Oleh:
Yusran Lapananda
Semakin dalam menelaah Rekomendasi Ombudsman RI No:003/RM.03.01/IX/2023 tgl 27 September 2023 ttg Maladministrasi oleh Pemkabgor terkait Pemberhentian Perangkat Desa melalui Evaluasi Kinerja dan/atau Penyesuaian SOTK Thn 2021, semakin “terkuak” berbagai “maladministrasi” yang dilakukan ombudsman dalam perumusan rekomendasinya, mulai dari identitas pelapor, bukti surat, keterangan para pihak hingga perumusan pendapat ombudsman.
Argumentasi atas identitas pelapor, bukti surat, keterangan para pihak hingga pendapat ombudsman dirumuskan dengan argumentasi hukum yang lemah & kontradiktif, hingga terjebak kedalam rumusan “menguji peraturan perundang-undangan (PPU) atau Perbup” dari pada tujuan perumusan rekomendasi maladministrasi yakni “penyalahgunaan wewenang”.
Bukti surat pihak Pemkabgor diabaikan. Keterangan pihak Pemkabgor tak berdasar, dibuat tanpa BAP (berita acara pemeriksaan) & “error in persona”, tanpa surat penugasan. Bukti surat yang dikeluarkan oleh lembaga resmi semisal Kemendagri yang sah & tanpa cacat hukum ditandatangani Dirjen Bina Pemerintahan Desa atas nama Mendagri “diabaikan” ombudsman melalui keterangan “stafnya” Dirjen Bina Pemerintahan Desa pada Subdirektorat Fasiltasi Administrasi Pemerintahan Desa Kemendagri.
Keterangan ahli maupun pihak terkait dibuat sepihak dengan pola satu arah mengikuti “pembenaran” & “kemauan” ombudsman dalam menguji Perbup saja, bukan menguji maladministrasi dalam bentuk penyalahgunaan wewenang (perbuatan melampaui wewenang & melawan hukum). Pendapat ombudsman dibuat sedemikian dengan “mencopot” argumentasi ahli untuk memperkuat keinginan ombudsman untuk menjadikan soal perangkat desa menjadi produk ombudsman berupa rekomendasi, padahal relevansi antara argumentasi ahli berbeda pemaknaan dengan pemaknaan pendapat ombudsman.
“Kekacauan” terbaca disana-sini sehingga berakibat pada kecacatan hukum atas rekomendasi ombudsman. Jika demikian, rekomendasi ombudsman yang bersifat final & mengikat berpotensi untuk “digugat” oleh pihak terkait melalui intervensi atau “disomasi” hingga digugat melalui pelanggaran kode etik (vide Pasal 10 UU 37 Thn 2022 ttg Ombudsman RI).
IDENTITAS PELAPOR
Dari Rekomendasi Ombudsman RI No:003/RM.03.01/IX/2023 tgl 27 September 2023, terdapat 8 perangkat desa sebagai pelapor. Pelapor terdiri dari 2 Sekdes, 4 Kadus, 1 Kaur Keuangan, 1 Kaur Tata Usaha. Dari 8 pelapor, 7 diberhentikan & 1 dimutasi.
Khusus 1 Sekdes yang dimutasi menjadi Kepala Dusun keberatan dengan alasan mutasi tidak sesuai ketentuan Pasal 42 ayat (2) Perbup No 19 Thn 2021 ttg Peraturan Pelaksanaan Perda No 10 Thn 2016 ttg Perangkat Desa. Rekomendasi ombudsman soal 1 Sekdes menjadi Kadus dijadikan sebagai bagian dari pemberhentian perangkat desa sangatlah keliru & mengandung kecacatan hukum, sebab Sekdes tidak diberhentikan dari perangkat desa namun dimutasi menjadi Kaur. Kewenangan melakukan mutasi perangkat desa adalah kewenangan penuh Kepala Desa bukan Pemkabgor sebagai terlapor.
Substansi laporan pelapor berkenaan dengan pelaksanaan evaluasi kinerja perangkat desa & penyesuaian SOTK tidak sesuai mekanisme & prosedur, namun substansi rumusan rekomendasi ombudsman, Pemkabgor telah melakukan maladministrasi berupa penyalahgunaan wewenang & melawan hukum. Maladmnistrasinya adalah penyalahgunaan wewenang namun perumusan hasil pemeriksaan, pendapat & kesimpulan adalah menguji Perbup 19 Thn 2021 & Perbup 20 Thn 2021 (penjelasan atas Menguji Perbup vs Maladministrasi (Penyalahgunaan Wewewenang) dibahas tersendiri).
Demikian pula, dalam rekomendasi ombudsman, pelapor yang keberatan hanyalah 8 perangkat desa namun dalam rumusan rekomendasi ombudsman “meninjau ulang atau mengembalikan 176 perangkat desa yang diberhentikan”. Rumusan ini menjadi rumusan yang cacat hukum sebab menjadikan obyek 168 perangkat desa yang tidak keberatan untuk diberhentikan, malahan dijadikan sebagai obyek perangkat desa untuk dikembalikan sebagai perangkat desa, sehingga rekomendasi ini cacat hukum akibat “kelebihan para pihak atau keliru menarik orang” & “error in persona”.
Sesungguhnya dalam pemberhetian 176 perangkat desa tersebut terbagi kedalam hasil evaluasi kinerja perangkat desa & penyesuaian SOTK. Selain itu, terdapat beberapa perangkat desa mengundurkan diri, sudah memasuki masa pensiun & terdapat beberapa perangkat desa diberhentikan akibat terdapat hubungan darah atau keluarga (ayah, ibu, istri, suami, anak atau saudara) dengan Kepala Desa. Sehingga pemberhentian perangkat desa tersebut tak melawan hukum karena perangkat desa tidak lagi memenuhi syarat sebagai perangkat desa sebagaimana diatur dalam Pasal 16 ayat (3) huruf i Perbup 19 Thn 2021.
Selain itu, dalam rekomendasi ombudsman nama atau identitas para pelapor dirahasiakan. Hal ini menurut ombudsman sesuai ketentuan Pasal 24 ayat (2) UU 37 Thn 2008 ttg Ombudsman RI “Dalam keadaan tertentu, nama dan identitas Pelapor dapat dirahasiakan”. Ketentuan Pasal 24 ayat (2) ini hanya bertalian dengan laporan pelapor saja, sedangkan nama atau identitas para pelapor dirahasiakan pada perumusan LAHP (laporan akhir hasil pemeriksaan) diatur dalam Pasal 25 ayat (3) Peraturan Ombudsman RI 48 Thn 2020 ttg Perubahan atas Peraturan Ombudsman RI 26 Thn 2017 ttg Tata Cara Penerimaan, Pemeriksaan, & Penyelesaian Laporan. Sejatinya, identitas pelapor dalam Rekomendasi Ombudsman sudah dicantumkan nama pelapor sebab rekomendasi adalah produk akhir dari ombudsman & tak ada ketentuan yang menjadi pijakan untuk merahasiakannya.
BUKTI SURAT
Kebjakan Pemkabgor melakukan evaluasi kinerja perangkat desa & penyesuaian SOTK telah dilakukan menurut PPU dalam hal ini Perbup 19 Thn 2021 & Perbup 20 Thn 2021. Tak ada maladministrasi dalam pelaksanaannya sebagaimana “dituduhkan” dalam rekomendasi ombudsman. Dalam rekomendasi ombudsman Pemkabgor “dituduh” melakukan maladmnistrasi dalam bentuk penyalahgunaan wewenang (perbuatan melampaui wewenang, melawan hukum dan/atau penggunaan wewenang untuk tujuan wewenang tersebut dalam proses pelayanan publik).
Rumusan rekomendasi ombudsman “lupa”, Perbup adalah PPU juga, yang sederajat dengan Permendagri. Perbup dengan Permendagri tidak saling membawahi, tidak bertingkat (hierarki), tidak saling bertentangan, namun saling melengkapi (vide Pasal 8 ayat (1) UU 12 Thn 2011 ttg Pembentukan PPU). Kebjakan Pemkabgor melakukan evaluasi kinerja perangkat desa & penyesuaian SOTK didasarkan pada Perbup 19 Thn 2021 & Perbup 20 Thn 2021. Dalam kedua Perbup ini telah mengatur wewenang & aturan hukum mengenai evaluasi kinerja perangkat desa & penyesuian SOTK. Jika demikian apa yang “dituduhkan” dalam rekomendasi ombudsman Pemkabgor telah menyalahgunakan wewenang & melanggara hukum tak berdasar. Jika didalami keseluruhan rekomendasi ombudsman ternyata lebih pada menguji kedua Perbup dengan Permendagri, UU & PP ttg Desa.
Kedudukan Perbup 19 Thn 2021 & Perbup 20 Thn 2021 khususnya pengaturan atas evaluasi kinerja perangkat desa & penyesuaian SOTK telah lolos “uji” fasilitasi dari Gubernur Gorontalo melalui Surat Sekda Nomor : 180/Hukum/2291/2021 tgl 30 Juli 2021 perihal Hasil Fasilitasi Rancangan Perkada, & telah “diuji” oleh Mendagri melalui Surat Dirjen Bina Pemerintahan Desa Nomor : 140/2261/BPD tgl 9 Mei 2022 hal Tanggapan atas Permohonan Tanggapan. Selain itu, kedua Perbup ini telah dirumuskan berdasarkan UU 12 Thn 2011 ttg Pembentukan PPU & Permendagri 80 Thn 2015 ttg Pembentukan Produk Hukum Daerah beserta perubahannya.
Bukti-bukti surat Pemkabgor “diabaikan” dalam perumusan rekomendasi ombudsman, oleh karena ombudsman “gassfull”, memilih & mengutamakan pengujian kedua Perbup (Perbup 19 Thn 2021 & Perbup 20 Thn 2021), & lebih pada menjadikan kebijakan evaluasi kinerja perangkat desa & penyesuaian SOTK menjadi produk ombudsman, sehingga dalam rumusan akhir rekomendasi ombudsman mengandung “kekacauan” & kecacatan hukum.
Surat Mendagri melalui Surat Dirjen Bina Pemerintahan Desa Nomor : 140/2261/BPD tgl 9 Mei 2022 hal Tanggapan atas Permohonan Tanggapan, benar-benar “diabaikan & tak dilirik” serta tak digunakan dalam perumusan rekomendasi ombudsman. Surat mendagri ini, adalah jawaban atas Surat Kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat & Desa Kabgor No : 140/D-PMD/156/IV/2022 tgl 22 April 2022 Hal Permohonan Tanggapan.
Substansi Surat Dirjen Bina Pemerintahan Desa Nomor : 140/2261/BPD terdapat pada angka 4 huruf a, yang dinyatakan: Sehubungan dengan hal tersebut, maka dalam rangka menindaklanjuti: (a). kewenangan Kepala Desa mengangkat perangkat desa & Pemda melakukan pembinaan & pengawasan penyelenggaraan Pemdes; (b). Persyaratan khusus sebagai perangkat desa ditetapkan dengan Perda & salah satu alasan perangkat desa diberhentikan karena tidak lagi memenuhi persyaratan sebagai perangkat desa; (c). Pengangkatan & pemberhentian perangkat desa ditetapkan dalam Perda selambat-lambatnya 1 tahun peraturan ini ditetapkan, maka dari ketentuan ini Pemkabgor telah menetapkan Perda 10 Thn 2016 ttg Perangkat Desa & sebagai pelaksanaan atas Perda ini Pemkabgor telah menetapkan Perbup 19 Thn 2021 & Perbup 20 Thn 2021.
Sehingga pada angka 4 huruf a Surat Dirjen Bina Pemerintahan Desa, Kemendagri berkesimpulan: “Pemkabgor melalui Perbup 19 Thn 2021 yang merupakan peraturan pelaksanaan Perda 10 Thn 2016 khususnya Pasal 62 (evaluasi kinerja perangkat desa) tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan (Permendagri, UU & PP)”.
Kesimpulan Kemendagri melalui Surat Dirjen Bina Pemerintahan Desa secara jelas & terang menderang menyatakan evaluasi kinerja perangkat desa yang dirumuskan dalam Perbup 19 Thnn 2021 tidak bertentangan dengan ketentuan PPU, tidak melawan hukum, bukan merupakan maladministrasi, bukan penyalahgunaan wewenang & bukan pula perbuatan melampaui wewenang.(*)
Penulis adalah
Penulis Buku Hukum Pengelolaan Keuangan Desa










Discussion about this post