Oleh
Basri Amin
Ini adalah tentang seorang Wali Kota yang (pantas) dicatat oleh sejarah. Otaknya cerdas! Imajinasinya efektif bekerja di alam nyata. Kata-kata dan perbuatannya sejalan. Ia membangun dengan keramahan, kepekaan, dan tanggap dengan keinginan warganya.
Wali Kota ini mengurus kota-nya “seperti mengurus halaman rumahnya sendiri…”. Ia amat mengetahui kontur setiap jengkal kotanya dengan jeli. Ia tiap pagi sarapan dengan koran dan memastikan denyut keluhan warganya. Hampir semua pemuka masyarakat respek dengan sang Wali Kota.
Sebuah peristiwa terjadi. Seorang murid sekolah mengalami kecelakaan di sebuah turunan jalan. Rem sepeda anak sekolah ini blong dan ia pun meluncur dan menabrak sebuah Monumen Pahlawan yang terletak di simpang jalan. Murid itu pun akhirnya meninggal.
Mengetaui kejadian ini, sang Wali Kota pun langsung memerintahkan untuk membongkar Monumen (pahlawan) tersebut untuk dialihkan ke pinggir jalan. Sang Wali Kota berkata: “biar monumen pahlawan, tapi ia tidak berhak mencabut nyawa seorang anak!”.
Wali Kota Bandung ini demikian gesit dan tegas bertindak. Sikapnya amat “terang” dengan harapan warga kotanya. Itulah dasar mengapa ia berhasil melahirkan “karya besar” yang nyata-menyejarah. Inilah sebagian kecil dari kisah dan warisan Wali Kota (burgemeester) Bandung pertama, Tuan B.Coops (1913-1921), yang dilanjutkan oleh Ir. J.E.A. Von Wolzogen Kuhr (1928-1934), seorang dosen dan mahaguru dari Technische Hoogeschool (TH) Bandung. Pada periode 1921-1934 inilah Bandung secara mendasar amat giat membangun dan mengukuhkan rancang-bangun tata kotanya, hingga mencapai puncaknya sebagai “Parijs van Java” yang terkenal itu.
Pada periode akhir abad ke-19, wilayah Bandung dipimpin oleh seorang asisten residen yang hebat pula. Ia seorang budayawan, pekerja keras, aktif dan kaya inisiatif. Ia berhasil membangun Bandung sesuai lanskap alamnya berkat kemampuannya menggerakkan “partisipasi” masyarakat.
Ia membuat sejumlah perkumpulan (vereeniging). Sejumlah tuan tanah, pemilik perkebunan teh dan gula, pengusaha susu, seniman dan sastrawan, botanikus, filantopis, dan pemuka-pemuka masyarakat amat mendukung penguasa kota Bandung untuk tampil kreatif dan membangun. Ini terjadi sejak “pelopor” kota Bandung merancang basis (partisipasi) masyarakat untuk kota ini. Orang ini tiada lain adalah Pieter Sijthoff yang berkarya penting antara 1882 hingga sekitar 1896 di Bandung.
Dari segi bangunan fisik dan gagasan “menjadi kota” modern, Bandung dikatakan berdiri pada tahun 1898, melalui sebuah perjumpaan yang dahsyat antara lanskap alam, kehadiran para pemuka ekonomi dan perkumpulan masyarakat (societiet) dan peran penguasa kolonial di itu.
Dengan begitu, kota ini tak lepas dari imajinasi Barat yang modern di satu sisi, tapi juga terdapat faktor dukungan pemuka-pemuka ekonomi yang filantropis dan kalangan profesional (botanis, seniman, dll) yang mendukung imajinasi kebudayaan dalam kemajuan kota Bandung di sisi lain.
Bandung menjadi Kota yang sesungguhnya, secara legal, ketika disebut statusnya sebagai “Gemeente” (Kota) yang otonom pada 1906. Melalu buku klasik Haryoto Kunto, “Wajah Bandoeng Tempo Doeloe” (Granesia, 1984, 384 halaman), saya menyelami Bandung yang sebenarnya dan bagaimana kepemimpinan kota berproses dan menempa titik pijaknya.
Sangat jelas, Bandung bukanlah kota yang memaksa dirinya untuk (sekadar) latah disebut “kota tua” dan menyandang status itu tanpa jejak. Sangat terbalik dengan beberapa kota di negeri ini yang acapkali bernafsu menentukan usia kotanya yang tua, tapi tanpa kesadaran dan pengetahuan yang cukup dan konsisten. Bahkan tidak pernah diikuti oleh sebuah tekad agar mampu “membuat sejarah”.
Tampilan yang terus disuguhkan dari waktu ke waktu adalah seremoni biasa yang berulang. Sehingga, yang ditampilkan adalah kegembiraan jangka pendek yang kosong. Pidato dan baliho memang banyak, tapi isinya lebih banyak pembenaran yang terpisah dari alam nyata dan visi fundamental untuk perbaikan berkelanjutan.
Tabiat “imitasi” dalam perkara membangun kota tidak akan pernah membuat perbaikan mendasar. Dasar pembangunan kota adalah “imajinasi yang berani dan kreatif”. Setiap kota harus mampu menyerap “energi zaman” yang melingkupinya dan harus berusaha keras “mencipta” jiwa baru yang memberi nafas bagi setiap ruang yang menopang penghidupan warga kotanya.
Identitas kota memang terletak sebagiannya di masa lalu, tapi identitas itu hanya mungkin menjadi identitas yang mewarnai dan berkelanjutan kalau dimensi kebudayaan (sebuah kota) sudah ditemukan dengan jelas. Dengan itulah ia tumbuh-berkelanjutan. Sayang sekali karena kesadaran ini cenderung lamban di kota-kota kita. Mengapa? Pembangunan kota-kota kita terlalu didikte oleh nafsu kekuasaan-jangka pendek, kepungan pasar, dan tabiat kolektif yang liar dan sok tahu.
Kepekaan atas masalah tertentu, kecermatan memahami kebiasaan-kebiasaan yang sangat spesifik dan kemampuan melibatkan warga di berbagai segmen, masih jarang diletakkan dalam sebuah kerangka pemahaman yang utuh. Tak heran kalau banyak sumberdaya (perbaikan) terbuang percuma.
Para penguasa kota dan institusi yang melingkarinya terbiasa “tak mau belajar”. Sehingga, yang berulang muncul adalah perkara-perkara elementer yang menyita waktu dan energi. Demikian juga dengan motif-motif jangka pendek yang terus mengepung (keseharian) pemeritahan kota. Keadaan ini sejak awal tidak pernah cermat di-diagnosa.
Beberapa waktu lalu saya berada di kota Bandung (“Parijss van Java, the Garden of Allah”). Sebelumnya sempat singgah di kota Malang (“Holland Tropische Stad”).
Bandung yang awalnya (hanya) dikenal sebagai “desa pegunungan kecil” (een kleini bergdessa), akhirnya mengalami masa keemasan mereka, sekitar dua puluh tahun di awal abad 20 dan berkat semangat dan pencapaian itulah, kota ini memeluk tradisi prestasinya dengan baik dan membangun aspirasi yang tak kenal henti hingga kini. Bagaimana dengan (kota) kita?.***
Penulis adalah Anggota Indonesia Social Justice Network (ISJN).
E-mail: basriamin@gmail.com











Discussion about this post