Bagian 1
Oleh Anang S. Otoluwa
Baru kali ini kami saling berjumpa muka. Yusuf, perawat yang bekerja di Tol Laut atau Sabuk Nusantara(SN 76) itusudah kami tugaskan sejak September 2023. Namun, untuk berjumpa langsung dengannya tidak mudah. Maklum, dia bekerja sehari-hari di atas laut sementara saya lebih banyak di daratan. Sampai akhirnya pada 5 Januari kemarin, saya berkesempatan berlayar ke Luwuk dengan SN 76. Itulah kesempatan saya bisa berjumpa sekaligus melihat Yusuf melaksanakan tugasnya seharihari.
Karena itu, disela-sela waktunya bekerja, Yusuf antusias bercerita tentang rasa syukurnya kepada saya. Setelah sempat gundah karenaterhenti bekerja sebagai tenaga abdi di Puskesmas Atinggola, kini dia bisa bernapas lega. Saat itu yang ada di benaknya adalah bagaimana bisa mendapatkan pekerjaan secepatnya. Ya, karena diapunya tanggung jawab menafkahi istri dan satu anaknya. Bak gayung bersambut, di saat yang sama Kantor Kesyahbandaran dan Otoritas Pelabuhan (KSOP) Gorontalo membuka kesempatan bekerja kepada perawat di kapal SN 76. Bersama Kadis Perhubungan Provinsi Gorontalo, Kepala KSOP menemui saya di kantor. Disepakatilah kerjasama itu, Dinas Kesehatan yang merekrut tenaga perawat, honornya ditanggung pihak perusahaan yang mengelola SN 76.
Yusuf tak serta merta diterima, karena pelamarnya ternyata lebih dari satu. Harus dilakukan tes dan wawancara. Yusuf sempat was-was juga. Syukurlah, nasib baik berpihak kepadanya. Dia terpilih untuk bekerja memberikan pelayanan kesehatan di kapal dengan rute bolak balik Gorontalo-Luwuk-Mansalean-Bobong- Tikong, dan Ternate itu. Di akhir tahun 2023 kemarin, Yusuf kembali sempat was-was. Dia kuatir, jangan-jangan pekerjaan yang dia mulai nikmati itu dialihkan kepada orang lain. Namun sekali lagi katanya: “Alhamdulillah, nama saya yang tercantum di SK yang berlaku 2 Januari sd Desember 2024 itu”
Bekerja sebagai tenaga kesehatan di atas kapal bukanlah impian buat kebanyakan perawat. Sebagian besar perawat tentu lebih senang bekerja di RS atau Puskesmas karena sudah pasti selalu dekat dengan keluarga. “Siksaan” itulah yang dialami Yusuf disaat-saat awal dia bekerja. Waktu kerjanya sudah pasti lebih banyak di atas laut. Dalam sebulan, paling lama hanya 3 hari yang benar-benar off. Meskipun libur, Yusuf tak otomatis bisa ketemu istri dan anaknya karena mereka masih tinggal di Atinggola. Apalagi waktu liburnya tidak pasti-pasti, karena jadwal kapal kerap berubah di tengah pelayaran.
Namun, setelah sekian bulan bekerja, Yusuf kini makin enjoy. Jujur katanya, dia kini lebih senang “on” di atas laut daripada “off” di darat. Di atas kapal dia bisa mendapatkan tambahan penghasilan. Berceritalah Yusuf tentang koperasi karyawan yang mengelola kafetaria di kapal. Saya baru tahu kalau kafe itu merupakan usaha bersama para ABK. Mereka mengumpulkan modal, menjalankannya bersama-sama, dan setiap 3 trip bolak-balik, mereka membagi sisa hasil usaha. Penghasilannya lumayan.Inilah yang antara lain membuat Yusuf lebih senang di laut. “Kalau di darat yang terjadi malah sebaliknya. Bukan pemasukan, tapi pengeluaran yang terjadi”, kata Yusuf berseri-seri.
Mungkin karena rasa syukurnya itu, selama pelayaran ini saya mendapat perlakuan istimewa. Disaat orang lain berjubel antrian di kafetaria, saya mendapat undangan makan spesial di ruang makan ABK. Demikian pula esok paginya. Setelah sarapan, saya diajak tour mengelilingi kapal. Saya bisa masuk ke ruang kemudi, berkenalan dengan Kapten dan petinggikapal lainnya. Saya dipelihatkan layar monitor yang menunjukkan posisi kapal, kecepatan, serta gambaran cuaca selama pelayaran.
Saat itulah saya sadar, kalau tujuan sudah dekat. Sudah terlihat daratan Luwuk yang cantik sehingga saya pun berhenti mengetik.
(Cerita tentang pengalaman Yusuf menolong persalinan di kapal,serta bagaimana perasaannya dipanggildokter bisa dibaca pada bagian 2 dan 3 tulisan ini).









Discussion about this post