Oleh
Basri Amin
SULIT kita bayangkan apa yang terjadi andaikata angka “nol” tidak ditemukan oleh daya cipta manusia. Walau mungkin akan tetap ditemukan sistem numerikal yang tetap berfungsi memudahkan rasio manusia mengerjakan penghidupan sehari-harinya, tapi pada kecanggihan tertentu dalam merumuskan teknologi perhitungan, penyederhanaan, dan simbolisasi yang kompleks, rasanya tak akan bisa tercapai seperti saat ini tanpa angka “nol”.
Di dalam kesederhanaan lingkaran, demikian pula di dalam ke”kosong”an yang tak kasat-mata, kita terbukti menemukan banyak isi, ruang pembesaran dan pengecilan, serta makna-makna yang tak terbilang panjang-pendeknya. Adalah seorang khalifah Islam di Baghdad di abad ke-8, Sultan Al-Mansur. Ia adalah penguasa pencinta buku-buku.
Mendirikan perpustakaan megah, Baitul Hikmah. Di sinilah “ilmu dikembangkan, sastra dituliskan dan kitab-kitab asing diterjemahkan dengan penuh gairah” (Utami, 2008). Suatu ketika sang Sultan kedatangan musafir dari Timur yang membawa berpeti-peti naskah dan kitab-kitab sebagai hadiah untuknya. Mereka tahu, sang Sultan membangun Baitul Hikmah bukan karena butuh pujian dan demi kemasyhuran kekuasaan, melainkan karena “kecintaan kepada ilmu”.
Rupanya, di antara kita-kitab yang dipersembahkan kepada Sultan itu terdapat juga sebuah kitab tua dari India, Brahmasputa Siddhanta, sebuah kitab matematikawan India bernama Brahmagupta yang sudah berkembang sejak abad ke-5 melalui tulisan Sanskerta.
Di dalamnya sudah terdapat sembilan bilangan dan sebuah bilangan baru yang bentuknya berupa lingkaran kecil: “o” (baca: nol); berasal dari “filsafat kekosongan” India, berupa lingkaran “o”: shunya-chakra. Buku Brahmagupta tersebut segera disalin dalam bahasa Arab dengan judul “Sinhid”.
Selanjutnya, hadirlah matematikawan Islam ternama, Al-Khuraizmi, yang menulis kita Hizab al Jabr. Orang Eropa kemudian menemukan sejumlah mahakarya dari Baitul Hikmah-nya Sultan Al Mansur, yang di kemudian hari ditemukanlah Algoritma (Al-Khuraizmi).
Bangsa-bangsa moderen antara lain ditandai oleh kemegahan dan kebesaran koleksi perpustakaannya. Dengan itulah tergambarkan daya cipta bangsanya dan bagaimana etos berilmu itu dipusakakan sepanjang waktu.
Di Barat maupun di dunia Islam, raja-raja mereka yang agung dan para orang sucinya adalah “pemilik” perpustakaan. Mereka adalah para pertapa yang membenamkan dirinya dalam lembaran-lembaran pengetahuan yang terhimpun sekian lama.
Mereka adalah para pencari dan penemu. Kesuksesan kekuasaan dan marwah peradabannya sangat tergantung kepada apa-apa yang mereka pernah temukan dan temukan kembali dalam khasanah pengetahuan bangsanya. Meski di antara mereka tentu saja ada banyak yang berilmu dan yang ber-“Guru” tanpa perantara teks dan tulisan.
Sekian abad, karena hampir semua bacaan bukanlah barang cetakan (sebelum mesin cetak ditemukan), maka copy-an yang beredar di kalangan pembaca di negeri-negeri tua di dunia adalah sungguh-sungguh merupakan hasilan salinan asli dari para penyalin yang tekun, elite, dan istimewa.
Jumlahnya tentu sangat terbatas dan karena itulah maka jejak-jejak kepustakaan di masa lalu, sebagaimana dialami oleh Irak, Mesir, India, China, Yunani, Roma, dan akhirnya Eropa, adalah sebuah koleksi langka dan unik. Di dalamnya terdekap banyak “rahasia” dari daya hidup dan daya cipta manusia yang luar biasa.
Di Nusantara, tak terkira pula naskah-naskah klasik kita yang menyebar di perpustakaan istana para raja dan Sultan. Kita pun punya tradisi kalam yang hebat, baik di Jawa, di Aceh dan di Sulawesi. Bukankah hampir semua tradisi punyai pengetahuan, oralitas yang bermantra serta sejumlah “bahasa alam” yang terus dibaca dan dipahami bergenerasi.
Perhatikanlah dalam dunia pengobatan dan penyembuhan, misalnya. Evolusi pengetahuan seperti itu, termasuk tentang pertanyaan bagaimana asal-muasal pengobatan herbarium dan fungsi dari angka-angka, kini semuanya bisa kita ajukan di dunia internet. Browsing dan searching sudah terwadahi oleh teknologi informasi yang membuana.
Tetapi, kita jangan lupa bahwa untuk sekian abad, baik pertanyaan sepele dan yang penting hanya bisa ditemukan di perpustakaan.
Perpustakaan adalah gudang cahaya yang lapang menyapa sekaligus sebagai gedung terbuka-menjulang yang terang bagi semua pengetahuan terbaik yang pernah diciptakan masyarakat manusia.
Ia memiliki aura keabadian yang hingga hari ini terjaga dan terakui. Ada aroma keringat serta nalar-nurani-naluri manusia dan aura kepustakaan yang tak bisa tergantikan oleh teknologi canggih. Buku punya bau, jazad, dan roh. Ia tak Anda peroleh di ujung jari dan di sentuhan layar smartphone dan komputer Anda. Hanya di dalam perpustakaanlah Anda bisa menemukan aura dan aromanya.
Hampir semua yang kita pergunakan sehari-hari pada mulanya adalah sebuah “pengetahuan” yang terhimpun dan teruji-coba sekian lama. Bagaimana itu semua bisa Anda tahu? Manfaatkanlah perpustakaan bermutu. Sebab, tak semua perpustakaan di bangun di atas nalar dan nurani ilmu pengetahuan. Sebagiannya bahkan diadakan untuk sekadar menjadi “pelengkap” kompleks perkantoran, tapi isinya hampa makna dan miskin optimisme hidup. Ia dibangun untuk dianak-tirikan di tengah kemegahan meterialisme dan egoisme.
Tingkat kemampuan membaca dan komitmen kita kepada bacaan yang bermutu -–dengan indikasi kepemilikan bacaan di rumah dan di tempat kerja–, ditengarai belum banyak berubah-berarti di negeri ini. Tak heran kalau gerakan literasi bahkan digalakkan di sekolah-sekolah. Meski sangat baik dan mulia, hal ini adalah penanda nyata bahwa sekolah-sekolah kita belum sepenuhnya (berhasil) mewadahi pembentukan “tradisi baca” itu.
Terapinya justru dimulai dari sekolah. Sesuatu yang paradoks!. Celakanya lagi kalau Guru pun tak punya minat terhadap bacaan.
Di beberapa acara perbukuan, kita bisa menyaksikan bahwa girah baca itu tak begitu tampak di kalangan Guru. Bisa jadi, ini semua terjadi karena ketika mereka menempuh pendidikan, etos membaca itu luput ditempa dengan kesungguhan. Dan lebih celaka lagi kalau yang bertengger di kekuasaan birokratis (atas nama) pendidikan adalah orang-orang yang “melukai” cita-cita perbukuan di negeri ini.
Padahal, negeri ini didirikan oleh mereka yang cinta buku dan tulisan. Orasi mereka di podium demikian hebat, tapi narasi hidup mereka dikerjakan konsisten di lembaran-lembaran buku dan kerja-kerja nyata di semua bidang kehidupan bangsa.***
Penulis adalah Parner di Voice-of-HaleHepu










Discussion about this post