Oleh:
Yusran Lapananda
Penulis adalah Penulis Buku Hukum Pengelolaan Keuangan Desa
Diakhir Rekomendasi Ombudsman No:003/RM.03.01/IX/2023 tgl 27 September 2023 ttg Maladministrasi oleh Pemkabgor terkait Pemberhentian Perangkat Desa melalui Evaluasi Kinerja dan/atau Penyesuaian SOTK Thn 2021, terdapat beberapa rumusan, yang perlu disanggah. Pertama, Ombudsman meminta Mendagri c.q. Dirjen Bina Pemerintahan Desa & Irjen Kemendagri untuk melakukan monitoring, evaluasi, dan/atau pembinaan terhadap terlapor secara langsung dan/atau melalui Pemprov Gorontalo untuk melaksanakan rekomendasi, “mengubah & menyempurnakan Perbup 19 Thn 2021, Perbup 20 Thn 2021 & Keputusan Bupati Gorontalo No:563/17/VIII/2021”. Kedua, Ombudsman menyampaikan ketentuan Pasal 351 UU 23 Thn 2014 ttg Pemda, Kepala Daerah wajib melaksanakan rekomendasi ombudsman sebagai tindak lanjut pengaduan masyarakat & Kepala Daerah yang tidak melaksanakan rekomendasi ombudsman diberikan sanksi berupa pembinaan khusus pendalaman bidang pemerintahan yang dilaksanakan oleh Kemendagri.
Tak lengkap, ombudsman tidak mencantumkan ketentuan jangka waktu atas tindaklanjut pelaksanaan rekomendasi & ketentuan waktu monitoring, evaluasi, dan/atau pembinaan terhadap terlapor oleh Mendagri c.q. Dirjen Bina Pemerintahan Desa & Irjen Kemendagri dan/atau Pemprov Gorontalo. Padahal ketetentuan jangka waktu ini adalah ketentuan yang tak bisa diabaikan dalam akhir rekomendasi yakni penjatuhan sanksi.
WAKTU TINDAK LANJUT REKOMENDASI
Dalam Pasal 38 UU 37 Thn 2008 ttg Ombudsman RI dinyatakan, terlapor & atasan terlapor wajib melaksanakan rekomendasi ombudsman. Atasan terlapor wajib menyampaikan laporan kepada ombudsman ttg pelaksanaan rekomendasi yang telah dilakukannya disertai hasil pemeriksaannya dalam waktu paling lambat 60 hari terhitung sejak tanggal diterimanya rekomendasi.
Dari ketentuan ini, maka permintaan ombudsman dalam rekomendasi soal perangkat desa kepada terlapor maupun atasan terlapor telah berakhir, telah melewati paling lambat 60 hari terhitung sejak tanggal ditandatanganinya rekomendasi oleh Ketua Ombudsman. Jika dihitung dari ditandatanganinya rekomendasi tgl 27 September 2023 ditambah waktu 14 hari jangka waktu penyampaian rekomendasi kepada pelapor, terlapor & atasan terlapor hingga saat ini telah melewati batas waktu yang ditetapkan.
SANKSI BAGI KEPALA DAERAH
Menurut UU 37 Thn 2008, terlapor & atasan terlapor yang tidak melaksanakan atau hanya melaksanakan sebagian rekomendasi dalam tempo paling lama 60 hari dikenai sanksi administrasi sesuai dengan ketentuan PPU. Sanksi dimaksud sebagaiamana sanksi yang diatur pada Pasal 351 UU 23 Thn 2014 ttg Pemda, “Kepala daerah wajib melaksanakan rekomendasi ombudsman sebagai tindak lanjut pengaduan masyarakat. Kepala daerah yang tidak melaksanakan rekomendasi ombudsman diberikan sanksi berupa pembinaan khusus pendalaman bidang pemerintahan yang dilaksanakan oleh Kemendagri.
Penjatuhan sanksi administrasi ini dilakukan setelah melewati jangka waktu 60 hari terhitung sejak tanggal ditandatanganinya rekomendasi oleh Ketua Ombudsman. Jika dihitung dari tanggal ditandatanganinya rekomendasi oleh Ketua Ombudsman tgl 27 September 2023 maka jangka waktu 60 hari telah jatuh tempo, dan saat ini sudah pada tahapan publikasi (media cetak maupun elektronik) atasan terlapor yang tidak melaksanakan rekomendasi & menyampaikan laporan kepada DPR & Presiden. sekaligus sudah pada tahapan proses penjatuhan sanksi oleh Kemendagri.
PROSES PENJATUHAN SANKSI
Proses penjatuhan sanksi administrasi terhadap Kepala Daerah yang tidak melaksanakan rekomendasi ombudsman telah diatur dalam PP 12 Thn 2017 ttg Pembinaan & Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. Kepala daerah, wakil kepala daerah, anggota DPRD, & daerah yang melakukan pelanggaran administratif dalam penyelenggaraan Pemerintahan Daerah dijatuhi sanksi administratif. Pelanggaran administratif dimaksud antara lain kepala daerah tidak melaksanakan rekomendasi ombudsman.
Dalam Pasal 46 PP 12 Thn 2017 diterangkan, Kcpala daerah yang melakukan pelanggaran administratif tidak melaksanakan rekomendasi dijatuhi sanksi administratif berupa mengikuti program pembinaan khusus pendalaman bidang pemerintahan. Sanksi berupa mengikuti program pembinaan khusus pendalaman bidang pemerintahan dijatuhkan oleh Mendagri kepada Kepala Daerah. Penjatuhan sanksi didasarkan atas hasil pemeriksaan secara teliti, objektif, & didukung dengan data, informasi, dan/ atau dokumen lainnya yang berkaitan dengan dugaan pelangggaran administratif.
Menteri atau gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat sesuai dengan kewenangannya menugaskan APIP untuk melakukan pemeriksaan dugaan pelanggaran administratif. Proses administratif penjatuhan sanksi dilakukan oleh: (a). Irjen Kemnedagri, untuk sanksi yang dijatuhkan oleh Menteri; dan (b). perangkat gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat, untuk sanksi yang dijatuhkan oleh gubernur sebagai wakil Pemcrintah Pusat.
Untuk pemeriksaan atas penjatuhan sanksi dilakukan oleh: (a). APIP Kementerian melakukan pemeriksaan terhadap gubernur dan/atau wakil gubernur & mcnyampaikan hasil pemeriksaannya kepada Menteri; (b). perangkat gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat melakukan pemeriksaan terhadap bupati/walikota dan/atau wakil bupati/wakil walikota & menyampaikan hasil pemeriksaannya kepada gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat; dan (c). pemeriksaan dilakukan paling lama 45 hari kerja.
APIP berwenang: (a). melakukan klarifikasi & validasi terhadap laporan atau pengaduan; (b). mengumpulkan fakta, data, dan/atau keterangan yang diperlukan; (c). memeriksa kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah yang diduga melakukan pelanggaran administratif serta pihak terkait lainnya; (d). meminta keterangan lebih lanjut dari pihak yang melaporkan atau mengadukan; dan (e). memberikan rekomendasi terkait tindak lanjut hasil pemeriksaan. Dalam pelaksanaan kewenangan memberikan rekomendasi terkait tindak lanjut hasil pemeriksaan, APIP dapat berkoordinasi dengan K/L pemerintah nonkementerian terkait & dapat dibantu oleh pakar atau tenaga ahli sesuai dengan kompetensi yang dibutuhkan.
Dari ketentuan ini, maka tidak serta merta rekomendasi ombudsman akan ditindaklanjuti atau akan diikuti oleh APIP atau Gubernur untuk menjatuhkan sanksi kepada Pemkabgor. APIP atau Gubernur akan memeriksa & menguji secara teliti, objektif, & didukung dengan data, informasi, dan/ atau dokumen lainnya yang berkaitan dengan “tuduhan” ombudsman. Pemkabgor berkesempatan untuk menyanggah & membantah semua “tuduhan” ombudsman baik kecacatan formil maupun materiil yang dirumuskan dalam rekomendasi ombudsman.
Dari proses ini, untuk menjatuhkan sanksi administrasi kepada Pemkanbgor tak semudah membalikkan telapak tangan. Pemkabgor harus mengajukan argumentasi hukum atas kecacatan formil seperti siapakah terlapor, identitas terlapor, keterangan terlapor, keterangan ahli & Kemendagri dan lainnya, maupun kecacatan materiil atas perumusan rekomendasi ombudsman terutama soal maladministrasi (penyalahgunaan wewenang), namun lebih pada pengujian atas Perbup 19 Thn 2021 ttg Peraturan Pelaksanaan Perda 10 Thn 2016 ttg Perangkat Desa & Perbup 20 Thn 2021 ttg SOTK Pemdes serta menguji Keputusan Bupati Gorontalo No:563/17/VIII/2021 ttg Penetapan & Klasifikasi Jenis Desa.
SANKSI PEMBINAAN KHUSUS PENDALAMAN BIDANG PEMERINTAHAN
Sanksi administrasi berupa pembinaan khusus pendalaman bidang pemerintahan dilaksanakan dalam bentuk: (a). orientasi pendalaman bidang tugas terhadap kegiatan yang sejenis; (b). pembelajaran dari keberhasilan bidang yang sama di tempat lain; dan/ atau (c). melaksanakan kegiatan program pembinaan khusus lainnya sesuai ketentuan PPU. Program pembinaan khusus dilaksanakan paling singkat 1 bulan & paling lama 3 bulan.
Secara umum, sanksi administrasi berupa pembinaan khusus pendalaman bidang pemerintahan bukanlah sanksi, namun lebih pada pendidikan & pelatihan & menjadi kesempatan bagi terlapor untuk menyampaikan berbagai kecacatan formil maupun meteriil atas rumusan-rumusan dalam rekomendasi ombudsman.
SIAPAKAH TERLAPOR?
Dari awal hingga akhir rumusan rekomendasi mengandung kecacatan materiil maupun formil, tak terkecuali soal siapakah terlapor & atasan terlapor. Pada rekomendasi, tertera terlapor adalah Bupati Gorontalo, namun dalam struktur Para Pihak disebutkan Terlapor adalah Pemkabgor c.q. Bupati Gorontalo c,q, Sekda selaku Ketua Tim Evaluasi Perangkat Desa Thn 2021 c.q. Kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat & Desa Kabgor.
Sebelumnya perlu disoroti, penggunaan c.q. dalam rumusan para pihak (Terlapor). Secara umum c.q. sebagai akronim dari Casu Quo. Frasa C.q. adalah salah satu warisan Belanda yang berarti antara lain: “dalam hal ini”, “lebih spesifik lagi”, “lebih detail”. C.q. umumnya digunakan pada suatu hubungan yang bersifat hierarki. C.q. digunakan untuk menerangkan dan/atau menunjukkan pihak secara lebih detail, spesifik atau khusus yang dituju atau bertanggungjawab.
Dalam tata naskah dinas Indonesia c.q. tak dikenal lagi, baik dalam Peraturan Kepala Arsip Nasional RI No 2 Thn 2014 ttg Pedoman Tata Naskah Dinas maupun dalam Peraturan Ombudsman No 53 Thn 2021 ttg Tata Naskah di Lingkungan Ombudsman RI.
Jika c.q. yang tertera dalam rumusan para pihak atau terlapor, maka terlapornya adalah Kadis Pemberdayaan Masyarakat & Desa Kabgor (sebelumnya), bukan Bupati Gorontalo. Sehingga tidak tepat & terjadi kekeliruan & kecacatan formil jika dalam rekomendasi ombudsman menyebutkan terlapor adalah Bupati Gorontalo.(*)









Discussion about this post