinya karena memberi kontribusi besar terhadap total produksi padi di Gorontalo, disusul Boalemo dan Gorontalo Utara.

Gorontalo (hanya) mempunyai lahan sawah 3%, lahan ‘bukan sawah’ 61% dan lahan ‘bukan pertanian’ seluas 36%. Begitulah yang divisualkan Sensus Pertanian (SP-2013). Di tahun yang sama, Dinas Pertanian provinsi Gorontalo mencatat luas lahan untuk usaha pertanian sebesar 762.458 hektar (2013). Sebagai perbandingan, menurut catatan Mahmud (2019), luas lahan pertanian Gorontalo di awal 2000-an adalah 463.649 hektar. Indikasi luas hutan yang terus berkurang di Gorontalo merupakan akibat dari ekspansi usaha pertanian, terutama jagung, sebagaimana tampak pada tanda-tanda penggunaan wilayah perbukitan dan dataran tinggi lainnya bahkan pada ketinggian 30%.

Menjadi provinsi agraris bukanlah tanpa persoalan. Sejak awal, harga yang jatuh-bangun, risiko lingkungan dan kejenuhan lahan menanggung “beban produksi” tanaman pangan telah terbaca di Gorontalo. Tapi, obsesi menjadi “provinsi jagung” setiap tahunnya memintakan bukti-bukti nyata, terutama karena angka-angka ekspor terus membesar. Sudah jamak diketahui, bahwa selain bungkil Kopra, pencapaian ekspor terbesar Gorontalo sampai hari-hari ini adalah Jagung.

Sejak awal, pamor jagung selalu terdepan ketika orang membicarakan martabat “pertanian” Gorontalo. Komoditas ini di-ekspor dari tahun ke tahun ke mancanegara. Seringkali bahkan dibuatkan “acara Jagung” di pelabuhan, dst. Ceritanya sederhana: produksi membesar, elite berkumpul, pejabat (pemerintah) pidato, kabar-kabar tersiar luas di media.

Lalu, apakah petani dan petanian Gorontalo (memang) bagus-bagus saja?. Banyak cara untuk menjawab pertanyaan seperti ini. Tapi satu hal yang terang: Petani terlalu jarang menjadi subjek-sumber (utama) pemberitaan. Jangankan wajahnya, suaranya saja tak pernah berbunyi. Petani kita terkesan, dari masa ke masa, tak pernah punya daulat menyuarakan diri-mereka sendiri dan mengabarkan hasil-hasil keringat-nya yang nyata sebagai marka mulia dari kehidupan bersama kita di republik agraris (?) ini.

Semoga Presiden Jokowi sempat melihat sebaran baliho di jalan-jalan dari banyak calon Gubernur, Bupati, dan Walikota di Provinsi Gorontalo. Mereka semuanya tampak hebat dan menjanjikan untuk Pilkada 2024. Entah!

Yang jelas, kemiskinan, timbunan sampah, fasilitas publik, stunting, mutu pendidikan, degradasi lingkungan, kriminalitas, keteladanan, kualitas generasi baru, dan daya saing daerah Gorontalo, masih “jalan di tempat”.

Begitulah Gorontalo, Bapak Presiden!

Negeri ini tidak butuh basa-basi…

Harapan kami, semoga sejarah yang benar tetap bisa terwujud di Republik ini. Sebab predator-predator kemajuan bangsa masih tampak di mana-mana. Negeri kita (masih) krisis orang-orang yang memuliakan Ilmu, melahirkan Pemimpin amanah, mengubah nasib rakyat yang berkekurangan, dan bersama-sama mengerjakan hari Esok yang lebih baik.

Kini generasi (baru) Gorontalo menantikan keteladanan nyata, “adab masa depan”, dan dukungan sepenuh-hati dari Negara atas cita-cita besar mereka ke masa depan. ***

Comment