Oleh:
Husin Ali
1. Di Antara Awan, Ingatan, dan Harapan
Tulisan ini lahir di udara — di atas pesawat menuju Makassar. Di antara deru mesin dan awan putih yang berarak, pikiran saya melayang pada perjalanan studi seorang sahabat, Mellisa Wala, SE., MM, kandidat Doktor Antropologi pada Universitas Hasanuddin Makassar yang saat ini menjabat sebagai Wakil Ketua Kwartir Cabang Gerakan Pramuka Kota Gorontalo.
Sosok Perempuan Ulet dan Kreatif yang menggambarkan sinergi antara ilmu, pengabdian, dan jiwa kepramukaan — contoh nyata bagaimana seorang Pramuka Puteri tidak berhenti belajar, tidak berhenti berbuat, dan tidak berhenti menjadi terang bagi sekitarnya.
Namun di sela-sela penerbangan itu, ingatan saya menjejak ke tanah — ke dataran Gorontalo di ujung Limboto yang hijau dan penuh riwayat: Bumi Perkemahan Bongohulawa. Sekitar 18 kilometer dari Kota Gorontalo, tempat itu bukan sekadar lokasi kegiatan.
Ia adalah ruang kebudayaan yang hidup, di mana setiap langkah Pramuka berpadu dengan denyut bumi dan irama alam. Dari sanalah, generasi muda belajar tentang arah dan makna perjalanan.
2. Bongohulawa: Dataran Pegunungan yang Menyimpan Sejarah
Bongohulawa adalah dataran pegunungan di wilayah Limboto, Kabupaten Gorontalo, tak jauh dari hamparan Danau Limboto yang melegenda. Tempat ini seperti pelataran luas di antara langit dan air — di mana bumi terasa hidup, dan semangat Pramuka berpadu dengan denyut masyarakat.
Udara di sana membawa kesejukan yang khas. Pagihari, kabut menari di antara pepohonan hijau di kawasan Bumi Perkemahan; sore hari, langit memantulkan warna keemasan Danau Limboto yang tenang.
Saya masih menyimpan ingatan yang dalam tentang Perkemahan Wirakarya Nasional tahun 2006, yang dilaksanakan di tanah ini. Saat itu, Bongohulawa menjadi saksi lahirnya bumi perkemahan besar pertama di Indonesia bagian timur. Sebuah tonggak sejarah — tempat tenda-tenda berdiri bukan hanya untuk berlindung, tetapi untuk menyemai persaudaraan dan mengasah rasa kebangsaan.
Kini, dua dekade kemudian, Bongohulawa kembali hidup. Suara riuh peserta PERAN SAKA (Perkemahan Antar Satuan Karya), deru semangat para pembina, dan aroma kopi dari dapur umum berpadu menjadi satu: melanjutkan kisah dari bumi yang sama, dengan generasi yang berbeda.
3. Tolimbuta: Kearifan Lama untuk Kota yang Baru
Dalam perjalanan saya sebagai antropolog, percakapan dengan Dr. Funco Tanipu — sahabat sekaligus sosiolog putra Gorontalo yang sudah sangat banyak meninggalkan jejak akademis di seantero nusantara — sering membuka ruang tafsir baru tentang makna budaya lokal. Salah satu konsep yang paling dalam adalah Tolimbuta.
Tolimbuta berarti “berjalan”. Namun dalam pandangan budaya Gorontalo, berjalan bukan sekadar langkah kaki; ia adalah metafora kehidupan, hubungan sosial, dan kesadaran ruang. Berjalan berarti menenun makna antara tubuh, alam, dan nilai-nilai sosial — sebuah proses menjadi manusia yang seimbang.
Ironisnya, dunia modern baru kini ramai berbicara tentang “walkable city”, kota yang nyaman untuk berjalan kaki. Padahal, ratusan tahun silam masyarakat Gorontalo telah hidup dalam filosofi itu. Kita hanya perlu menamai kembali kebijaksanaan lama itu: “Tolimbuta — local wisdom for a cultural walkable city.”
Dalam bahasa Gorontalo, Tolimbuta tidak berdiri sendiri. Ia berhubungan dengan konsep lain seperti dalalo, mohuwato, mopoto, ntale-ntalengo, mba-mbayonga, hingga jale-jalena. Semua istilah itu membentuk kosmologi gerak manusia Gorontalo — yang melihat ruang bukan sekadar lokasi, tetapi tempat berelasi dan berbagi makna.
Jika konsep-konsep ini dihidupkan dalam tata kota modern, Gorontalo dapat menjadi “Kota Budaya yang Berjalan” — tempat di mana manusia, alam, dan nilai hidup saling berpadu secara harmonis.
4. Pramuka dan Ruang Belajar Kehidupan
Sebagai Ketua Kwartir Cabang, saya percaya bahwa Pramuka adalah pendidikan sosial paling alami di negeri ini. Ia bukan sistem yang dibangun di atas teori, melainkan tumbuh dari pengalaman hidup bersama.
Bongohulawa menjadi ruang tempat anggota Satuan Karya belajar tentang arti berjalan dalam pengertian Tolimbuta: berjalan bersama, bekerja bersama, dan tumbuh bersama. Di sana, rasa individual larut menjadi solidaritas, dan kompetisi berubah menjadi kolaborasi. Inilah pendidikan karakter yang sejati — bukan hasil ceramah, tetapi buah dari pengalaman dan kebersamaan.
5. Semangat “Beraksi, TorangBekeng Bae”
Di sinilah moto Gerakan Pramuka yang kami kemas dari Kwarcab Kota Gorontalo — “Beraksi, Torang Bekeng Bae” — menemukan makna terdalamnya. Moto ini sesungguhnya lahir dari denyut politik lokal yang bernuansa kultural.
Ia terlahir dari pasangan pemimpin Kota Gorontalo — Kak H. Adhan Dambea dan Kak Indra Gobel, Wali Kota dan Wakil Wali Kota Gorontalo — yang dalam gerakan Pramuka menjabat sebagai Ketua Majelis Pembimbing Cabang dan Wakil Ketua Majelis Pembimbing Cabang.
Kalimat “Torang Bekeng Bae” mula-mula menggema sebagai seruan politik yang membahana — panggilan moral kepemimpinan yang berpihak pada rakyat, sederhana namun menyentuh. Kini, dalam bingkai kepramukaan, semboyan itu menemukan ruang hidup baru sebagai nilai sosial yang menggerakkan: ajakan untuk berbuat baik, bersatu, dan membawa manfaat nyata bagi masyarakat.
Lebih dari itu, “Beraksi” bukan sekadar kata kerja, melainkan akronim dari nilai-nilai kepemimpinan yang berpadu dengan visi dan misi Wali Kota dan Wakil Wali Kota Gorontalo: yang dalam Kwarcab Kota Gorontalo kami tampilkan dalam empat phrasa bermakna yaitu Berakhlak, Akuntabel, Sigap, dan Inovatif.
Nilai-nilai ini menggambarkan keterpaduan antara visi pemerintahan dan pembangunan karakter manusia. Pramuka pun menerjemahkannya dalam pendidikan sosial: menjadi insan yang berakhlak, bertanggung jawab, sigap, dan inovatif dalam kebaikan.
“Beraksi” adalah semangat progresif; “Torang Bekeng Bae” adalah ruh kultural yang membumi. Ketika keduanya berpadu, lahirlah etos kepemimpinan khas Gorontalo — Gerakan Pramuka yang berakar pada budaya, berjiwa sosial, dan berorientasi pada kebaikan bersama dan diharapkan mampu membangun Karakter Peserta Didik.
Epilog: Menyatukan Langkah, Menjaga Arah
Waktu boleh berganti, generasi silih berganti, namun semangat berjalan bersama tidak boleh padam. Sebagaimana Tolimbuta yang mengajarkan kita untuk terus bergerak sambil menjaga arah, Pramuka pun mengajarkan bahwa setiap langkah kecil akan berarti bila dijalani dengan hati.
Bagi generasi muda — berjalanlah dengan gagah dan penuh rasa ingin tahu, karena dunia menanti langkah-langkah berani kalian. Bagi para pembina dan orang tua — bimbinglah dengan kasih dan kebijaksanaan, sebab nilai hidup tak selalu lahir dari ruang kelas, tapi dari pengalaman nyata di lapangan. Dan bagi para pemimpin — pahamilah bahwa membangun manusia sama pentingnya dengan membangun kota.
Di Bongohulawa — bumi yang memeluk langit Limboto — kita belajar bahwa berjalan bersama lebih indah daripada berjalan sendiri. Kita belajar bahwa Pramuka bukan hanya seragam dan lambang, tapi cara hidup untuk menyalakan nilai-nilai kemanusiaan.
Maka marilah kita rawat semangat itu. Jadilah bagian dari Tolimbuta baru — langkah kultural menuju Indonesia yang lebih beradab, lebih berpihak pada nilai, dan lebih berakar pada budaya.
Salam Pramuka!
Langkahmu adalah aksi.
Aksimu adalah kebaikan.
Dan kebaikan itu — adalah jejak yang akan dikenang oleh waktu.
“Langkah dari Bongohulawa bukan hanya perjalanan,
tapi pesan tentang kehidupan — bahwa aksi, budaya, dan kebaikan
bisa berjalan seiring dalam satu napas Gorontalo.” (*)
HusinAli :seorang antropolog yang menaruh perhatian pada kajian pendidikan karakter berbasis kearifan lokal, ruang publik, budaya kreatif perkotaan, dan interaksi sosial antara kebijakan dan kehidupan warga.












Discussion about this post