Bagian 3
Oleh Anang S. Otoluwa
BEKERJA sebagai perawat di kapal, menghadirkan tantangan tersendiri bagi Yusuf. Pertama, karena peralatan yang terbatas. Di bagian 2 kemarin, pembaca sudah mendapat informasi betapa terbatasnya alat ketika Yusuf menolong persalinan. Meskipun di kapal SN 76 terdapat ruangan dengan tulisan “Hospital”, pembaca jangan membayangkan ini seperti sebuah RS mini dengan peralatan lengkap. Pelayanan kesehatan di kapal memang didesain untuk penanganan kasus ringan dan jangka pendek untuk mereka yang tiba-tiba sakit dalam perjalanan atau kecelakaan di kapal. Harapannya setelah mendapat pelayanan darurat, si sakit dapat diturunkan di pelabuhan terdekat untuk mendapatkan pelayanan selanjutnya.
Tapi yang harus diantisipasi, kini makin banyak yang menggunakan kapal ini ketika merujuk pasien.Suatu saat, Yusuf merawat pasien TB yang dirujuk. Di tengah pelayaran, pasien mengalami sesak. Tidak masalah, jika sesaknya hanya sesaat. Tetapi karena sesaknya tidak hilang-hilang, Yusuf mulai kebingungan. Disaat kritis, persediaan oksigen juga menipis. Sementara pelabuhan tujuan masih jauh. Bagaimana cara mengatasi ini? Mengurangi laju pemberian oksigen jelas tidak mungkin karena pasti akan memperberat sesak. Jalan satu-satunya tinggal ikut membantu mengipasi pasien. Tapi ini tidak bisa sepanjang pelayaran kan? Syukur, pasien itu bisa bertahan hidup sampai pelabuhan tujuan, walaupun tentu tersiksa karena sesak.
Kedua, Yusuf satu-satunya tenaga kesehatan di kapal itu. Dalam sebuah pelayaran dia bertanggung jawab pada kurang lebih 500-600 orang penumpang. Tidak ada teman diskusi, tidak ada teman berbagi. Tidak ada teman bertanya, tidak ada teman untuk dimintai pertolongan. Tidak ada urusan kesehatan yang bisa dilimpahkan kepada orang lain. Contohnya, kejadian di pagi itu, di saat saya ikut berlayar dengannya. Saat asyik-asyiknya kami mengobrol, tiba-tiba ada yang mengetuk pintu. Seorang ABK permisi menyela: ”Pak, ada penumpang yang pusing, minta ditensi”. Yusuf pun langsung meninggalkan kami. Begitulah kata Yusuf, karena tidak ada teman jaga seperti di puskesmas atau RS, maka semua pasien dilayani sendiri.
Mengamati tantangan pekerjaan ini, sayapun jadi berpikir, berat juga pekerjaan Yusuf ini. Karenanya, saat hendak turun dari kapal, iseng saya bertanya kepadanya: “Masih betah bekerja di kapal?” “Sejauh ini saya enjoy Pak”, jawab Yusuf mantap.
Entah karena penghormatannya kepada saya, atau karena dia memang lagi punya urusan di darat, maka saat tiba di pelabuhan Luwuk, Yusuf turun mengantarkan saya. Semula saya pikir hanya sampai di tangga kapal, untuk menghindarkan saya dari desakan penumpang yang berebutan turun. Tapi ternyata Yusuf ikut sampai di darat. Sepertinya dia ingin memberikan layanan paripurna kepada saya. Gayanya seperti ajudan yang sigap mengawal atasannya.
Ketika kami mendekati pintu keluar, tiba-tiba seorang laki-laki muda bergegas mendekat. “Pak dokter, pak dokter”, begitu sapanya sambil menyalami Yusuf. Melihat adegan itu saya senyum-senyum (hehe, lo tapu le Yusuf). Yusuf yang kelihatan kikuk buru-buru menjelaskan: ”Disini, saya memang biasa dipanggil dokter pak”. Hati saya berbangga; ”Yusuf telah mendapatkan pengakuan sebagai tenaga kesehatan paripurna. Kemarin dia dipercaya jadi bidan, hari ini diakui sebagai dokter”. Selamat bekerja Yusuf. Teruslah menginspirasi dan memberi arti. (*)










Discussion about this post