Oleh :
Basri Amin
Kolumnis Gorontalo Post
PADA hari Ahad, 16 Juli 2023, Gorontalo kembali mengenang tiga tahun “kepergian” salah satu putra terbaiknya: David Bobihoe Akib. Beliau beroleh gelar adat (Gara’i) Ta Ilo Bubaya Loloopo.
Sebulan setelah tahap pertama PEMILU 1955 terselenggara baik, sembari menungggu tahap kedua pemilihan Anggota Konstituante, lahirlah David Bobihoe Akib pada 30 Oktober 1955.
KITA tak perlu setuju dengan semua hal dan dan memikirkan pandangan setiap orang dan kelompok tentang David Bobihoe Akib (1955-2020). Satu hal yang jelas, bahwa David Bobihoe memantulkan fakta kepemimpinan dan ketokohan yang utama tentang “sedikit orang baik di Republik yang luas” ini.
Demikianlah majalah ternama Indonesia rujukan internasional, Tempo, pada edisi khusus akhir tahunnya (22-28 Desember 2008), ketika memaknai “10 Tokoh 2008: Mereka Bekerja dengan Hati Menggerakkan Daerah”. Kiprah kerja dan misi kepemimpinan David Bobihoe diulas habis beberapa halaman. Kata kuncinya adalah “bekerja dengan hati” dan “menggerakkan daerah”.
David dipelajari objektif tidak kurang tiga bulan oleh tim riset majalah Tempo dan Dewan Juri terpilih. Di masa itu, pada Maret 2007, sudah tercatat 61 kepala daerah yang terpidana korupsi dan 67 orang lainnya sedang terperiksa sepanjang 2004-2006. Sangat tidak mudah menemukan bupati dan wali kota yang otentik dan inovatif bekerja –-dari 472 kabupaten dan kota– yang benar-benar (terbukti) hebat “menggerakkan daerah”nya.
Komunikasi yang intens, bukan yang instan! Itulah antara lain karakter “10 Tokoh 2008” majalah Tempo yang menempatkan David Bobihoe di antara yang terpilih. Dua penciri lainnya, 10 Tokoh itu menempatkan kejujuran dan keteladanan di urutan pertama praktik kepemimpinannya. Mereka sabar “mendengar rakyat” dan “bekerja mencapai” idealisme hebat mereka dengan komunikasi yang intens, bukan komunikasi yang instan, berpola propaganda, dan manipulatif.
Hari-hari ini di Gorontalo, siapa-siapakah yang sebenar-benarnya “menggerakkan daerah” dan yang sungguh-sungguh “bekerja dengan hati” di Gorontalo?? Dua pertanyaan pokok tersebut dengan mudah (sebenarnya!) bisa kita jawab. Dan, tak perlu menunggu Pemilu ‘yang berulang’ untuk menemukan jawabannya yang tegas.
David Bobihoe Akib tak hanya dikenang luas oleh Gorontalo, Manado dan Jakarta. Di Universitas Harvard, Amerika Serikat, pun mencatat namanya sebagai “pemimpin-pembelajar” di negeri ini.
David lahir dari rahim “seorang Guru SD”. Beliau Guru di SDN I Heledulaa, Kota Utara, (alm) Sientje Bobihoe. Ayah David bernama Abubakar Akib (alm), seorang pegawai di Kantor Agama Kota Gorontalo. Sang ayah meninggalkan si kecil David di usia yang masih sangat belia (empat tahun). Maka tumbuhlah dia sebagai “anak Ibu”. Tapi tak lama setelah itu David kecil kemudian lebih dominan diasuh oleh kakek-neneknya, Baso Bobihoe – Kasina Rahmola. Keduanya dipanggil dan ditempatkannya sebagai Pama dan Mama oleh David kecil…, sedangkan kepada mama-nya sendiri lebih sering ia memanggilnya dengan “Ci”, tante, (Niode, dkk, 2008:7-9).
Di tangan Pak David, “pemerintahan berwibawa” dan benar-benar cerdas-memihak terselenggara dan berjiwa. Janji-janji kepada publik dilunasi dengan sungguh. Sejati dan setia dalam Mo’odelo! Itu semua dia kerjakan sejak jabatan (karier) awalnya tahun 1978, ketika menduduki Kabag Humas Kabupaten Gorontalo, dengan Bupati Kasmat Lahay.
Sejak di masa muda, David terkesan selalu rapi, rajin, disiplin, komunikatif, bersahaja, dan cerdas. Menjelang pendirian Provinsi Gorontalo, David berperan besar di masa-masa transisi politik-pemerintahan Sulawesi Utara – Gorontalo. Dimasa itu Prof. H.A. Nusi (alm) berposisi sebagai Wakil Gubernur Sulut dan melimpahkan semua perkara taktis dan komunikasi antar dua daerah ini kepada David Bobihoe. Surat Rekomendasi “pembentukan Provinsi Gorontalo” dari Gubernur E.E. Mangindaan diurus-tuntas oleh David di hari-hari yang kritikal di Manado.
***
Ketika beliau wafat 16 Juli 2020, di media ini sudah penulis utarakan, bahwa: sebagai Ta’uwa Lo Lahua, David (Ka Pino) sukses “melintasi” banyak pencapaian di banyak arena pengabdian. Ia mampu melayani dan menyapa dengan respek kepada banyak kalangan dan kelompok. Ia terbiasa “melibatkan” sejumlah orang dan mampu menuntaskan agenda mendasar dengan konsisten, tapi disertai dengan “kerincian” kerja yang tertib-terkontrol.
Tak berlebihan menyatakan, David Bobihoe telah melahirkan “generasi birokrat” Gorontalo yang peka-kerja di lapangan tapi kreatif-etis di ruang-ruang jabatan dan penugasan, tetapi kokoh pendirian dalam bercita-cita.
Di pemerintahan, David terbiasa memastikan keadaan lapangan, menyelami lubuk-terdalam dari situasi yang ada/berkembang dan berkomunikasi dengan getaran tertentu. Itulah sebagian karakter utama David Bobihoe (1955-2020).
Di hadapan David, nyaris “semua orang” adalah tokoh dan orang penting. Setiap orang dipandangnya menurut kekuatan (terbaik)nya masing-masing. Ia tak pernah lelah mengajak dan menantang (partisipasi) semua pihak.
Prestasi David, dalam kerier birokrasinya, juga sebagai dosen, dan apalagi sebagai Bupati Gorontalo (2005-2015) sudah abadi dicatat: keunggulan pribadinya, visi besarnya yang gesit memajukan daerah dan wawasan kebudayaannya yang luas.
Di beberapa momen yang hangat bersama Pak David dan Ibu Rahmijati Jahja di bulan Mei, Juni, dan Juli 2020, saya melihat betapa tingginya energi diskursif beliau terhadap pemajuan generasi dan masa depan Gorontalo.
Sekian bulan persiapan dan penjurian Sayembara Esai 2020 untuk siswa-siswa SMU/SMK/MA se-Gorontalo oleh Rahmijati Center, peran Pak David sangat aktif memberi aspirasi, harapan dan penghargaan tinggi kepada generasi unggul Gorontalo.
Kepada para finalis esai, Pak David bahkan memanggil mereka sebagai “generasi heyyybattt”. Bersama sang istri terkasih, ibu Rahmijati Jahja (Anggota DPD R.I), di banyak kesempatan –-sekalipun beliau mungkin tak begitu sadari–, tapi pasangan 40 tahun lebih ini begitu tersaksikan kita semua: mesra yang elegan, hangat dalam kata, sentuhan dan gestur, dan saling-support yang nyata.
Pasangan David – Rahmijati ini begitu peduli kepada anak-anak, kreativitas kaum muda, empati kepada pendidik, petugas kesehatan, aparat bawah, tokoh-tokoh adat/agama, juga kepada kalangan orang tua, aktivis dan pejabat karier.
Warisan terpenting Pak David adalah visi dan konsistensi kerjanya menyentuh dan mewadahi cita-cita “generasi unggul” Gorontalo dan penciptaan pemerintahan yang berwibawa, inovatif, dan berketeladanan. Birokrat muda beroleh ruang di pemerintahannya; politisi muda yang produktif “dilayani” di ruang-ruang debat-publik. Kritisme masyarakat diolah sedemikian rupa dalam bahasa “berbagi peran” dan tanggung jawab bersama. Bagi kalangan terdidik, mereka disapa pak David dengan “bahasa gagasan dan kajian”.
Di masanya, tak terhitung jumlah kegiatan per-buku-an, seminar, diskusi, riset, dan dialog-dialog pendidikan atau keguruan yang didukung serius, konsisten, dan tuntas oleh Pak David. Media nasional berdatangan melihat (kemajuan) kabupaten Gorontalo. Perhatian internasional di bidang pendidikan, juga mekar-produktif di masa David Bobihoe. Guru-guru terbaik dari Amerika datang mengajar dan tinggal di Limboto, bahkan tinggal di rumah pribadinya.
Tak terhitung lencana, sertifikat, dan piagam Prestasi yang membanggakan. Deretan jumlahnya tak jadi soal, tapi etos juang, komitmen dan keteladanan yang konsistenlah yang utama.
Di dalam rumah beliau, bingkai tertinggi yang terpasang adalah wajah Habib Idrus bin Salim Al Djufri (Guru Tua). Insya Allah itu menjadi tanda bahwa Pak David juga lurus-tuntas “berguru” kepada orang Sholeh dan cahaya di negeri ini dan dengan itulah cahaya kerja-kerja kebajikan akan terus memancar.
Di satu waktu, saya membawa tamu ahli Indonesia dari Australia menemui beliau. Hampir dua jam kita membahas kemiskinan, perubahan cuaca, keterbatasan pemerintah dan ketimpangan. Pak David “bebas bicara”, karena ia sangat tahu bahwa tradisi basa-basi tak begitu berguna dan meyakinkan kalangan profesional.
David selalu berusaha efektif: dalam sapaan, dalam kekesalan, dan dalam (memberi) bantuan dan dukungan kepada siapa pun. Itu sudah dikisahkan begitu banyak orang, entah di bandara, di kantor, di rumah pribadi dan dinas, di rumah sakit, di tempat acara, atau melalui media massa, dst.
Pak David, walau kini fisikmu tak lagi bersama kami, tapi “SUARA”mu akan abadi dan selalu kami hayati: Gorontalo butuh Generasi “heyybattt!” —seperti dalam kata-katamu tiga tahun lalu di Limboto di hadapan generasi baru Gorontalo.***









Discussion about this post