Oleh :
Basri Amin
Parner di Voice-of-HaleHepu
NEGERI kita (masih) ditempatkan sebagai negara yang “belum stabil”. Begitulah kesimpulan dari laporan Fragile State Index 2023. Uniknya karena posisi yang kurang lebih sama kita tempati pada tahun 2015. Di periode itu, di antara 178 negara, kita berada di baris pertengahan, tepatnya di urutan ke-88.Posisi inimenegaskan bahwa Indonesia berada pada kategori “peringatan” (warning). Di Asia Tenggara, Vietnam dicatat sebagai negara yang mengalami percepatan perubahan yang signifikan.
Saat ini, kita akan segera sibuk dengan Pemilu 2024. Apakah Pemilu yang sudah kita bangun dari masa ke masa dengan susah-payah nan mahal akan menempa kita menjadi Negeri yang kuat bersaing dan mengerjakan kesejahteraan bagi warganya?
Yang banyak terjadi, “generasi terus menerus” masih bertengger dan menguat di mana-mana. Ruang kuasa dan sumberdaya publik direbut, disiasati, dan digenggam dari periode ke periode. Sementara, lapisan “generasi penerus” masih banyak yang patah atau yang dipatahkan di tengah jalan. Kendati dalam faktanya tidak sedikit di antara mereka yang kapasitasnya dipaksa-paksa oleh keadaan.
Secara emosi, tentu saja kita harus optimis dan berusaha menolak dari status “negara gagal”. Arah perubahan negeri kita makin membaik, meski tata-kelolanya masih lemah di banyak posisi. Keteladanan etis juga masih jatuh-bangun dalam banyak kesempatan.
Penguasaan sumberdaya oleh sekelompok orang dan elitisme yang terbiasa memaksa negara untuk melayani kepentingan jangka pendek, adalah faktor dominan. Di dasar semua itu, adalah lemahnya mentalitas dan regulasi. Dan yang memperburuk adalah komitmen yang kempes. Kepemihakan kepada perbaikan sistemik selalu hadir dan menjadi pembahasan luas, tapi daya kerja kita seringkali jatuh-bangun karena kapasitas organisasi kita di sektor pengambilan keputusan (masih) maju-mundur.
Jawaban terhadap persoalan ini bisa digerakkan di berbagai tingkatan. Dalam formula sederhana, saya sering mengusulkan pendekatan “2-S” (Skala & Skenario). Bahwa pada setiap keadaan, skala masalah dan skop perbaikannya harus ditentukan. Dengan dasar itu, skenario pun mulai kita rumuskan. Rumus sederhana seperti ini memang tidak bisa jalan kalau niat dan nalar perbaikan terlalu terbatas, sehingga yang lebih banyak tampil di permukaan adalah sejumlah permainan dan percekcokan dalam hal-hal sepele dan rutin.
Sejak beberapa tahun lalu, kita mestinya sudah seharusnya beranjak lebih progresif. Indikator yang dominan dirujuk dalam menentukan “Negara Rentan” adalah tekanan demografis, arus pengungsi, kekerasan kelompok, perpindahan kaum intelektual, pembangunan tidak merata, kemiskinan dan penurunan ekonomi, legitimasi negara, pelayanan publik, HAM dan hukum, aparat keamanan, elite yang terbelah dan intervensi asing (Kompas, 5 Maret 2016: hal.4).
Indonesia kita tidak terlalu gagap dalam semua ukuran itu. Pergolakan sejarah yang berat sudah kita lewati. Kita sudah kembali memegang teguh prinsip demokrasi dan negara hukum. Kekuatan masyarakat sipil pun mengalami perluasan peran yang luar biasa. Sudah tentu, dalam hal mentalitas elite, pemerataan pembangunan dan kemiskinan serta pelayanan publik, kita masih mengindap masalah serius. Demikian juga dengan ekstraksi sumberdaya alam kita.
Sistem kontrol, keteladanan, dan tata kelola, adalah kata kunci. Daftar panjang peraturan sudah semakin panjang, demikian juga dengan tumpukan anggaran negara untuk “pembangunan” pun sudah digelontorkan setiap tahunnya. Sistem administrasi dan akuntabilitas kita pun makin tertata, bahkan sudah transparan. Media publik pun makin memihak kepada (kepentingan) publik. Pembahasan tentang protes publik, hak-hak masyarakat dan aspirasi bersama di setiap sektor dan wilayah pun sudah terpapar luas di media. Itulah yang kini kita saksikan setiap harinya. Belum lagi jaringan media sosial yang tak pernah tidur memediasi percakapan kita.
Kepekaan yang disertai dengan konsistensi adalah kebutuhan mendesak. Banyak persoalan akut yang kini melilit sebenarnya diawali oleh hilangnya kepekaan (aparat) negara. Karena terus dibiarkan, negara pun kemudian dirasakan tidak hadir dan semakin alpa mengurusi nasib rakyatnya. Banyak konflik sumberdaya dan perlawanan masyarakat terjadi karena ketidakadilan ekonomi. Demikian juga dengan “rasa aman” di ruang-ruang publik. Semuanya berpangkal dari lemahnya kepekaan. Kita masih terbiasa mengabaikan hal-hal kecil, padahal akan menjadi “benih” bagi masalah besar di kemudian hari.
Isu keamanan dan relasi antara negara dan warga makin mendesak untuk kita jadikan prinsip pembangunan berkelanjutan. Rasa aman adalah sesuatu yang terlalu mahal kita abaikan. Tak bisa kita pungkiri, kini mobilitas penduduk, arus barang dan modal, jaringan bisnis hiburan, sirkulasi obat-obatan dan makanan, pola komunikasi dan transportasi, dengan sangat nyata hadir bersamaan di tengah-tengah kita. Tak semuanya mampu kita kontrol dan pahami dengan mudah. Kita tak punya daya tahan yang cukup untuk menentukan arahnya. Kehidupan sosial kita yang kini terlalu “mengalir” membutuhkan “pegangan” yang memadai, dengan adaptasi tinggi.
Negara tidak mungkin menyiapkan semua hal, selain dukungan organisasi yang memperkuat pelayanan, kebijakan yang mengatur sumberdaya bersama serta kekuatan teknis dalam perkara keamanan dan pertahanan. Sehingga, yang kita butuhkan adalah “kematangan” kemasyarakatan yang mampu mengatur kepentingannya sendiri dan menyerap berbagai kekuatan kreatif yang memediasi pertumbuhannya secara sehat. Dengan begitu maka partisipasi masyarakat merupakan kekuatan jangka panjang. Jika tidak, yang akan terbentuk adalah “ketergantungan” (berlebihan) masyarakat kepada sektor negara. Bukti akan hal ini bisa kita lihat di sektor bisnis, industri dan ekonomi kreatif lainnya. Di sektor ini, otonomi dan basis pengetahuan demikian penting.
Organisasi yang tumbuh di masyarakat kita tampaknya masih sibuk mengurus dirinya sendiri. Daya tawar mereka dalam menggerakkan produktivitas sepertinya macet berkali-kali karena ketergantungan berkepanjangan kepada negara. Sudah mendesak kita pikirkan agar sebuah percakapan intensif diwujudkan di tingkat lokal/regional dalam memastikan daya dukung organisasi-organisasi (masyarakat) yang menopang produktivitas daerah. Dalam jangka pendek, negara memang sangat dibutuhkan untuk “mendongkrak” pertumbuhannya, tapi sekali mereka menemukan jalannya ke masa depan, yang kita butuhkan adalah “mekanisme transisi” yang mengokohkan peran organisasi –-baik organisasi profesional maupun organisasi fungsional—di daerah-daerah.
Negara tidak mungkin mengerjakan semua hal. Inilah dasar mengapa organisasi di luar negara butuh mengambil peran yang lebih besar. Hampir semua inovasi di negara-negara maju justru dikerjakan oleh sektor (profesional) di masyarakat. Mereka adalah kalangan pengusaha, ilmuan, rekayasaa industri, praktisi teknologi informasi, ahli finansial dan marketing, bahkan kalangan senimam dan sastrawan, dst. Mereka adalah para “pencipta” dan pembuat terobosan yang membuat sebuah negara lebih stabil, terakui, dan beroleh tempat dalam peta dunia. Skenario kemajuan dan perbaikan bisa dicapai kalau negara mengajak dan melibatkan mereka di ruangnya yang tepat dan pantas. Karena jangan sampai mereka diperlakukan sebagai “tukang” dan hanya dihargai kerena membuat pentas kekuasaan terlihat ramai dan hebat.**
Penulis adalah bekerja di Universitas Negeri Gorontalo
Anggota Indonesia Social Justice Network (ISJN)
E-mail: basriamin@gmail.com










Discussion about this post