Oleh :
Basri Amin
Sesuatu yang pernah kita dengar atau ucapkan: “utang emas dapat dibayar, utang budi dibawa mati”. Dengan itulah ikatan-ikatan yang kita bangun membuka pandangan tentang orang lain. Pada beberapa keadaan, “utang budi” kita demikian tegas dan terang –terkadang bahkan dirasakan sebagai kewajiban atau tagihan berlintas waktu, bangsa, dan bergenerasi; tapi di kala lain kita (sepertinya) tak bulat bersepakat bahwa apakah dalam setiap pengalaman utang budi meniscayakan “balas jasa?”.
Apakah utang budi merupakan pengalaman bersama? Sehingga akan muncul subjek dan objek. Ada pihak yang berhak menagih dan ada pihak yang wajib merasa tertagih! Ada pula yang berposisi lebih (atas hak tertentu) sementara yang menjadi objek (tagihannya) berada di bawah bayangan tekanan harapan atas tagihan itu.
Sepertinya “utang budi” bisa melahirkan generasi tersendiri. Sejumlah ikatan-ikatan baru berpotensi membesar karena pengalaman bersama atas “budi baik” tertentu dari seseorang/organisasi/negara/rezim/ideologi, yang pada akhirnya memintakan jawaban. Dengan “balas budi”, beban moral dipandang tuntas-lunas-sepadan. Begitulah kenormalannya. Jika kita dilabeli sebagai “orang yang tak tahu berbalas-budi” –atau bahkan dipandang durhaka atau berkhianat–, pastilah sebuah kesedihan yang traumatis. “…ada perlawanan atas tekanan harapan,” demikian tandas Carl Rogers (1987)
Seorang sahabat saya demikian sedih karena pernah diperlakukan sebagai “kacang yang lupa kulitnya!”. Ia sedih karena merasa dinistakan oleh sebuah gumpalan (jasa) “budi baik” dari seseorang yang tak kuasa ia balas dengan cara yang praktis dan harus persis. Ia juga sedih karena merasa sudah “membalas” secara cukup dengan cara-cara yang sudah dipandangnya wajar dan elegan tapi toh tetap dipandang tak sepadan. Terbukti, “balas budi” adalah sebuah pembalasan yang tak pernah bisa sepenuhnya diwujudkan. Pepatah lama “utang budi dibawa mati” berlaku.
Masalahnya, begitu banyak kebaikan yang kita peroleh –di kala hayat masih di kandung badan di atas bumi — apatah lagi ketika jazad sudah di “dalam bumi”. Kita tak pernah mampu membalasnya. Itulah sebabnya, memberi-membalas “budi baik” tetaplah diletakkan sebagai semen-fondasi keadaban kita, kendati tak harus menjadi piranti keseharian yang mengganggu pergaulan-pergaulan kritis kita sehari-hari.
Di sisi ini, kita akan selamanya bertemu dengan dasar-dasar moral (personal dan sosial) dalam bangunan kemanusiaan/kewargaan kita yang diwarnai oleh “saya”, “kita” dan “orang lain” (mereka). Ketika kita terkonfirmasi “menjadi kita” maka yang akan terasa adalah sebuah kesejajaran dalam rasa dan pengalaman (bersama ber-kita). Situasinya akan beda ketika “kita” menjadi “kami”. Di sini, rasa sebagai objek adalah yang dominan. Di baliknya terasa ada penggumpalan (sejumlah) ‘saya’ di antara ‘saya yang lain’. Di sini, yang terjadi adalah bahwa kita tersatukan di dalam ke-kami-an. Di hadapannya, secara bersamaan akan muncul penegasan tentang “mereka” dan “kalian”. Kebersamaan adalah eksistensi yang akan terus kita cari di balik “kita” dan “kami” (Hasan, 1974).
Keberadaan sebuah “Kami” vs “Mereka” adalah modus yang membutuhkan pembacaan tersendiri. Keduanya membentuk pengelompokan. Dan yang paling unik adalah apabila sebuah “Kami” terbentuk dan terorganisasi sedemikian rupa berdasarkan kepada rasa ber-“utang budi” dan dalam rangka mem-“balas budi” tertentu. Kepada kedua pola hubungan ini, kita akan kesulitan membedakan mana yang benar dan mana yang pem-benar-an.
Dalam perkara sehari-hari, sejak kecil kita ditempa untuk pandai berterima kasih dan tulus meminta maaf. Kedua kata luhur ini dibahasakan dengan ungkapan yang berbeda-beda. Banyak cara menyampaikan “terima kasih” untuk berbagai urusan dan untuk beragam pihak, pada bermacam-macam keadaan. Ini juga berlaku, sebenarnya, untuk sebuah sikap mem-balas-budi-baik orang atau kepada apa saja.
Tuhan Maha Baik dan Dia adalah “pembalas terbaik” atas semua kebaikan. Dewasa ini, terapi keseharian (sebenarnya) tengah intens dijalani banyak orang, dalam hal ini, menurut hemat saya, yang dominan tampak adalah apa-apa yang ditawarkan agama sebagai “pelukan-petunjuk” dari Yang Maha Rahim. Uniknya karena mengingat terpaan (identitas) keagamaan seringkali lebih tampak sebagai “identifikasi” diri dan warna kelompok, maka kini tak jarang kita saksikan bagaimana ekspresi keagamaan (rentan) menjadi “penekan-sepihak” di antara sesama manusia.
Kelembutan pesan-pesan Ilahi pada domain “syukur” dan “ikhlas” misalnya, begitu rentan dikempeskan sedemikian rupa di atas tumpukan bahasa “perintah” Tuhan. Padahal, Dia adalah Yang Maha Penyayang dan Yang Maha Tahu “kerentanan” manusia dalam menyembahNya. Kini bisa disangka bahwa egoisme manusiawi begitu mudah tersusupi kepada orang-orang yang memerankan diri sebagai “terapis ruhani” yang kini tengah meluas penampakannya. Jalan “menuju Tuhan” dikesankan tak mengenal kompromi dan belokan duniawi. Kita berharap, yang sepatutnya meluas adalah “Agama” dengan huruf “A” besar. Hanya dengan itulah Tuhan tak ditempatkan –-sadar atau tidak– sebagai (sekadar) ‘pihak’ yang ‘berjasa’ kepada manusia. Keluasan KaruniaNya sungguh tak pantas ditakar dengan hamparan (persepsi dan afeksi) apa pun.
Membalas kebaikan mestilah menjadi bawaan (inheren) dari pertumbuhan ruhani-kemanusiaan kita di planet ini. Kita tak kuasa menemukan penghitung paling handal untuk semua urusan yang disebut sebagai “kebaikan”. Apa yang mampu kita ucapkan sebagai “budi baik” pun hanyalah upaya kita menyadari fakta-fakta hidup. Kita membahasakannya sebagai “budi baik” karena ada subjek pelakunya dan kepada siapa sebuah “perlakuan baik” ditujukan.
Kehadiran yang bermakna di setiap arena kehidupan ini adalah pencarian kita yang tak kenal henti. Menemukan pihak-pihak kepada siapa kita ber-utang budi tentulah harus dicermati dengan cara benar. Tantangannya adalah apa yang terjadi ketika kepastian “utang budi” kita peroleh. Haruskah “balas jasa” menjadi tanggungan sepanjang hayat? Haruskah panggung-panggung “balas budi” didirikan dan digaungkan di mana-mana? Haruskah “daftar harapan” atas jasa-jasa (baik) kita dikumandangkan sebagai tagihan sejarah setiap waktu? Maaf sidang pembaca, ini sekadar percakapan pembuka di awal Juli. Ketika bumi hari-hari ini basah dengan ‘air langit’. ***
Penulis adalah Parner di Voice-of-HaleHepu;
Anggota Indonesia Social Justice Network (ISJN).
E-mail: basriamin@gmail.com











Discussion about this post