Oleh :
Dr. Herwin Mopangga, S.E., M.Si.
Pangan adalah hajat hidup masyarakat dan nasib perekonomian. Pemerintah dan segenap pemangku kepentingan senantiasa berupaya mencari dan menerapkan formulasi kebijakan yang tepat pada ketersediaan pasokan, tata niaga dan tingkat harga dari hulu sampai ke hilir. Fluktuasi harga pangan ekstrim khususnya komoditas tidak tahan lama (volatile foods) memiliki dampak signifikan terhadap tingkat inflasi umum. Ketahanan pangan sebagaimana diamanatkan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 disandarkan pada tiga dimensi meliputi ketersediaan pangan, keterjangkauan atau akses terhadap pangan, dan pemanfaatan pangan. Fokus utama mencapai ketahanan pangan berbasis pada peningkatan ketersediaan pangan lokal, penurunan tingkat kerawanan pangan, stabilisasi rantai pasokan produksi, stabilisasi tingkat harga, dan pengawasan mutu pangan.
Badan Pusat Statistik melaporkan bahwa tingkat inflasi di Gorontalo bulan Oktober 2023 sebesar 2,16% (year on year), triwulanan mencapai 1,00% (month to month), dan inflasi sepanjang tahun 1,53% (year to date). Makanan, minuman dan tembakau menjadi kontributor terbesar mencapai 1,17% (yoy). Hal ini bermakna bahwa terjadi kenaikan harga komoditas pangan sebesar 1,17% dibandingkan bulan Oktober tahun 2022. Secara relatif, capaian inflasi daerah ini lebih rendah terkendali dibandingkan inflasi nasional pada Oktober 2023 masing-masing 2,56% (yoy); 0,17% (mtm) dan 1,80% (ytd).
Provinsi Gorontalo termasuk sentra produksi pangan beras dan cabai rawit. Khusus bulan Oktober 2023, andil inflasi beras mencapai 0,71% (yoy) dan cabai rawit 0,21% (yoy). Tentu saja banyak faktor mempengaruhi inflasi komoditas ini, diantaranya ketidakseimbangan antara jumlah pasokan dan permintaan konsumen yang terjadi secara berkala atas implikasi dari budidaya produksi yang kurang efektif. Faktor lainnya berupa gagal panen dan perubahan iklim, skala ekonomi yang tidak efisien, serta inefisiensi struktur pasar, dan rantai distribusi pasokan yang relatif panjang. Dalam upaya mengendalikan inflasi pangan ini maka perlu dilakukan identifikasi dan analisis neraca pangan, struktur pasar dan mekanisme rantai pasokan beras, serta determinan harga pasar beras, khususnya di Provinsi Gorontalo.
Menyiasati persoalan inflasi pangan, Bank Indonesia Kantor Perwakilan Provinsi Gorontalo melakukan riset tentang Rantai Pasokan, Neraca Pangan dan Determinan Harga Komoditas berkolaborasi dengan Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) Provinsi Gorontalo. Deputi Kepala BI Gorontalo, Ridwan Nurjamal mengatakan bahwa penelitian terkait transmisi harga dan determinan pembentukan harga komoditas melalui identifikasi neraca pangan, rantai pasokan, dan struktur pasar komoditas beras sangat penting sebagai bahan acuan untuk evaluasi kebijakan pengendalian harga. Hal ini mengingat rantai pasokan meliputi keseluruhan interaksi dari produsen, pengolah, distributor hingga konsumen yang mencakup aliran distribusi barang atau jasa, informasi, maupun transaksi keuangan.
Hais Dama, Ketua ISEI Gorontalo sekaligus Ketua Peneliti mengemukakan bahwa instabilitas harga komoditas pangan berdampak terhadap inflasi makanan dan trend inflasi umum. Inflasi komoditas pangan pada banyak daerah di Indonesia secara spesifik dipengaruhi oleh lemahnya proses produksi dan distribusi produk pertanian yang menyebabkan terjadinya fluktuasi harga secara berkala. Saat bersamaan, rantai distribusi pasokan sektor pertanian relatif sangat panjang menyebabkan tingkat harga pada konsumen akhir cenderung sangat tinggi dan volatile.
Disamping itu semakin panjang rantai pasokan suatu komoditas, maka pembentukan tingkat harga akan semakin tinggi, sebab margin pemasaran pada tiap aktor dalam rantai pasokan semakin bertambah sehingga harga ditingkat konsumen akhir mahal.
Herwin Mopangga, ekonom Universitas Negeri Gorontalo selaku anggota peneliti menyebut bahwa neraca pangan beras Gorontalo surplus setiap bulannya. Sentra produksi beras tersebar hampir merata di semua kabupaten yakni di Limboto dan Limboto Barat, Mananggu, Duhiadaa dan Taluditi, serta Kwandang, Suwawa dan Kabila. Tingkat konsumsi tertinggi di Kota Gorontalo dan Kabupaten Gorontalo. Neraca perdagangan beras defisit dalam arti impor lebih besar dibanding ekspor. Impor tertinggi berasal dari Sulawesi Tengah dan Sulawesi Selatan. Selanjutnya, neraca pangan dan neraca perdagangan cabai rawit surplus. Sentra produksi juga tersebar hampir merata di semua kabupaten mulai dari Bongomeme, Paguyaman dan Wonosari, Randangan, Sumalata hingga Bonepantai.
Dengan kualitas sangat baik, permintaan cabai rawit Gorontalo sangat besar dari Sulawesi Utara dan Maluku Utara. Sering terjadinya kelangkaan yang memicu mahalnya cabai rawit disebabkan pengiriman jumlah besar dari pedagang Pontolo dan Isimu kedua daerah tersebut.
Penelitian juga menyimpulkan bahwa tingkat defisit atau surplus komoditas tidak berkorelasi langsung terhadap inflasi, namun secara tidak langsung dapat berimplikasi pada inflasi melalui peranan mekanisme determinasi harga pasar. Rantai pasokan beras lebih panjang dibanding cabai rawit, dimana gilingan padi terlibat dalam proses distribusi hingga konsumen akhir.
Selanjutnya pengumpul besar (pengepul) memperoleh margin laba terbesar dibandingkan pedagang ecer, gilingan maupun petani dalam alur rantai pasok beras maupun cabai rawit.
Fenomena lainnya adalah petani memiliki ketergantungan modal kerja dengan gilingan dalam praktek yang melemahkan posisi petani dalam mempengaruhi tingkat harga. Struktur pasar beras tergolong oligopoli lemah atau low concentrated, karena empat pedagang terbesar menguasai lebih 30% pasar beras lokal. Sementara struktur pasar cabai rawit tergolong oligopoli kuat atau high concentrated, sebab empat pedagang terbesar menguasai sekitar 78% pasar cabai rawit.
Penelitian ini merekomendasikan perlunya upaya untuk memitigasi gangguan jangka pendek dampak El Nino terhadap ketersediaan pasokan dan keterjangkauan harga. Sinergi penanganan masalah struktural pengendalian inflasi seperti produktivitas, kelancaran distribusi, integrasi data, penguatan kelembagaan dan SDM petani serta pengadaan fasilitas check point.
Tidak kalah pentingya yaitu penguatan peran Satgas pangan untuk mencegah tumbuh dan membesarnya mafia pangan. Perlunya keberadaan Pasar Induk sebagai pengumpul dan pengumpan (feeder) komoditas sekaligus stabilisasi pasokan. Intensifikasi dan ekstensifikasi Kredit Usaha Rakyat Mikro, Super Mikro dan Ultra Mikro untuk memotong panjangnya mata rantai pasokan beras dan cabai rawit. Pembentukan BUMD Pangan dengan tupoksi masalah ketersediaan, stabilisasi harga dan ekspor komoditas. Dua rekomendasi yang disebut terakhir diharapkan akan mendukung modal usaha petani sehingga secara bertahap mampu melepaskan keterikatan dari praktek ijon atau tengkulak. Terakhir, pembangunan industri pengolahan cabai rawit untuk diversifikasi produk dan value added akan meningkatkan pemanfaatan lokal dibandingkan ekspor.
Limitasi penelitian ini yaitu pertama, data impor dan ekspor komoditas pangan sering tidak bisa dideteksi atau tidak tercatat (unrecorded). Data neraca pangan juga cenderung tidak bisa menggambarkan kondisi surplus atau defisit secara akurat dan spesifik sebab hanya dihitung dengan basis perhitungan pada periode tertentu. Kedua, akurasi data tergantung pada derivasi perhitungan statistik, yang artinya sangat tergantung pada pengukuran nilai penawaran (supply) dan konsumsi (utilization) komoditas pangan yang sangat sensitif pada pola dan cara penginputan data. Jika data yang diinput tidak akurat, maka dapat menghasilkan data yang cenderung bias dalam menggambarkan kondisi surplus dan defisit pangan. (*)
Penulis adalah Ketua Bidang Fiskal dan
Moneter ISEI Cabang Gorontalo











Discussion about this post