Oleh :
Herwin Mopangga
PERTUMBUHAN kemiskinan dan ketimpangan adalah isu paling menarik untuk perekonomian Gorontalo. Semenjak dimekarkan dari Propinsi Sulawesi Utara dan menjadi daerah otonomi di tahun 2000, Provinsi Gorontalo selalu mencatat pertumbuhan ekonomi diatas Nasional hingga sebelum dihantam pandemi COVID-19. Bahkan di saat puncak krisis yang diakibatkan oleh lockdown, daya tahan ekonomi regional ditunjukkan oleh kinerja pertumbuhan yang tetap positif atau tetap lebih baik dibandingkan angka pertumbuhan ekonomi Sulawesi Maluku dan Papua (Sulampua), Kawasan Timur Indonesi (KTI) dan Nasional. Sumber-sumber pertumbuhan berasal dari komoditas dan produk pertanian peternakan perikanan yang menjadi basis bagi berputarnya sektor riil dan finansial.
Pertumbuhan ekonomi triwulanan Provinsi Gorontalo selama tahun 2019 selalu diatas Nasional. Ketika ekonomi Nasional telah terkontraksi hingga -2,03% di triwulan kedua dan tiga tahun 2020, ternyata perlambatan ekonomi Gorontalo masih bertahan di level positif yaitu 1,21%.
Berbeda dengan “prestasi” di aspek daya tahan (resiliency), perekonomian Gorontalo bermasalah pada aspek pemulihan (recovery) yang lebih lambat dibandingkan tingkat Kawasan dan Nasional. Disaat perekonomian nasional sudah berlari kencang di level 5% sepanjang tahun 2022, pertumbuhan ekonomi Gorontalo masih berkisar 3,19 hingga 4,65%.
Pada triwulan I dan II tahun 2023, perekonomian Gorontalo tumbuh di angka 4,23 dan 4,25 persen (yoy), masih dibawah capaian pertumbuhan ekonomi nasional di posisi 5,04 dan 5,11 persen. Perlambatan pemulihan ekonomi ini turut dipengaruhi oleh daya serap anggaran dan realisasi belanja pemerintah (government expenditure). Beberapa kendala yang dihadapi antara lain dikarenakan adanya perubahan jadwal pelaksanaan kegiatan yang terlambat dan pelaksanaan lelang yang terlambat dikarenakan adanya penambahan pagu untuk belanja modal di awal triwulan III tahun 2023. Setali tiga uang dengan lambannya pemulihan ekonomi adalah proses transformasi struktural yang mandeg.
Dominasi sektor primer pertanian kehutanan perikanan sangat kuat yakni mencapai 38% terhadap pembentukan PDRB regional sepanjang lebih 1 dekade terakhir. Sektor konstruksi serta sektor perdagangan dan reparasi menyusul pada angka 11%. Administrasi pemerintahan, pertahanan dan sosial wajib di angka 7%. Sektor transportasi dan pergudangan pada angka 6% kemudian sektor industri pengolahan, jasa pendidikan serta jasa kesehatan dan kegiatan sosial masing-masing 4%.
Perkembangan usaha mikro kecil menengah skala rumah tangga menunjukkan bahwa sesungguhnya ada inovasi di tingkat pengusaha tetapi harus diakui masih relatif minimnya dukungan kebijakan, penciptaan ekosistem industri, aspek tata kelola dan manajerial, lambannya alih teknologi, serta sokongan permodalan dari multi stakeholder dari skema kemitraan pemerintah dan swasta (public private partnership).
Pengeluaran konsumsi rumah tangga berperan krusial dalam perekonomian. Hal ini mencerminkan produktivitas dan daya belanja rumah tangga yang akan memutar roda perekonomian. Selanjutnya dari sisi pengeluaran, PDRB didominasi oleh konsumsi rumah tangga mendominasi, disusul Pembentukan Modal Tetap Bruto, Belanja Pemerintah dan Ekspor. Hemat kami, komposisi ini sudah on the track, tetapi akumulasi modal yang berujung investasi (PMTB) harus lebih didorong untuk mengganti peran Government expenditure.
Nilai Tukar Petani (NTP) adalah nisbah indeks harga yang diterima petani (It) terhadap indeks harga yang dibayar petani (Ib). Ini mencerminkan kemampuan atau daya beli petani. Daya tukar (terms of trade) produk pertanian dengan barang dan jasa yang dikonsumsi maupun untuk biaya produksi. Naiknya NTP bermakna meningkatnya kesejahteraan petani, sebaliknya turunnya NTP berarti menurunnya kesejahteraan yang berimplikasi kepada tingkat kemiskinan dan ketimpangan pendapatan. Trend NTP tahun 2023 meningkat dimana posisi Gorontalo lebih baik dibanding Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara dan Sulawesi Selatan. NTP tanaman pangan lebih tinggi dibanding NTP hortikultura dan perkebunan. Menguatnya kesejahteraan petani seiring naiknya NTP ke level 108,27 pada September tahun 2023. Pelemahan atau penguatan Nilai Tukar Petani jelas berdampak langsung kepada tingkat kemiskinan regional mengingat lebih 55 persen penduduk Provinsi Gorontalo terserap (labor absorption) pada sektor pertanian.
Berdasarkan data BPS, penduduk miskin bulan Maret 2023 sebesar 15,15 persen. Angka kemiskinan ini tetap menempatkan Gorontalo pada posisi tertinggi kelima Nasional setelah Papua, Papua Barat, Nusa Tenggara Timur dan Maluku. Gini Rasio Provinsi Gorontalo bulan September 2022 sebesar 0,423; naik dari 0,418 di bulan Maret 2022 sebesar 0,418. Dengan angka ini Gini Rasio masih menempati posisi tertinggi kedua Nasional dibawah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta sebesar 0,459. Dilema pertumbuhan ekonomi dan kemiskinan di Prov Gorontalo ini relevan dengan thesis Francois Bourguignon (2007), seorang ekonom World Bank yang mengungkapkan bahwa “Selama ketimpangan tinggi atau besarnya Gini Rasio, maka pertumbuhan ekonomi tidak berdampak langsung menurunkan kemiskinan. Sebaliknya yang terjadi adalah pertumbuhan yang memiskinkan (The Poverty-Growth-Inequality Triangle)
Akhirnya, melalui catatan kecil ini saya mengemukakan simpulan dan saran sebagai berikut: Pertama, perekonomian Provinsi Gorontalo tidak dapat dipungkiri mengandalkan sumber daya alam (sektor primer) dari pertanian peternakan dan perikanan. Ini adalah anugerah (taken for granted) yang harus dapat di eksplorasi dan dikelola secara optimal dan bijaksana. Upaya hilirisasi pertanian harus lebih berwujud nyata di lapangan, dan mengedepankan integrasi dan interkoneksinya dengan pengembangan pariwisata dan ekonomi kreatif. Ketiga sector ini ditambah utilisasi teknologi informasi (digitalized) harus menjadi mesin pemulihan ekonomi regional. Kedua, pengambil kebijakan terutama pemerintah bersama stakeholder perlu meninjau kembali seperti apa komoditas unggulan daerah. Review ini dapat berbentuk dari kajian dasar (baseline research), sampai dengan pola dan pengembangan teknologi dan industrialisasi dalam mendukung komoditas unggulan menjadi produk-produk yang mampu bersaing di pasar internasional. Hal ini urgen dan mendesak dilakukan mengingat cita-cita dan semangat mengembangkan industrialisasi jagung untuk pangan, pakan dan bio-fuel di Gorontalo ternyata belum berjalan seperti yang diharapkan. Pada saat yang sama terdapat komoditas alternatif seperti peternakan (sapi potong dan sarang walet) perikanan tangkap (tuna, kakap dan kerapu) perikanan budidaya (udang vaname) yang sangat potensial dan profitable. Cangkang kemiri dan wood-pellet juga sangat menjanjikan sebagai energi alternatif. Semua komoditas dan produk yang akan dihasilkan telah ditunggu oleh calon IKN Nusantara yang tepat berada di depan jazirah utara Sulawesi dengan peluang permintaan keatas bahan pangan dan bio-energi.
Ketiga, industri besar dengan ciri padat modal memiliki multiplier effect lebih tinggi dibanding UMKM. Perlu pembenahan dari sisi penyediaan lahan, mekanisme perizinan, kualitas dan kapasitas tenaga kerja lokal serta infrastruktur listrik, telekomunikasi dan perbankan (global banking). Selain itu, tidak sedikit calon investor yang datang melihat langsung kemudian memutuskan mundur karena faktor minimnya kapasitas pasokan bahan mentah yang diperlukan yakni dalam jumlah besar dan berkesinambungan (economy of scale and continuity of production). Tanggung jawab pemulihan ekonomi ini harus dipikul bersama oleh semua pihak (Pentahelix synergi). Hal ini selain memperkuat keterpaduan dan kolaborasi para pihak juga untuk menyambung kembali rantai yang hilang (missing link) antara basis-basis ekonomi rakyat dengan program pemerintah dan kontribusi Dunia Usaha Dunia Industri (DUDI) terhadap perekonomian daerah. (*)
Penulis adalah
Dosen Fakultas Ekonomi UNG,
Local Expert Kementerian Keuangan
Comment