Oleh
Hamka Hendra Noer
Relasi antara birokrasi dan politik kembali penting didiskusikan pasca Indonesia mengalami suasana pemilu 2019 yang lalu. Atmosfir politik telah menciptakan polarisasi dan mengguncang netralitas birokrasi sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN). Ada oknum birokrasi yang secara terbuka mendeklarasikan preferensi politik sekaligus turut menyebarkan hoax di ruang publik. Hal ini disebabkan selain faktor suhu politik yang panas, juga fenomena post-truth yang turut menyerang Indonesia.
Tahun 2016, Oxford menjadikan tema post-truth sebagai “Word of the Year” karena penggunaan kata tersebut meningkat sampai 2000 kali lipat dibandingkan tahun sebelumnya. Setidaknya, ada dua peristiwa penting yang menjadi titik awal kembalinya perbincangan post-truth di dunia, yakni Brexit, keputusan Inggris meninggalkan Uni Eropa dan peristiwa terpilihnya Donald Trump sebagai Presiden Amerika Serikat saat itu.Pasca dua peristiwa ini, hadir asumsi opini publik yang dibangun melalui amunisi hoax yang diproduksi secara sistematis. Antara fantasi dan realitas bercampur, sehingga melahirkan disinformasi. Bagi pihak-pihak yang memiliki kepentingan tertentu, misalnya kekuasaan, hoax justru menjadi mesinpembakar untuk akselerasi pencapaiantujuan politik.
Fenomena post-truth juga menyelimuti dunia birokrasi Indonesia akhir-akhir ini. Tahun politik menjadi arena persebaran hoax di masyarakat, termasuk para birokrasi. Birokrat yang harusnya netral justru menjadi agen dalam penyebaran berita-berita bohong, bahkan pada kasus tertentu adalah ujaran kebencian.
Kondisi birokrasi Indonesia yang rentan terkena fenomena post-truth, dapat berpengaruh pada integritas dan netralitas birokrasi. Oleh itu, diskursus tentang netralitas birokrasimenjadi perlu kembali diangkat, khususnya dalam menghadapi era post-truth yang menyerang institusi birokrasi.
Netralitas Birokrasi
Sebagai negara yang berada dalamfase transisi demokrasi, membincangkan birokrasi dalam konteks netralitas adalah ikhtiar yang perlu dikerjakan. Indonesia pernah memiliki catatan sejarah kelam yang panjang dalam soal netralitas aparatur birokrasi(Noer, H.H 2012). Pada masa Orde Baru berkuasa, birokrasi telah menjadi bagian dari mesin kekuasaan dan terkooptasi oleh rezim. Namun pasca Orde Baru lengser, problem netralitas birokrasi sampai saat ini tetap selalu hadir, khususnya pada masa tahun-tahun politik.
Birokrasi memang hidup tidak berada dalam ruang yang vakum, ia akan selalu berhimpitan dengan politik. Birokrasi berperan sebagai pelaksana kebijakan, sedangkan kebijakan itu sendiri merupakan produk politik. Oleh karenanya, aspek netralitas perlu didiskusikan secara lebih hati-hati. Dalam pandangan Tamma (2016:105), netralitas birokrasi selalu menjadi wacana aktual menjelang, saat, setelah pemilu, baik pemilihan legislatif, pilkada, maupun pilpres.
Aparatur birokrasi adalah manusia yang memiliki pemikiran tertentu, sehingga asas netralitas bukan ditujukan untuk mengsubordinasi dan mengkooptasi para birokrat. Karena netralitas versi inilah yang terjadi saat Orde Baru. Inilah oleh Althusser (2008:16) disebut sebagai Ideological State Aparatur (ISA). Birokrasi menjadi mesin ideologi negara Orde Baru agar tunduk pada dominasi dan hegemoni rezim.Sekarang, secara prinsip, aparatur birokrasi memiliki hak politik untuk memilih siapa saja dalam pemilu—berbeda dengan zaman Orde Baru.
Secara normatif, konsepsi netralitas sudah diberlakukan, tapi secara praktik tidak mudah dilaksanakan. Posisi netralitas birokrasikembali dipertaruhkan saat pemilu serentak 2024. Secara politik, sikap netral birokrasi menjadi hal penting dalam mewujudkan pemilu yang berkualitas.Bahkan, tidak hanya kualitas pemilu yang menjadi baik, namun juga kualitas birokrasi itu sendiri.Penting bagi setiap aparatur birokrasi bersikap netral dalam menghadapi pemilu.
Landasan etis mengapa birokrasi wajib berlaku netral, karena birokrasi merupakan institusi publik yang dibangun dan dibiayai oleh uang rakyat untuk melayani semua lapisan masyarakat. Olehnya,aparat birokrasi wajib terlepas dari ikatan partai politik maupun golongan tertentu. Netralitas birokrasi diperlukan agar memastikan kepentingan negara dan publik berorientasi pada pelayanan. Siapapun kekuatan politik yang memerintah, birokrasi tetap memberikan pelayanan yang terbaik kepada masyarakatnya.Alasan ini sudah sangat mencukupi untuk menegaskan birokrasi tidak boleh terlibat dalam politik praktis karena akan menciderai spirit publik.
Dalam studi birokrasi dan hoax, esensi dan aspek netralitas telah menemukan titik temu penting, yaitu birokrasi harus kritis terhadap berita anti-hoax. Walaupun tidak semua aktivitas hoax berkorelasi dengan netralitas birokrasi, namun penyebaran hoax dan hate speech telah menciderai esensi netralitas pada nilai komitmen, integritas moral dan tanggungjawab.
Netralitas birokrasi era post-truth saat ini, seringkali dinilai dari preferensi politik. Oleh karenanya, aktivitas hoax dan hate speech seringkali berangkat dari alam bawah sadar yang dipengaruhi oleh preferensi politik. Dalam konteks perilaku hoax yang dilakukan oleh birokrasiadalahbentuk ketidaknetralan semenjak alam pikirnya. Olehnya, konsep netralitas bagi birokrasidiberlakukan tidak hanya saat tahun-tahun politik saja. Seharusnya, netralitas menjadi benteng terdepan sebagai pertahanan diri dan sensor kemandirian birokrasi.
Birokrasi di Era Post-Truth
Revolusi dunia digital melahirkan luapan informasi yang deras. Kini kondisi terbalik, masyarakat modern dapat mengakses jutaan informasi.Problemnya adalah bukan bagaimana masyarakat memperoleh berita, karena sekarang semua informasi mudah diakses. Permasalahannya adalah, terletak pada kurangnya kemampuan dalam mencerna informasi yang benar. Limbah informasi justru banyak terserap oleh masyarakat yang tidak memiliki daya kritis literasi yang kuat.
Sebenarnya, istilah post-truth sudah digunakan oleh seorang penulis bernama Steve Tesich, pada tahun 1992 silam dalam salah satu tulisan di Nation Magazine dengan tajuk “The Government of Lies” untuk mengkritik kebijakan pemerintahan Amerika Serikat. Sang penulis membicarakan post-truth dalam konteks skandal Watergate di era presiden Richard Nixon dan Perang Teluk Persia di era Ronald Reagan saat itu. Namun, masyarakat Amerika Serikattetap nyamanwalaupun skandal-skandal tersebut dipenuhi dengan pelbagai kebohongan publik.
Pemerintah Amerika Serikat memberikan informasi yang tidak benar kepada masyarakat denganmemanfaatkan situasi dimana masyarakat hanya dapat mendengarkan informasi yang diinginkan oleh pemerintah.
Istilah post-truth kemudian viraldibicarakan dan menjadi trending topic pada tahun 2016. Post-truth ditandai dengan dominasi emosi dan perasaan pribadi yang lebih berpengaruh dalam membangun opini publik dibandingkan dengan deretan fakta yang sebenarnya.Dalam studi McIntyre (2018:13), menjelaskan post-truth merupakan supremasi ideologis yang praksisnya mencoba memaksa seseorang untuk mempercayai sesuatu terlepas itu berdasar fakta atau tidak.
Post-truth menjadi kegelisahan tersendiri bagi kalangan akademisi maupun praktisi secara global. Masyarakat menerima banyak informasi yang keliru dan mereka mempercayai informasi tersebut sebagai sesuatu hal yang benar. Masyarakat yang telah percaya membuat keputusanberdasarkan kepercayaan terhadap hal yang salah tersebut (Golose 2019:7).
Kebohongan di era post-truth sengaja diproduksi sebagai bagian dari taktik politik untuk mencapai tujuan tertentu. Kebohongan yang diproduksi dibuat sedemikian rupa sehingga menjadi fakta alternatif yang dapat diterima oleh publik.
Begitupun hoax yang terjadi di birokrasi tanah air.Ada sebagian masyarakat di Indonesia merasakan dirinya termarjinalisasi. Menurut mereka, hal ini disebabkan karena rezim lebih memperhatikan “asing” dibandingkan “pribumi”. Berita-berita hoax seperti kedatangan Tenaga Kerja Asing (TKA) dari Tiongkok dan pemerintah yang sangat anti islam berada dalam sirkulasi peredaran disinformasi di pelbagai media sosial.
Sebab itu, diperlukan pertahanan diri dari ancaman post-truth. Pertahanan diri tersebut dapat dimanifestasikan dengan bentuk pengawasan birokrasi yang ketat dan kolaboratif dari pelbagai stakeholdersuntuk membangun iklim birokrasi yang nertal. Selain itu, upaya menjaga netralitas birokrasi di era serangan post-truth dengan perlunya penyelenggaraan pendidikan kritis dan pendidikan literasi bagi birokrasi.
Penguatan Netralitas Birokrasi
Beetham (1999:94) menilai bahwa birokrasi adalah entitas yang mustahil netral dari ranah politik. Pandangan empirik ini bisa jadi benar. Namun,demokrasi secara inheren memiliki pertahanan diri agar demokrasi tidak menggali kuburannya sendiri dengan membuka pintu pada ketidaknetralan birokrasi. Pertahanan diri demokrasi inilah yang perlu diaktualisasikan di Indonesia.
Problem netralitas birokrasi di Indonesia merupakan problem laten dan kompleks. Dalam survei nasional netralitas birokrasi pada Pilkada 2020 yang dilakukan Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN), memperkuat fakta-fakta adanya keterlibatan paslon kepala daerah dalam kontestasi pilkada. Berdasarkan hasil survei, diketahui faktor dominan penyebab pelanggaran netralitas birokrasi adalah ikatan persaudaraan (50,76 persen) dan motif birokrasi untuk mendapatkan karier yang lebih baik (49,72 persen).
Ikatan persaudaraan menjadi penyebab utama pelanggaran netralitas birokrasi, khususnya di wilayah Sulawesi, Nusa Tenggara, Sumatera, dan Kalimantan.Selain itu, beberapa pihak yang paling memengaruhi birokrasi untuk melanggar netralitas, di antaranya tim sukses (32 persen), atasan birokrasi (28 persen), dan pasangan calon (24 persen). Maka dari itu, pada hasil survei menemukan sebanyak 51,16 persen responden menginginkan hak politik birokrasi dicabut.
Secara imperatif, aturan-aturan tersebut menekankan tentang asas netralitas yang banyak menyoroti pada konteks pemilu. Tidak ada celah (hukum) pembenaran birokrasi yang ingin bebas terjun pada politik praktis. Jawaban pasti aparatur birokrasi yang hendak berpolitik adalah mengundurkan diri.Oleh karena itu, aturan-aturan legal yang ada secara prinsip tidak mengekang Hak Asasi Manusia (HAM) sebagai individu dalam demokrasi. Dalam artian, sebagai individu-manusia, hak politik birokrasi tidak dihilangkan. Hanya perlu ekspresi di ruang publik agar tetap menjaga semangat publiceness sebagai pelayan publik.
Seperti yang telah disinggung sebelumnya, fenomena netralitas birokrasi saat ini semakin kompleks. Aparatur birokrasi memiliki hak politik untuk memilih secara bebas calon-calon pemimpin pada pemilu tanpa paksaan. Namun serbuan hoax di era post-truth menciptakan kondisi hadirnya oknum birokrasi yang salah kaprah dengan bersikap partisan dan menyebarkan hoax di ruang publik. Dalam pandangan Habermasian, ketika telah terjadi pemaksaan dan hoax dalam ruang publik, maka tindakan komunikatif berubah menjadi tindakan strategis dan rasio instrumental yang hanya berujung pada penguasaan dan pemenuhan ambisi pribadi (Baynes 2016:20).
Sebagai institusi publik, guna menjaga konsistensi asas netralitas, birokrasi tetap harus dalam rentang pengendalian dan pengawasan. Aktivitas aparatur sebagai bagian dari birokrasi bertanggungjawab penuh kepada publik.Birokrasi perlu diawasi dan berada di bawah pengendalian baik secara politis, administratif, eksternal dan juga internal. Untuk menjaga netralitas birokrasi, perlu model pengendalian agar birorkasi tetap berjalan di rel netralitas.
Namun kenyataannya tidaklah mudah pada ranah implementatif. Masih sering birokrasi “berselingkuh” dengan partai politik untuk kepentingan politik disaat pilpres atau pilkada. Disinilah, lahir oknum yang dengan sadar bersikap tidak netral secara terang-terangan dan menyebar berita hoax untuk mendukung sikap tidak netralnya.
Harus kembali dipahami, netralitas birokrasi bukan berarti mengajak birokrasi apolitis. Justru, sebaliknya agenda memperkuat netralitas birokrasi memliki kapasitas dalam merawat kondisi politik. Netralitas birokrasi dapat membangun iklim demokrasi yang sehat, dengan tidak menyeret birokrasi ke dalam arus politik. Netralitas birokrasi juga dapat memunculkan pluralisme birokrasi, karena format kebijakan lebih merupakan kompetisi antar aktor ketimbang monopoli negara.
Indikasi penting dari terwujudunya netralitas birokrasi yang baik adalah terbukanya peluang untuk memberikan pengaruh terhadap kebijakan dan relatif meningkatnya tanggungjawab birokrasi terhadap permasalahan yang ada di tengah masyarakat. Dengan kondisi ini, tidak bisa dipungkiri bila aparatur birokrasi bersikap apolitis. Birokrasi harus selalu dekat dengan lingkungannya supaya netralitas birokrasi dapat mendorong terwujudnya good govenance.
Dengan memperhatikan beberapa persoalan yang telah dijabarkan, maka mempertahankan dan menjaga netralitas dalam institusi birokrasi perlu menjadi agenda yang berkelanjutan. Ada beberapa langkah yang bisa menjadi antitesis dan dilaksanakan sebagai strategi untuk membendung hoax dan menjaga netralitas tersebut.
Upaya yang perlu lebih digalakkan adalah memperkuat pengawasan. Secara administratif Indonesia sebenarnya telah memiliki Komisi Aparatus Sipil Negara (KASN). KASN merupakan lembaga non-struktural yang bebas dari pengaruh politik dan bertanggungjawab kepada presiden. KASN berfungsi mengawasi pelaksanaan norma dasar, kode etik, dan kode perilaku serta proses merit system dalam kebijakan dan manajemen birokrasi.
Fenomena post-truth dan serbuan hoaxtelah menyerang integritas dan netralitas birokrasi Indonesia. Hal ini, mendorong lahirnyaoknum-oknum birokrasi yang bersikap tidak netral dan penyebar hoax. Oleh karena itu, perlu ada upaya serius untuk kembali mendorong diskursus serta praktik netralitas bagi birokrasi. Dalam menghadapi isu netralitas, perlu menjalankan pengawasan birokrasi yang ketat dan kolaboratif dari pelbagai elemen pemerintah dan masyarakat untuk mempersempit celah bagi oknum birokrasi yang ingin bertindak tidak sesuai dengan etika profesi.
Di sisi lain, untuk menghadapi post-truth dan hoax yang semakin deras, birokrasi perlu melatih diri untuk bersikap kritis dan ilmiah sehingga menciptakan lingkungan birokrasi baru yang anti-hoax. Birokrasi juga perlu dibekali pendidikan literasi sebagai bagian dari budaya sensor mandiri terhadap berita-berita hoax. Selain itu, para birokrasi bisa berperan aktif dalam membangun komunitas anti-hoax di lingkungan birokrasi agar terus aware dalam merespon fenomena hoax. Dengan langkah-langkah ini, harapan mempertinggi kualitas demokrasi dan menjaga netralitas birokrasi di Indonesia bisa tetap berkelanjutan. (*)
Menyelesaikan Ph.D Ilmu Politik dari Universitas Kebangsaan Malaysia
Dosen Ilmu Politik, FISIP, Universitas Muhammadiyah Jakarta dan
Staf Ahli Kementerian Pemuda dan Olahraga RI











Discussion about this post