logo gorontalo post
  • METROPOLIS
  • PERISTIWA
  • EKONOMI BISNIS
  • SPORTIVO
  • KORAN DIGITAL
No Result
View All Result
Logo gorontalo post
  • METROPOLIS
  • PERISTIWA
  • EKONOMI BISNIS
  • SPORTIVO
  • KORAN DIGITAL
No Result
View All Result
logo gorontalo post
No Result
View All Result
Pemkot Gorontalo
Home Persepsi

Anakmu Bukan Milikmu

Lukman Husain by Lukman Husain
Monday, 7 February 2022
in Persepsi
0
Anakmu Bukan Milikmu

Basri Amin

Bagikan ke FacebookBagikan ke TwitterBagikan ke Whatsapp

Related Post

Gorontalo, Jangan “Lari” di Tempat

Guru Pejuang di Gorontalo

Senggol-Senggolan di Pemerintahan

Subjektivitas Penilaian Hasil Capaian Kinerja ASN: Kelalaian atau Sentimen ? 

Oleh

Basri Amin

 Hari-hari ini putri pertama kami dalam keadaan “tidak sehat”. Kendati nilai kuliahnya nyaris sempurna (3,9), tetapi ia tengah menghadapi banyak hal secara sendiri. Dengan mamanya, percakapannya selalu tentang kesehatan, terutama urusan makan, ibadah, pikiran positif, waktu tidur, dan pola pertemanan. Kepada saya, putri kami lebih banyak bicara tentang rencana-rencana dan kisah-kisah tentang adiknya di pesantren. Dia tak begitu tertarik dengan pekerjaan-pekerjaan saya.

Bagi saya, setiap anak –-dan setiap kita– membutuhkan “tekanan” atau “cobaan” tertentu agar merasakan bagaimana nikmatnya kebersamaan. Pun seorang anak yang tumbuh, ia membutuhkan variasi pengalaman dan “tekanan”. Satu di antara sekian pengalaman penting yang mereka (butuh) alami adalah tentang kecewa, kesalahan, kekurangan, persaingan, kehilangan, dan luka. Di dalam dirinya, yang ia butuhkan adalah keyakinan mendalam tentang pekerti kemuliaan dan pertaruhan kehormatan, harapan dan syukur kepadaNya, disamping nalar yang terlatih, cita-cita yang rasional dan persisten, sehat jiwa-raga, dan sikap belajar sepanjang hidup.

Visi catatan ini adalah pengulangan dan penyegaran. Amat terasa, menyegarkan rasa cinta dan sayang di keluarga adalah tugas semua orang. Jika rumah dipahami sebagai bangunan dan susunan bebatuan, besi, pasir, semen, kerikil dan kayu-kayuan, yang kemudian kita indahkan dan mewahkan dengan cat, pagar, perabot dan fasilitas lainnya, maka rumah tak jauh berbeda dengan semua gedung/bangunan yang tampak di muka mata. Tapi, jika rumah dipahami beyond dari itu semua, ia, rasanya, lebih tepat dipandang sebagai “tempat damai” yang (selalu) kita rindu untuk kembali. Rasa “rindu pulang” padanya, adalah hakikat rumah. Ia bukan tempat tidur, tempat makan dan bercakap saja, hal mana bisa digantikan setiap saat oleh restoran dan hotel-hotel. Ia dimiliki bukan karena pernah dibayar/dibeli dan bersertifikat, tapi karena ada “penyatuan hidup” yang terikrar dan tertagih sejak awal. Ia menuntut kesetiaan!

Rumah menjadi ramai, hidup dan bermakna karena anak. Sudah lama kita tahu ada ungkapan dari banyak orang: “saya tak mikir banyak lagi, yang penting anak-anak; apa yang kita cari ini semua karena anak-anak…Kita ini sudah sudah cukup”. Anak-anak kita adalah pertaruhan kita. Demi mereka, semua hal bisa kita lakukan. Hampir semua mimpi kita, baik yang sudah terwujud maupun yang belum, semuanya kita “serahkan” ke pundak mereka. Ciri keberhasilan sebuah keluarga bahkan dengan mudah ditakar pada apa-apa yang terjadi pada anak-anak mereka. Sehingga, pepatah lama “buah jatuh tak jauh dari pohonnya” tak selamanya berlaku. Sudah terbukti, anak-anak desa yang terlahir dari keluarga petani, setelah puluhan tahun kemudian menjadi jenderal terpandang, menjadi menteri bahkan menjadi presiden.

Mendampingi kedua putri kami, dengan jarak usia keduanya yang cukup jauh, kami harus menyusun pola komunikasi berbeda. Selain karena mobilitas keseharian mereka berbeda, keduanya juga sepertinya punya karakter berbeda. Yang kakak mudah mengalah karena yang adik mudah meminta; mereka terkadang –bersaing ketika menerima “pemberian” secara berbeda. Meski keduanya terbiasa berbagai cerita dari apa yang mereka alami setiap harinya, tapi debat keduanya juga sering terjadi, dan kami sering repot menjadi moderator-nya.

Kami sering melatih mereka menjadi reporter yang aktif dari kejadian sehari-sehari, semata-mata dengan harapan agar mereka bisa/terbiasa “menyusun cerita” dengan (lebih) rasional dan dikerjakan –meskipun masih acak–, tapi haruslah menghormati sudut pandang yang beragam. Kami berharap, dengan sama-sama melatih diri untuk “menyusun cerita” maka mereka beroleh ruang-ruang baru dan mengisi relung-relung pengalaman-tumbuh mereka dengan empati hidup, rasionalitas, nilai-nilai luhur, dan pilihan-pilihan yang tidak tunggal.

Anak-anak kita punya cerita yang amat kaya. Bukan hanya bersumber dari konstruksi mereka sendiri, mereka pun bisa dengan mudah meng-copy banyak kejadian, ungkapan bahasa, kata-kata baru, pola pergaulan, kesedihan, keberlebih-lebihan, rasa duka, egoisme, kecongkakan, kejujuran, kepedulian dan ketidaknyamanan. Dari semua itulah, mereka jadi tumbuh sehari-hari sambil “menampung” banyak cerita dan pengalaman dari tempat-tempat lain dan dari orang yang berbeda-beda. Anak-anak kita adalah “recorder” yang aktif atas hidup ini. Mereka aktif menjadi konsumen dan sekaligus produsen di lingkungan pergaulannya mengenai hidup ini. Mereka punya persepsi sendiri yang seringkali mengejutkan kita, dan tentu saja sering pula menghawatirkan kita atas dunia mereka dewasa ini.

Goncangan hidup sehari-sehari tak bisa lagi disikapi dengan sepenuhnya mengandalkanrujukan normatif. Sandaran agama sebagai misal, meskipun ia kita tempatkan di tingkatan tertinggi, pada akhirnya ia ditentukan praktiknya dalam “kesadaran” kita masing-masing. Menyandarkan diri dan hanya berserah kepada-Nya membawa konsekuensi di tingkat individu. Karena, semua bentuk “penyerahan diri”tak bisa diklaim pencapaiannya tanpa melewati jalan-jalan “ujian hidup”.

Dalam berbuat salah dan mengakui kesalahan; dalam hal berbeda pendapat dan harus jujur dengan pandangan berbeda; dan dalam hal tegas dan kokoh kepada nilai-nilai prinsipil, percontohan diri sendiri, adalah proyek hidup yang tak pernah selesai. Untuk itu semua, hidup adalah sebuah jalan panjang, penuh belokan nan licin. Semua orang berpotensi tergelincir setiap saat. Sekali kita hidup, tugas pertama yang butuh dihidupi sepanjang hayat adalah pertumbuhan yang sadar bahwa kita “dihidupi” oleh yang Maha Hidup.

Perhatian kita pada “ujian hidup”, saya rasa, adalah pangkal pengetahuan untuk semua urusan. Dalam konteks tulisan ini, meletakkan anak-anak kita sebagai “ujian” bagi diri sendiri, keluarga dan bahkan masyarakat, merupakan ikatan moral yang melampaui naluri-naluri dasar kita dalam hal ‘kepemilikan biologis’ terhadap anak, yang seringkali membawa kita pada sikap-sikap berlebihan. Tak jarang, terhadap anak-anak kita, berbagai bentuk display hidup kita timpakan kepada mereka. Kita ingin agar mereka menjadi “wakil paripurna” dari keberadaan kita. Dalam beberapa kasus, status sosial yang (mungkin) kita rasa sebagai pencapaian hidup –-baik dalam arti posisi di masyarakat ataukah dalam arti citra kekayaan material yang diperoleh—kita pelihara sedemikian rupa melalui penampilan anak-anak kita.

Saya pernah mendengar, bagaimana di sebuah sekolah ternama di sebuah kota, guru-gurunya dan bahkan kepala sekolahnya, dengan sengaja memberi “perlakukan khusus” kepada anak-anak tertentu karena mereka hendak menyenangkan orang tua mereka -–karena mereka punya jabatan terpandang dan punya kuasa birokratis di eksekutif atau legislatif di daerah itu–. Tak jarang, oleh mereka yang merasa punya kuasa, mereka seolah-olah bisa setiap saat menggertak, menekan atau “meneror” lembaga pendidikan (baca: Guru dan Kepala Sekolah) hanya karena (hendak) membela anak-anaknya yang tampaknya sok berulah di sekolah dan bisa jadi mereka pun tidak sepenuhnya unggul belajar di sekolahnya.

Jika demikian, terhadap anak-anak kita, yang kini barangkali kita butuhkan adalah sikap belajar bersama dan sikap (maksimal) menjadi contoh di berbagai arena hidup. Untuk perkara “menjadi contoh!”, ini adalah urusan yang amat tidak mudah. Ketika menulis kedua kata ini –-Menjadi Contoh!–, lima jari saya beserta nalar dan nurani saya, terarahkan kepada diri sendiri. Saya berkaca! Dalam renungan ini, teringat kata-kata Kahlil Gibran, dalam Sang Nabi-nya (1981, Pusataka Jaya): “anakmu bukan milikmu; lewat engkau mereka lahir, namun tidak dari engkau; mereka ada padamu, tapi bukan hakmu…”.

Dengan mati-matian kita membela anak-anak kita, sekalipun mereka dalam keadaan ‘salah’ di sekolahnya. Padahal, mungkin akan jauh lebih baik kalau kita memperluas kesadaran bahwa “anak kita tidak pernah salah!”. Kitalah, para orang tua, Guru, masyarakat, media, tokoh-tokoh publik, atau negara, yang “berperan salah” terhadap (proses) pertumbuhan mereka dan terhadap dunia yang mereka bayangkan dan yang mereka lakoni. ***

Penulis adalah Parner di Voice-of-HaleHepu

Surel:basriamin@gmail.com

Tags: basri amin

Related Posts

Basri Amin

Gorontalo, Jangan “Lari” di Tempat

Monday, 1 December 2025
M. Rezki Daud

Guru Pejuang di Gorontalo

Wednesday, 26 November 2025
Rohmansyah Djafar, SH., MH

Subjektivitas Penilaian Hasil Capaian Kinerja ASN: Kelalaian atau Sentimen ? 

Monday, 24 November 2025
Basri Amin

Senggol-Senggolan di Pemerintahan

Monday, 24 November 2025
Pariwisata Gorontalo: Potensi Ekonomi, Ancaman Ekologis, dan Risiko Greenwashing Tourism

Pariwisata Gorontalo: Potensi Ekonomi, Ancaman Ekologis, dan Risiko Greenwashing Tourism

Friday, 21 November 2025
Basri Amin

Pemimpin “Perahu” di Sulawesi

Monday, 17 November 2025
Next Post
Sebelas Tahun Jalan Kol Marten Liputo Rusak, Tak Ada Perhatian, Menuai Sorotan Warga

Sebelas Tahun Jalan Kol Marten Liputo Rusak, Tak Ada Perhatian, Menuai Sorotan Warga

Discussion about this post

Rekomendasi

Personel Samsat saat memberikan pelayanan pengurusan pajak di Mall Gorontalo.

Pengurusan Pajak Kendaraan Bisa Dilakukan di Mall Gorontalo

Monday, 1 December 2025
Personel Satuan Lalu Lintas Polresta Gorontalo Kota mengamankan beberapa motor balap liar, Ahad (30/11). (F. Natharahman/ Gorontalo Post)

Balap Liar Resahkan Masyarakat, Satu Pengendara Kecelakaan, Polisi Amankan 10 Unit Kendaraan

Monday, 1 December 2025
Anggota DPRRI Rusli Habibie bersam Wagub Gorontalo Idah Syahidah RH. (Foto: dok pribadi/fb)

Rusli Habibie Ajak Sukseskan Gorontalo Half Marathon 2025, Beri Efek ke UMKM

Friday, 28 November 2025
ILustrasi

Dandes Dataran Hijau Diduga Diselewengkan, Dugaan Pengadaan SHS Fiktif, Kejari Segera Tetapkan Tersangka

Monday, 13 January 2025

Pos Populer

  • Rita Bambang, S.Si

    Kapus Sipatana Ancam Lapor Polisi

    13 shares
    Share 5 Tweet 3
  • Senggol-Senggolan di Pemerintahan

    13 shares
    Share 5 Tweet 3
  • Ruang Inap Full, RS Multazam Bantah Tolak Pasien BPJS

    13 shares
    Share 5 Tweet 3
  • GHM 2025, Gusnar Nonaktifkan Kadispora

    13 shares
    Share 5 Tweet 3
  • Dugaan Persetubuhan Anak Dibawah Umur, Oknum ASN Gorut Dibui

    13 shares
    Share 5 Tweet 3
Gorontalopost.co.id

Gorontalo Post adalah Media Cetak pertama dan terbesar di Gorontalo, Indonesia, yang mulai terbit perdana pada 1 Mei 2000 yang beral...

Baca Selengkapnya»

Kategori

  • Boalemo
  • Bone Bolango
  • Disway
  • Ekonomi Bisnis
  • Gorontalo Utara
  • Headline
  • Kab Gorontalo
  • Kota Gorontalo
  • Kriminal
  • Metropolis
  • Nasional
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Pendidikan
  • Persepsi
  • Pohuwato
  • Politik
  • Provinsi Gorontalo

Menu

  • Redaksi
  • Tentang Kami
  • Kontak Kami
  • Kode Etik Jurnalistik
  • Pedoman Media Siber
  • Disclaimer
  • Privacy Policy

© 2025 PT. Gorontalo Cemerlang - Gorontalo Post by Div-TI.

No Result
View All Result
  • METROPOLIS
  • PERISTIWA
  • EKONOMI BISNIS
  • SPORTIVO
  • KORAN DIGITAL

© 2025 PT. Gorontalo Cemerlang - Gorontalo Post by Div-TI.