Oleh:
Dahlan Iskan
YANG ditemukan ITB semakin bagus. Kini disusul UGM –yang menemukan cara baru tes Covid-19. Juga sudah mendapat izin edar dari kementerian kesehatan. Berarti sudah teruji.
Sudah 1.000 lebih ventilator Salman ITB diproduksi. Kian sempurna pula. Berarti sudah bisa diterima di pasar. “Panasonic sudah minta izin untuk ikut memproduksi,” ujar Hari Tjahyono, alumnus yang ikut di tim ventilator itu. “Sudah kita ok-kan,” tambahnya.
Bahkan tim Salman-ITB melangkah ke tingkat yang lebih tinggi: HFNC, high flow nasal cannula. Yakni ventilator dengan kemampuan memasukkan oksigen lebih besar.
Juga sudah mendapat izin edar dari kementerian kesehatan. Lihatlah fotonya. Sudah jauh berbeda dengan ”produksi perjuangan” yang pertama.
Begitulah memang proses penciptaan. Kurang sempurna awalnya. Lalu semakin baik. Yang seperti itu akan menjadi bencana kalau di awal proses sudah dicaci-maki.
Yang ditemukan tim UGM ini lebih membanggakan lagi –meski lebih belakangan. Temuan itu bisa mengatasi banyak hal: perlunya semakin banyak tes, kecepatannya, dan murahnya.
Yang menemukannya: seorang dosen fisika dari MIPA-UGM: Prof Dr Kuwat Triyana dibantu dr Dian Kesumapramudya Nurputra.
Tes Covid cara UGM ini tidak pakai cairan dari hidung. Tidak pula dari tenggorokan. Pun tidak perlu reagen. Tidak pakai lama pula. Kurang dari lima menit sudah ketahuan hasilnya.
Memang ini tes cara baru. Teknologi baru. Penemunya pun bukan dokter. Pakai prinsip fisika.
Yang dites adalah udara dari napas. Caranya: tiupkan udara dari mulut ke kantong plastik. “Kantong plastiknya khusus,” ujar Prof Kuwat saat saya telepon kemarin. “Udara di kantong plastik itulah yang dimasukkan ke alat GeNose,” tambahnya.
Udara itu masuk komputer. Yang terhubung dengan artificial intelligent dan cloud. Oleh komputer udara itu dianalisis cepat. Muncul hasil.
Saya sengaja menghubungi Prof Kuwat kemarin. Untuk mengucapkan selamat. Dan salut. Dan bangga.
Prof Kuwat orang dari desa. Rumah asalnya 10 kilometer di utara kota Boyolali, Jateng. Ia lulusan SMAN 1 Boyolali. Lalu ke UGM.
Prof Kuwat memang dikenal punya banyak penelitian yang berat-berat. Setelah lulus UGM Kuwat melanjutkan ke ITB. Dengan tesis ”Prototype of Pattern Recognition System in Electronic Nose Base on Artificial Neural Network”.
Dari ITB, Kuwat melanjutkan program doktor ke Jepang. Ke Kyushu University. Dengan disertasi: Heterojunction Organic Photovoltaic Based on Phthalocyanine and Perylene.
Grup penelitiannya berada di kelompok fisika material, elektronika hidung dan mulut dan instrumentasi.
Prof Kuwat selalu mengajak dokter satu ini di setiap penelitiannya: Dokter Dian. Semula, dr Dian saya kira perempuan. Ternyata laki-laki. Terlihat dari nama terakhirnya: Dian Kesumapramudya Nur putra. Ia dokter spesialis anak. Pinter sekali.
Penelitian pertama Kuwat-Dian adalah di penyakit TBC, infeksi mulut sampai ke penyakit akibat narkotika. Itu tahun 2016. Sampai sekarang masih berlanjut.
Lalu ada juga penelitian di bidang yang lebih mendesak: penyakit lumpuh layu. Yang biasanya baru ketahuan setelah dewasa. Lantas tidak bisa tertolong. “Padahal harusnya bisa diketahui ketika masih anak-anak,” ujar Prof Kuwat.
Ketika ada pandemi, penelitian itu diarahkan juga ke Covid-19. Dengan bantuan Badan Intelijen Negara (BIN). Sampai berhasil sekarang ini.
Di proses uji coba GeNose itu sudah di cross-check ke sistem PCR. Mereka yang negatif di GeNose juga negatif di PCR. Demikian juga sebaliknya. Dengan presentase kesamaan 92 persen lebih.
Penemuan Prof Kuwat ini akan menyelesaikan banyak hal. Bayangkan, 5 menit selesai. Bayangkan, biayanya hanya Rp 35.000-an. Begitu murah dibanding PCR yang ratusan ribu rupiah itu.
Pun setelah vaksinasi nanti. Tetap bermanfaat besar. Untuk terminal-terminal bus, stasiun KA, pelabuhan dan terutama di bandara.
Itu bisa ikut mengatasi ancaman gelombang kedua Covid-19 –kalau ada. Sekarang ini terlalu banyak penularan dari orang yang merasa sehat. Padahal orang itu mungkin saja kena Covid. Hanya tidak merasa. Tapi tetap bisa menularkan.
Itulah problem di mana-mana di dunia sekarang ini. Termasuk di Tiongkok. Orang seperti tanpa Covid menularkan Covid.
Temuan Prof Kuwat bisa ikut mengatasinya. Justru karena praktis, murah, dan kecepatannya.
Kok namanya GeNose?
“Dulunya saya beri nama e-Nose. Electronic-Nose. Waktu masih untuk TBC, belum untuk Covid-19,” ujar Prof Kuwat. “Tambahan G itu karena ini Gadjah Mada,” katanya.
Tapi seberapa kuat Prof Kuwat?
“Ayah saya petani. Awalnya beliau memberi nama saya Riyono saja,” ujar Prof Kuwat.
Lalu, waktu SD sering berkelahi. Selalu menang. Riyono dianggap kuat sekali. Maka ketika lulus SD, di ijazahnya tertulis nama: Kuwat Triyana (baca: Triyono).
Zaman itu di desa seperti itu. Terutama kalau ada beberapa murid dengan nama sama.
Ternyata Kuwat memang kuat.
Saya yang justru masih tetap di RS. Belum juga negatif Covid, setelah 9 hari opname.
Fisikawan seperti Prof Kuwat dan dokter anak seperti Dian telah mencatatkan karya kebanggaan nasional.(*)
Comment