Oleh:
Arifasno Napu
Salam Gizi, (jawabannya): Sehat Melalui Makanan
Tiliaya bukan puding (pudding) Gorontalo, dan ini adalah bukti bahwa di Gorontalo penghormatan, penghargaan, pengindahan, pelestarian dan pengembangan budaya sebagai karya dan karsa para leluhur belum dilakukan secara berjenjang, terstruktur, massif dan berkesinambungan? Gorontalo berfalsafah “Adat bersendikan syara, syara bersendidikan kitabullah”, namun sejauh mana keilmiahan falsafahnya teraktualisasi dalam dunia akademis, birokrasi, apalagi di masyarakat yang selalu masih terskenario dan dibenturkan dengan bahasa bid’ah bahkan daianggap sebagai kesyirikan?
Tiliaya adalah makanan tradisional/khas daerah Gorontalo yang terbuat dari bahan-bahan makanan lokal berupa telur (ayam kampung, telur itik dan ayam ras), santan, gula aren dan ditambah dengan bumbu diantaranya kayu manis atau daun pandan, atau cengkeh, atau pala dengan proses memasaknya ditim atau dikukus. Tentunya, dengan menggunakan bahan yang halal dan baik (alami, beragam, bergizi, berimbang, aman dan menyehatkan) dan proses memasak yang hanya menggunakan panasnya air atau uap air bermanfaat untuk mempertahankan kandungan gizi tiliaya dan memberi dampak kesehatan bagi yang mengkonsumsinya.
Di kota-kota dan di desa-desa, konsumsi tiliaya umumnya hanya ada pada prosesi-prosesi sakral seperti haul atau doa untuk para arwah yang telah meninggal (mengaruwa), pada saat sahur di Bulan Ramadhan. Tetapi akhir-akhir ini diketahui bahwa tiliaya menjadi makanan untuk meningkatkan stamina seseorang, mengatasi atau mencegah gizi buruk/stunting, anemia remaja, anemia ibu hamil, makanan yang baik ibu menyusui termasuk untuk para olahragawan. Untuk itu, tidak sedikit para stakeholders yang terkait, masih menyenangi produk luar daerah bahkan berbahan import, yang dianjurkan penggunaannya guna mengatasi masalah gizi.
Untuk membuat tiliaya dibutuhkan gula aren 250 gram, telur 300 gram (untuk telur ayam kampung 8 butir, bebek 5 butir dan ayam ras 5 butir) dan santan 200 ml dengan bumbu daun pandan atau kayu manis atau pala atau cenkeh.

Cara membuatnya yakni gula aren dihaluskan, kemudian dikocok dengan telur hingga berbuih dan mengembang. Tuang santan sedikit demi sedikir ke dalam adonan sambil terus dikocok hingga adonan bercampur rata. Kemudian adonan disaring, dituangkan dalam bowl atau pireks lalu dikukus ±1 jam. Setelah matang, tiliaya siap disajikan untuk 8 porsi. (Napu A, dkk, 2008).
Sumbangan Zat gizi Tiliaya dalam 1 porsi yang beratnya sekitar 100 gram adalah energi 6,6%, protein 9,7%, lemak 4,6%, karbohidrat 6,8%, Fe 16,4%, dll. Bila dikonsumsi 2 kali dalam sehari sebagai makanan penutup tentunya memberikan sumbangan zat gizi yang tinggi pula. Lihat Tabel 1.
Tabel 1.
Zat Gizi Tiliaya Dalam 1 Porsi (100 gram)
| Zat Gizi | AKG | Tiliaya 1 porsi | % |
| Energi (kkal) | 2650 | 175.8 | 6.6 |
| Protein (g) | 75 | 7.28 | 9.7 |
| Lemak (g) | 85 | 3.94 | 4.6 |
| KH (g) | 400 | 27.38 | 6.8 |
| Vit. A (RE) | 700 | 281.5 | 40.2 |
| Vit. B1 (mg) | 1.2 | 0.04 | 3.3 |
| Kalium (mg) | 5300 | 208.5 | 3.9 |
| Fosfor (mg) | 1250 | 74.7 | 6.0 |
| Kalsium (mg) | 1200 | 46.56 | 3.9 |
| Fe (mg) | 11 | 1.8 | 16.4 |
Sumber, Napu Dkk, 2008
Sebuah keunikan dibalut dengan penghormatan pada orang tua khususnya ibu, maka ketika membuat santan yang kelapanya diparut dengan dudangata (alat parut tradisional Gorotalo) biasanya yang terbaik untuk melakukan pererasan kelapa menjadi santan adalah wanita yang tertua dalam rumah tangga tersebut. Itupun masih harus ditanyakan tentang statusnya, apakah sedang haid atau tidak. Bila sedang haid maka tidak boleh memeras kelapa untuk jadi santan. Ini dilakukan karena sebuah tradisi yang menganggap kekuatan doa itu faktor penting, maka sang pemeras kelapa yang diizinkan adalah wanita yang tertua, tidak berhaid dan sedang berwudhu. Bukankah ini prosesi ritual yang substansial dan dibutuhkan sebagai kekuatan tak terhingga dalam menopang proses kehidupan umat manusia?
Kata tiliaya, ada yang menerjemahkan sebagai titiliaya li ayah atau berdekatan dengan “ayahanda” sebagai sebutan kepala desa/lurah. Ini karena dalam prosesi baca doa arwah atau tahlilan, tiliaya berdekatan dengan kepala desa/ yang diundang sebagai tamu terhormat maka disebutlah nama makanan ini adalah tiliaya.
Apakah adalah bukti, bahwa pelestarian dan pengembangan makanan tradisional/khas Gorontalo yang kurang baik sehingga masyarakatnya bahkan para pejabat birokrasi/akademisi menyatakan tiliaya adalah puding Gorontalo? Adapun alasan yang disampaikan oleh para pejabat kepada para tamu daerah bahwa tiliaya merupakan puding Gorontalo maka ini sama saja mau menghilangkan identitas kebesaran leluhur Gorontalo terhadap hasil karya dan karsa mereka. Mengapa demikian?
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia bahwa puding merupakan penganan yang dibuat dari tepung terigu, maizena dan sebagainya dan biasanya digunakan sebagai makanan penutup. Sementara penganan itu merupakan segala jenis kue atau kudapan. Bukankah definisi puding sangat jauh berbeda dengan tiliaya? Bahan-bahan yang digunakan, proses memasak dan penghidangannya adalah berbeda.
Penulis pernah berkeliling Indonesia sekalipun saat itu belum 38 provinsi. Setiap kali ditanyakan tentang makanan ini dalam bentuk pertanyaan yang didasari tentang penggunaan bahan-bahannya, proses membuatnya dan penghidangannya, belum pernah ditemukan di daerah lainnya. Kecuali di daerah tertentu seperti Manado, Palu, Makasar ada yang membuat dan mengkonsumsi tiliaya karena mereka berasal dari suku atau daerah Gorontalo.
Para akademisi termasuk para guru-guru, birokrat, para pengusaha serta semua unsur yang terkait berkompeten membantu Gorontalo sebagai daerah yang berfalsafah guna melestarikan dan mengembangkan produk makanan tradisional/khas yang berbasis budaya. Ini tentunya dapat membantu dan meningkatkan status gizi dan kesehatan masyarakat termasuk upaya pencegahan penyakit berbasis makanan. Juga tidak merugikan hasil-hasil riset oleh para peneliti atau lembaga peneliti, sehingga tertransformasi pada generasi selanjutnya melalui proses pembelajaran ilmu gizi berbasis makanan tradisional/khas daerah yang dimiliki.
Pembelajaran ini memberikan modal entrpreneurship kepada generasi muda, dan tentunya pasti meningkatkan ekonomi kerakyatan. Peraturan Daerah Provinsi Gorontalo Nomor 03 Tahun 2015 tentang Pembelajaran Ilmu Gizi Berbasis Makanan Khas Daerah Gorontalo mendasari pembelajarannya yang hanya ada di Gorontalo. Untuk menjawab permasalahan gizi dan kesehatan bahwa sangat diyakini Perda yang telah dilengkapi dengan kurikulum dan bahan ajar, adalah sangat urgen diterapkan dengan baik di SD/sederajat, SMP/sederajat, SMA/MA/SMK/ sederajat bahkan perguruan tinggi; agar tidak terjadi lagi penyamaan yang keliru bahkan merendahkan titah yang sesungguhnya yaitu tiliaya adalah puding Gorontalo. Kata tiliaya adalah puding Gorontalo, oleh pejabat atau bukan pejabat selalu diperkenalkan pada tamu daerah baik lokal maupun manca negara. Katanya bahwa Gorontalo rakyatnya hebat, setara dengan provinsi lainnya, ayo, ucapkan dan sampaikan nama makanan tradisional/khas daerah Gotontalo sesuai nama aslinya. Contohnya bahwa tiliaya tidak diucapkan dan disampaikan puding Gorontalo namun tetap tiliaya! Semoga tulisan ini bermanfaat. Bersama berkarya sebagai ibadah, aamiiin! Salam Gizi, (jawabannya): Sehat Melalui Makanan. (*)
Penulias adalah Pengamat Gizi dan Kesehatan. Mengajar Ilmu Gizi, Kesehatan, Olahraga, Budaya di Perguruan Tinggi, Ketua Pergizi Pangan Indonesia Gorontalo, Wakil Ketua Kwarda Gorontalo, Pembina DPD PERSAGI Gorontalo, Ketua Yayasan Makanan dan Minuman Indonesia (YAMMI) Provinsi Gorontalo, Dosen Poltekkes Gorontalo.











Discussion about this post