Oleh:
Dahlan Iskan
BERHASIL kembali mengapung bukan berarti urusan selesai. Itulah nasib kapal gajah-bengkak Ever Given. Ternyata kapal itu masih ditahan di Terusan Suez. Sampai sekarang. Belum tahu pula kapan bisa meneruskan perjalanan ke Rotterdam, Belanda.
Urusan di Suez kelihatannya masih akan panjang. Pemerintah Mesir belum akan melepas kapal kontainer itu sebelum ganti rugi dibayar. “Menit itu terjadi kesepakatan, menit berikutnya kapal sudah boleh jalan,” ujar penguasa Mesir seperti dikutip media di Timur Tengah.
Ganti rugi yang diminta sebesar USD 1 miliar. Atau sekitar Rp 14 triliun. Tapi tidak ada rincian yang bisa dianalisis: pada biaya apa yang paling mahal. Apakah biaya sewa 14 kapal tarik selama satu minggu. Atau biaya sewa dua kapal keruk/sedot pasir –termasuk yang didatangkan belakangan yang kapasitasnya 2.000m3/jam.
Atau itu untuk ganti rugi hilangnya pendapatan Terusan Suez selama satu minggu. Sedang biaya mendatangkan air pasang –penolong utama terangkatnya kapal itu– tentu gratis.
Sebenarnya sudah ada lembaga yang menghitung berapa dolar Mesir kehilangan pendapatan selama satu minggu itu. Menghitungnya pun gampang: berapa kapal yang tertahan di mulut terusan. Baik di sisi Laut Merah di selatan atau pun di sisi Laut Tengah di utara. Jumlah kapal yang tertahan itu 400 buah (dibulatkan). Maka diketahuilah angka kerugiannya sekitar USD 90 juta – sekitar Rp 1,2 triliun.
Tentu angka USD 1 miliar itu bisa dinego. Nego itulah yang memakan waktu –semoga tidak ada di antara 20.000 kontainer di kapal itu yang berisi makanan.
Kapal Ever Given itu milik perusahaan di Jepang. Didaftarkan sebagai kapal Panama. Disewakan ke perusahaan Taiwan. Dioperasikan oleh perusahaan operator.
Mesir tentu tahu siapa yang harus membayar ganti rugi USD 1 miliar itu: pemilik kapal. Bukan penyewa, bukan pula negara Panama.
Pemilik kapal tentu tidak mau membayar ganti rugi itu begitu saja. Harus ada putusan pengadilan dulu: siapa yang salah –alam, manusia atau mesin. Ada pengadilan maritim di semua negara.
Menentukan siapa yang salah itu juga terkait dengan asuransi. Pemilik kapal tentu mengasuransikan kapalnya –bukan penyewa kapal. Lalu klaim asuransinya akan terkait dengan siapa yang salah di kejadian tersebut.
Mungkin saja nilai asuransi itu cukup untuk menutup ganti rugi ke Mesir –setelah angkanya ditawar. Mungkin juga tidak. Urusan masih akan panjang. Bisa pula terjadi pemilik kapal masih harus bersengketa dengan perusahaan asuransi. Dan ternyata memang begitu. Pemilik kapal lagi mengajukan gugatan ke pengadilan di London.
Kapal raksasa sepanjang 400 meter itu sendiri –dua kali lipat lebih panjang dari kapal Titanic–”ditahan” di tengah terusan Suez. Yakni di Danau Pahit yang sangat besar. Ever Given terdeteksi lagi buang jangkar di situ. Disway pun melakukan tracing di mana posisi Ever Given saat ini: ya, lagi buang sauh di tengah danau itu.
Letak danau itu sendiri sekitar satu jam perjalanan kapal Ever Given dari tempat kecelakaan di bagian paling sempit Terusan Suez. Di situlah bagian depan kapal tertancap di lumpur di tepi timur terusan. Sedang buritannya tertancap di lumpur keras di tepi barat. Posisi kapal sepanjang 400 meter itu pun melintang diagonal mengangkangi terusan yang lebarnya 200 meter.
Terusan Suez pun buntu. Kebetulan bagian ini memang belum diperlebar. Yakni sejak dari mulut selatan (dekat kota kecil Suez) sampai Danau Pahit. Di bagian ini kapal-kapal besar harus berjalan hanya 8 knot/jam. Padahal kecepatan Ever Given 24 knot/jam.
Persoalannya: rekaman di sistem kapal itu menyebutkan bahwa saat kejadian di fajar tanggal 23 Maret 2021 itu Ever Given berjalan pada kecepatan 13 knot/jam.
Dengan kecepatan seperti itu kapal memang sulit dihentikan mendadak. Kapal bukanlah mobil yang bisa direm secara spontan –yang sampai menimbulkan suara berdenyit itu. Ever Given pun bisa direm. Tapi dengan kecepatan seperti itu dia baru bisa berhenti tiga kilometer di depan sana. Kalau diukur dengan waktu kapal itu baru bisa berhenti 4 menit setelah direm.
Seandainya pun kapten kapal Ever Given memerintahkan pengereman, kapal pun tidak akan bisa menghindar dari kejadian itu. Tepian Timur Terusan Suez bukan 3 kilometer di depan, tapi hanya kurang dari 100 meter.
Dengan jarak sedekat itu, rem tidak ada gunanya. Apalagi memang tidak ada rem di sebuah kapal. Yang ada adalah baling-baling. Yang kalau diputar ke kanan kapal bergerak maju. Kalau diputar ke kiri kapal bergerak mundur. Atau sebaliknya?
Yang disebut rem kapal adalah mengubah arah baling-baling. Tapi harus ada instruksi dari kapten kapal di anjungan atas ke kepala kamar mesin di perut bawah kapal. Lewat sistem komunikasi antar mereka.
Baling-baling kapal Ever Given sendiri tak terbayangkan: panjang bilah baling-balingnya 9,6 meter. Ada enam bilah. Yang harus mengaduk air laut untuk bergerak maju atau mundur.
Mungkin, pagi itu –seandainya pun ada instruksi kapten untuk membalik arah baling-baling –kapal sudah keburu menabrak tepian sebelum arah baling-balingnya sempat diubah.
Yang serbabesar memang lebih sulit dikendalikan: termasuk kepala besar –eh, besar kepala.(*)
Comment