Oleh :
Fory Armin Naway
___
Tahun 2045, Bangsa Indonesia genap berusia emas, yakni 100 tahun bergelut sebagai sebuah bangsa yang berdaulat, sejak diproklamasikan oleh Soekarno-Hatta pada 17 Agustus 1945. Menariknya, pada usia emas 2045 mendatang diprediksi Indonesia berada pada fase “Jendela Demografi” (windows of demography). Itu artinya, pada rentang waktu 2020-2045, diprediksi jumlah penduduk usia produktif (15-64 tahun) mencapai 70 persen populasinya, dibandingkan dengan usia yang tidak produktif (65 tahun ke atas).
Beberapa pakar mengingatkan semua komponen di negeri ini bahwa, dalam rentang waktu tersebut, Indonesia harus memiliki formula khusus, terutama dalam hal kebijakan pengembangan sektor Sumber Daya Manusia (SDM) yang unggul dan berkualitas. Jika Indonesia gagal dalam mengembangkan kualitas SDM, maka bukan “bonus demografi” yang diperoleh melainkan “kutukan demegorafi”. Lebih jelasnya, Bonus Demografi bisa tercapai, apabila SDM Indonesia memiliki kualitas yang mumpuni, unggul, produktif dan berdaya saing. Sebaliknya, kutukan demografi akan terjadi, jika jumlah pendududuk yang berusia produktif justru tidak memiliki kualitas yang baik.
Jika demikian komposisinya, generasi kelahiran tahun 2000-an atau mereka yang saat ini masih duduk di bangku sekolah, menjadi garda terdepan dalam menentukan nasib bangsa ini. Pertanyaannya, apa yang harus dilakukan oleh pemerintah, masyarakat dan elemen lainnya dalam mendongkrak kualitas SDM yang berkualitas hingga mencapai puncaknya pada 2045 mendatang.
Melalui jawaban atas pertanyaan itu, maka gerakan Indonesia emas yang dicanangkan oleh Pemerintah pusat, bukan sekadar retorika, tapi harus ada tindak lanjut yang komprehensif, terencana, kolektif dan terarah untuk mengemas proses pendidikan yang berbasis pada ilmu pengetahuan (knowledge), keterampilan (skill), penguasaan teknologi dan karakter kebangsaan yang mumpuni.
Siapapun sepakat bahwa Indonesia harus optimis, namun optimisme yang rasional dan terukur. Optimisme yang rasional dan terukur, adalah sebuah harapan dan cita-cita yang dibarengi dengan berbagai upaya, ikhtiar perjuangan dan kerja keras. Indonesia bisa bermimpi, namun mimpi nyata, bukan mimpi dalam tidur, bukan buaian mimpi kaum rebahan, tapi mimpi yang disertai dengan kesungguhan dalam berjuang, bekerja dan menempa segala kemampuan dan kapasitas diri sebagai warga bangsa.
Jika mengamati fenomena dalam tataran realitas hari ini, paling tidak, terdapat beberapa instrumen yang menjadi tantangan Indonesia emas 2045, baik tantangan secara kelembagaan, tantangan struktural dan tantangan sosial. Namun dalam tulisan ini, penulis lebih menitikberatkan pada “tantangan sosial” yang kasat mata, cukup fenomenal dan bahkan meresahkan. Fenomena itu ada di sekitar kita, bahkan di dalam rumah kita yang perlu mendapat sentuhan-sentuhan solusi untuk mengendalikannya agar tidak menajdi “blunder” bagi bangsa ini ke depan.
Bagaimana mewujudkan Indonesia emas, jika anak-anak muda usia sekolah hari ini yang seakan menjadi kecanduan game online, kecanduan medsos, menjadi kaum rebahan yang selalu menggenggam HP di tempat tidur sekalipun hingga larut malam. Bagaimana mungkin mewujudkan generasi emas, jika anak-anak didik kita hari ini mulai kehilangan jati dirinya sebagai manusia yang seakan-akan memandang HP atau Android sebagai sahabat sejati, orang dekat menjadi jauh dan justru orang jauh yang tidak dikenalnya menjadi sangat dekat.
Lihat saja di Warung-Warung Kopi, di kafe-kafe, di restaurant, di teras-teras rumah, di dego-dego dan di taman-taman, suasana keakraban sudah tidak nampak lagi, suasana “Senyap” di tengah keramaian” sungguh sangat menggejala, karena masing-masing sibuk dengan gadget di tangannya. Kalaupun berada di rumah, seorang anak enggan lagi untuk bersosialisasi malah sebaliknya, menyendiri, mengurung diri bermain game sambil bersorak sendirian hingga lupa waktu, lupa keluarga bahkan lupa kesehatannya sendiri. Yang lebih meresahkan lagi, fenomena game online dan kecanduan medsos saat ini, tidak hanya merebak di kalangan generasi muda di perkotaan, tapi sudah merasuk hingga ke pelosok-pelosok desa sekalipun. Belum lagi fenomena lainnya yang membawa resistensi, seperti kecanduan fitur-fitur pornografi, kekerasan seksual melalui media sosial dan praktek culas lainnya yang dapat berdampak terhadap kesehatan mental dan psikologi anak.
Menurut Kepala Departemen Medik Kesehatan Jiwa Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM)-Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI), Dr Kristiana Siste Kurniasanti, dikutip ABC.net, di Jakarta, Jumat (14/6/2019), Prevalensi khusus kecanduan game online di Tanah Air lebih tinggi populasinya dibandingkan dengan negara-negara maju di Asia. Untuk itu menurut Kristina Siste, Pemerintah Indonesia perlu memiliki kebijakan nasional untuk mengantisipasi dampak adiksi game online demi melindungi kualitas sumber daya manusia di masa depan.
Kecanduan game online dan Medsos, tidak hanya menurunkan produktifitas kerja bagi mereka yang sudah bekerja dan menghambat proses pendidikan anak yang harus menempa skill dan kapasitasnya demi masa depan yang lebih baik, tapi juga yang paling fatal, adalah kerusakan sel-sel otak yang dapat mengakibatkan gangguan kesehatan dalam jangka waktu yang lama.
Menurut Kristina Siste, pada bagian otak pecandu game berpotensi akan terjadi kerusakan, khususnya pada area yang berfungsi untuk mengendalikan diri dan perilakunya. Pada kasus adiksi ada bagian dari otak pecandu yang rusak, yakni area yang namanya pre-frontal cortex. Area ini bertanggung jawab untuk mengendalikan diri, perilaku dan juga impuls, yakni hal-hal yang dilakukan tanpa berpikir lagi. “Jadi kalau bagian ini rusak dia gak bisa lagi berpikir, kata Dr Siste kepada Iffah Nur Arifah, seperti dikutip dari ABC Indonesia.
Bonus Demografi yang menjadi ikon Indonesia Emas 2045, adalah sebuah harapan, namun resistensi mewujudkan hal itu juga, sangat vulgar tersaji dalam ruang-ruang sudut generasi Indonesia yang cukup meresahkan. Itulah salah satu tantangan yang perlu mendapat perhatian, tidak hanya oleh pemerintah, tapi juga keterlibatan seluruh elemen masyarakat di manapun, terutama kesadaran kolektif anak-anak muda untuk mulai berbenah diri dari sekarang. Paling tidak, terdapat kesadaran bahwa generasi emas, tidak hanya dilihat dari usia, tapi ditinjau dari kualitas, kapasitas dan kompetensi yang harus dipersiapkan sejak dini. Hal itu tentu membutuhkan perjuangan dan kerja keras bukan dengan game online dan medsos yang merasuk hingga menjadi candu. (***)
Penulis Adalah ;
Dosen FI UNG dan Ketua PGRI Kab. Gorontalo
.











Discussion about this post