Bagian 2
Oleh Anang S. Otoluwa
KAMIS, 11 Januari lalu, saya menerima dua lembar foto dari Yusuf. “Ada yang melahirkan di atas kapal Pak Kadis”, bunyi pengantarnya begitu. Foto itu menunjukkan dirinya sedang membersihkan bayi dengan tali plasenta yang belum dipotong. Dalam hati saya: ”Nah, ini yang saya tunggu-tunggu”. Kisah ibu melahirkan di kapal, ditolong sendirian oleh perawat (bukan bidan) tentu akan menjadi kisah menarik. Kenapa ini saya tunggu? Karena setelah menulis bagian pertama, saya seperti belum mendapatkan bahan untuk tulisan kedua. Saya belum mendengar cerita “dramatis” untuk melengkapi suka duka Yusuf. Karenanya, kiriman foto tadi seolah menjadi pelecut semangat saya untuk segera menulis kisah bagian kedua.
Kisah ini terjadi saat dalam pelayaran Ternate-Tikong. Ini adalah trip terpanjang yang dilayari KM SN 76. Kata Yusuf, ini adalah jalur maut, karena di musim kencang, ombaknya bisa mencapai 4 meter. Disaat kapal sudah setengah jalan, Yusuf dipanggil karena ada seorang ibu mengeluh sakit perut. Setelah memeriksa, Yusuf langsung tahu, ini bukan sakit perut biasa. Ini sakit perut bagian bawah karena ingin melahirkan. Maka, Yusuf pun langsung beraksi. Berbekal peralatan seadanya, dia pedemenolong persalinan.
Ingin tahu bagaimana cara dia melakukan persalinan itu, saya bertanya:“Saat bayi sudah lahir, bagaimana caranya mengeluarkan cairan dari hidung dan mulut bayi? Apakah tersedia selang penyedot?” Tidak ada. Hanya dibersihkan pake tisu. Tali pusat dipotong dengan apa? Alhamdulillah tersedia gunting. Tapi problemnya, klem penjepit tali pusat tidak ada. Untung Yusuf terpikir untuk mengikatnya dengan benang (cut gut). Apakah bayinya langsung menangis? Tidak. Tapi dengan sabar, dia memberi rangsangan dipunggung bayi sampai bayi menangis. Dengan segala keterbatasan itu, Yusuf berhasil melaksanakan tugas dengan selamat.Alhamdulillah, bukan cuma ibu dan bayi selamat. Yusuf juga selamat.Yang dia tidak bisa jawab saat saya tanya soal berat badan dan panjang bayi. “Tidak ada timbangan dan pengukur panjang bayi di kapal dok”, katanya jujur.
Yang kemudian membuat saya bertanya-tanya, kenapa ibu sampai melahirkan di kapal? Apakah ibu tidak diberi tahu taksiran tanggal persalinannya? Rupanya ini ada cerita tersendiri. Yusuf bilang, sebenarnya si ibu sudah tahu. Bahkan tujuannya berlayar itu, justeru karena ingin melahirkan. Kalau begitu, apakah si ibu sengaja ingin melahirkan di kapal? Supaya viral? Oo, tidak juga begitu.
Lanjut Yusuf, ibu ini sengaja berangkat dari Tikong ke Ternate untuk melahirkan di faskes yang lebih lengkap. Maklum, ini kehamilan berisiko tinggi. Ini kehamilan ke enam, dan usia ibu sudah 39 tahun. Oleh petugas di Tikong, si ibu disarankan untuk bersalin di Ternate. Akan tetapi, setelah sekian lama di sana, sang bayi tak kunjung lahir-lahir. Karena kuatir terjadi kehamilan lewat waktu, maka dokter menyarankan di operasi. Si ibu sudah bulat hati, tetapi muncul masalah baru. Saat ke Ternate, si ibu datang sendirian. Sang suami tetap di Tikong karena tak menyangka istrinya bakal dioperasi. Karena tak siap dioperasi tanpa didampingi suami, si ibu memutuskan kembali ke Tikong.
Nah, disaat perjalanan pulang itulah, entah karena guncangan ombak, atau karena memang sudah tiba saat yang tepat, terjadilan kontraksi rahim. Si ibu ingin mengedan dan lahirlah sang bayi laki-laki. Takdir Tuhan menghendaki persalinannya bukan ditolong oleh dokter ahli, tetapi oleh perawat yang tiba-tiba berubah peran menjadi bidan. Seperti kata pepatah, tak ada rotan akar pun jadi. Tak ada bidan, Yusuf pun jadi.
Yang kini mengganggu pikiran saya, apa nama yang diberikan ibu untuk anakmya itu? Saya hanya bisa menduga, jangan-jangan diberi nama Yusuf ? Seperti Bryce Adam, (penyanyi dari Banggai yang sempat terkenal) karena persalinannya di tolong oleh almarhumah dr. Bryce.
Siapapun namanya, tidak masalah. Tapi seandainya saya bisa mengusul, saya ingin memberinya nama “Samudera”. Disamping untuk mengingatkan kalau dia dilahirkan di tengah lautan, nama ini juga mengandung harapan agak kelak sang anak memiliki wawasan dan hati yang luas.
Namun, baik dugaan maupun usulan saya itu, keduanya meleset. Sebab, sehari setelah kelahirannya, Yusuf mengirimi saya copyakte kelahiran sementara. Sebuah nama yang tak kalah gagah terukir disana, “ Hafidz Putra Bahari”.
(Cerita tentang pengalaman Yusuf menolong persalinan di kapal,serta bagaimana perasaannya dipanggil dokter dilanjutkan pada bagian 3 tulisan ini)










Discussion about this post