Oleh :
Fory Armin Naway
Dosen FIP UNG dan Ketua TP-PKK Kab. Gorontalo

Marhaban Yaa.. Ramadhan…Selamat Menunaikan Ibadah puasa di bulan suci Ramadhan 1442 Hijriah, Semoga amal ibadah kita menjadi  asbab turunnya Rahmat, Maghfirah atau Ampunan dari Allah SWT untuk segenap kita, khususnya ummat Islam di Jazirah Gorontalo. Saling mendoakan dalam kebaikan, apalagi pada bulan suci Ramadhan, selain menjadi bagian penting dari manifestasi keluhuran sosial kita, juga dapat mengikis secara perlahan berbagai penyakit hati yang terkadang datang dan pergi dalam diri kita, seperti rasa kebencian, dendam, iri hati dan dengki yang keberadaannya sudah pasti  memercikkan noda pada noktah putih hubungan antara sesama manusia.

Secara harfiah, kata Shaum dalam Bahasa Arab berarti menahan diri. Sementara dalam ilmu Fiqih, Shaum adalah menahan diri dari makan, minum dan segala sesuatu yang membatalkan puasa dari terbit fajar sampai terbenam matahari. Menahan diri memiliki makna yang sama dengan “Pengendalian  diri” atau Self Control dengan dua dimensi yang melingkupinya, yakni dimensi spiritual dan dimensi sosial.

Dimensi spiritual dalam puasa, sudah jelas terdapat begitu banyak dalil-dalil yang menjadi rujukan siapapun yang istiqomah yang secara konkrit, dimensi ini dapat terlihat dari beberapa indikator, antara lain membludaknya Mesjid saat Sholat tarwih, shalat wajib dan shalat Sunnah termasuk maraknya pengajian dan tadarussan. Sementara dimensi sosial puasa, nampaknya masih terdapat begitu banyak instrumen yang seakan  “salah kaprah” yang disadari atau tidak, turut juga mempengaruhi kualitas ibadah yang berdimensi spiritual.

Salah satu manifestasi “salah kaprah” kita, diantaranya dapat dilihat dari tingkat konsumsi bahan makanan yang dibutuhkan oleh setiap rumah tangga yang semestinya berkurang pada bulan puasa karena tidak makan-minum pada siang hari,  justru meningkat atau naik dua hingga tiga kali lipat. Salah satu akibatnya, harga-harga bahan makanan seperti beras, sayuran, buah-buahan, daging, ikan, rempah, rimpang  dan sebagainya cenderung mengalami kenaikan.

Ketika puasa mewajibkan ummat Islam untuk mengendalikan nafsu  agar tidak makan dan tidak minum pada siang hari, justru begitu tiba malam hari berbuka puasa, nafsu makan seakan dilepas dengan liarnya. Segala jenis makanan seakan ingin dilahap sebagai “balas dendam”. Jika demikian fenomenanya, lantas dimana hakekat “pengendalian diri”  yang diajarkan dalam puasa? Sebuah ironi sungguh tersaji secara vulgar. Bagaimanapun, indikator kemampuan seorang individu mampu mengendalikan diri adalah pada “makanan”.

Pengendalian diri, mampu mengendalikan diri “bukan pada saat yang dilarang” dan diperintahkan”, tapi rentang waktu hidup manusia adalah pengendalian diri sehingga patut untuk dilatih setiap tahunnya.  Karena sesungguhnya, nafsu manusia setiap detik dalam keadaan siap siaga untuk  menyingkirkan nalar dan nurani dalam setiap jiwa yang lengah.

Dengan begitu, pengendalian diri untuk tidak makan pada siang hari,  bukan hanya sekadar dipandang sebagai perintah dan kewajiban, namun juga dapat dipandang sebagai wahana untuk melatih diri dalam “mengendalikan diri” agar menjadi orang yang bertakwa. Hakekat Takwa adalah mampu mengendalikan diri sehingga berkemampuan yang tinggi meninggalkan segala bentuk larangan-laranganNya dan menjalankan segala perintah-perintahNya dalam 11 setelah puasa.

Sementara itu, entri point puasa bukan hanya sekadar menggugah kesadaran iman yang bersifat self-reflexive, tapi juga menggugah kepekaan kolektif untuk kembali kepada substansi puasa sebagai wahana melatih diri, mengendalikan diri sehingga tidak terjebak pada perilaku-perilaku yang justru memberi kesan yang tidak baik terhadap dunia Islam.

Sebagai gambaran, fenomena ummat Islam yang cenderung “lupa substansi” atau lupa hakekat kesucian Ramadhan, biasanya sangat jelas terlihat pada 10 hari terakhir di bulan puasa. Mesjid mulai sepi ditinggalkan oleh jemaahnya, tadarusan tidak lagi ramai, justru yang mulai padat dan terlihat ramai adalah Mall, super market, pasa Senggol dan pusat perbelanjaan lainnya. Ibu-ibu, kaum remaja, bapak-bapak dan anak-anak sekalipun rela berdesak-desakan, berhimpit-himpitan hanya untuk sekadar berbelanja untuk perrsiapan hari raya, membuat kue, sibuk belanja gorden, perabot rumah tangga, baju baru, sepatu dan aksesories lainnya. Semua itu, menjadikan puasa 10 hari terakhir yang justru bermakna, berbalik 180 derajat, menjadi tidak bermakna.

Itulah wajah Islam di negeri ini. Momentum bulan suci Ramadhan yang dituntut menghadirkan sisi ideal, justru terkadang mempertontonan sisi yang kontradiktif, menghadirkan sudut-sudut yang nampak ironi dan ambigu, bahkan abu-abu dan remang-remang.  Bulan Ramadhan yang sejatinya menjadi wahana untuk melatih  pengendalian diri, justru kita mempertontonkan kevulgaran yang justru jauh dari kata pengendalian diri. Ketika 10 hari terakhir bulan puasa kita sejatinya memanfaatkannya dengan memohon syafaat pengampunan dari semua dosa-dosa, kita justru terperangkap dan terjebak dalam buaian godaan akan kemewahan yang kesemuanya perhiasan dunia semata.

Padahal, setiap kita  ummat Islam diwajibkan memperlihatkan wajah Islam yang elegan, Islam yang  Rahmatan lil ‘Alamin dan Islam yang sehat dengan pemikiran-pemikiran umatnya yang konstruktif. Memperlihatkan wajah Islam yang teguh, konsisten dan istiqomah adalah bagian dari manifestasi dakwah yang dianjurkan. Dalam aplikasinya di lapangan, konsep dakwah itu terdiri dari 3 alternatif, yakni Pertama, Dakwah bil lissan, (dakwah melalui lisan, ceramah dan sebagainya), Kedua,  dakwah bil hal, (dakwah melalui sikap, perilaku atau keteladanan) dan Ketiga, dakwah bil qalam atau dakwah melalui tulisan. (***)

Comment