Oleh:
Muhammad Makmun Rasyid
Peristiwa penangkapan RD (41), terduga pelaku pembakaran tiga masjid di Maros, Makassar, dan Pangkep, Sulawesi Selatan, menyisakan luka mendalam sekaligus keprihatinan serius. Bagaimana mungkin rumah Tuhan yang seharusnya menjadi tempat paling damai dan teduh justru dijadikan sasaran penghancuran? Lebih memilukan lagi, pelaku mengaku bahwa tindakannya dilatarbelakangi oleh keyakinan bahwa perempuan tidak boleh salat di masjid. Inilah bukti nyata bahwa tafsir agama yang sempit dan keliru dapat bertransformasi menjadi tindakan kriminal, bahkan menyerupai perilaku terorisme yang merusak sendi-sendi kerukunan umat.
Jika ditelaah lebih jauh, tindakan RD memperlihatkan pola yang sering ditemukan dalam studi tentang terorisme. Terorisme lahir bukan semata dari kebencian, melainkan dari keyakinan ideologis yang dibangun di atas tafsir keagamaan yang kaku, eksklusif, dan absolut. Mereka yang terjerat merasa memiliki legitimasi moral dan spiritual untuk memaksa kanpan dangannya kepada orang lain, bahkan melalui kekerasan.
RD membakar masjid bukan karena motif ekonomi atau dendam pribadi, melainkan karena sebuah keyakinan yang ia anggap sebagai kebenaran. Pola semacam ini mirip dengan apa yang dalam literature keamanan disebut sebagai lone actor terrorism, yakni aksi terror individu yang termotivasi oleh ideology tertentu tanpa harus menjadi bagian dari organisasi besar. Bahayanya justru lebih besar karena sulit terdeteksi sejak dini, sekaligus menegaskan bahwa radikalisasi bisa tumbuh dalam ruang-ruang sosial yang selama ini dianggap aman.
Yang lebih ironis, tafsir yang dipegang RD sama sekali tidak sejalan dengan khazanah fikih Islam. Tidak ada satu pun ulama besar dari empat mazhab yang mengharamkan secara mutlak kehadiran perempuan di masjid. Memang, para ulama berbeda pendapat dalam member penekanan.
Imam Syafi’i menegaskan bahwa salat di rumah lebih utama bagi perempuan, namun tetap membolehkan mereka datang ke masjid dengan menjaga adab. Imam Malik menilai kehadiran perempuan muda ke masjid kurang disukai, tetapi tidak melarang. Mazhab Hanafi juga membedakan hokum bagi perempuan tua dan muda, tetapi sekali lagi, tidak menutup pintu masjid secara total. Bahkan mazhab Hanbali memperbolehkan perempuan hadir bersama laki-laki selama tidak berhias berlebihan dan dengan izin suaminya.
Benang merah dari perbedaan itu jelas, yakni tidak ada pengharaman mutlak. Hadis sahih yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim menyebutkan: “Janganlah kalian larang hamba-hamba perempuan Allah dari masjid-masjid Allah.” Berdasarkan ini, para ulama menekankan bahwa larangan hanya berlaku dalam situasi tertentu yang rawan fitnah, bukan sebagai hukum universal. Klaim RD bahwa perempuan haram ke masjid jelas merupakan penyimpangan dari ajaran Islam yang sesungguhnya. Ia hanya mengutip sepotong riwayat dari Sayyidah Aisyah tanpa memahami konteks sosialnya, lalu menjadikannya sebagai legitimasi untuk bertindak secara ekstrem.
Dari sinilah kita melihat betapa pentingnya literasi keagamaan yang sehat. Agama tidak boleh dipelintir hanya melalui potongan-potongan teks tanpa pengetahuan mendalam. Di sinilah peran ulama dan lembaga keagamaan menjadi sangat penting, yaitu untuk terus menghadirkan penjelasan yang komprehensif agar masyarakat tidak mudah terseret pada tafsir menyimpang. Agama, apabila dilepaskan dari otoritas keilmuan dan bimbingan ulama, berpotensi menjadi pisau bermata dua. Di satu sisi sebagai sumber kebaikan, namun di sisi lain dapat menjadi justifikasi bagi kekerasan.
Kasus RD juga menegaskan bahwa moderasi beragama bukan sekadar jargon, melainkan kebutuhan yang sangat mendesak. Moderasi beragama mengajarkan keseimbangan, menolak klaim kebenaran tunggal, menghindari kekerasan, dan menghormati keragaman. Di Indonesia, moderasi beragama berpijak pada empat indikator utama, yaitu komitmen kebangsaan, toleransi, anti-kekerasan, dan penerimaan terhadap tradisi. Jika nilai-nilai ini dijalankan secara konsisten, maka tafsir keliru seperti yang diyakini RD tidak akan menemukan ruang untuk tumbuh dan berkembang.
Negara pun tidak boleh absen. Aparat hukum harus menegakkan keadilan secara tegas dan transparan demi menumbuhkan kepercayaan publik. Namun penegakan hukum saja tidak cukup. Upaya itu harus berjalan beriringan dengan penguatan literasi keagamaan di masyarakat, baik melalui pendidikan formal mau pun non formal. Organisasi keagamaan seperti MUI dan ormas-ormas Islam perlu lebih proaktif dalam mengarusutamakan Islam yang moderat, seimbang, dan ramah terhadap perbedaan.
Di Gorontalo sendiri, tantangan terhadap kerukunan umat beragama masih menyisakan pekerjaan rumah. Misalnya, di Desa Tanjung Karang, Kecamatan Tomilito, Kabupaten Gorontalo Utara, terjadi ketegangan internal umat Gereja Protestan Bukit Kasih. Sekelompok umat mendirikan tempat ibadah sendiri karena jarak ke gereja induk dianggap terlalu jauh. Namun, mereka belum mendapatkan izin dari Sinode, sehingga memicu ketegangan internal yang belum tuntas. Di tempat lain, di Kabupaten Bone Bolango, dua paguyuban warga Sunda berselisih soal kepemilikan tanah yang telah bersertifikat. Persoalan ini telah masuk ke ranah hukum, dan sejumlah mediasi telah dilakukan oleh Kementerian Agama dan KUA. Kedua kasus ini menegaskan bahwa konflik sosial keagamaan dapat muncul dalam berbagai bentuk, bukan hanya dalam kekerasan ekstrem, tetapi juga dalam dinamika internal umat dan ketegangan antar organisasi.
Gambaran nasional juga menunjukkan hal serupa. Dalam pemetaan terakhir, tercatat 57 kasus gangguan kerukunan di Indonesia dalam berbagai skala. Bahkan meskipun semua kasus telah ditindaklanjuti, peristiwa serupa kerap berulang. Hal ini menandakan bahwa penyelesaian reaktif tidaklah cukup. Kita membutuhkan strategi preventif yang lebih terstruktur dan berjangka panjang. Edukasi lintas iman, literasi keagamaan, penguatan kapasitas tokoh lokal, serta rekayasa sosial berbasis kearifan local harus menjadi agenda prioritas. Tanpa itu, konflik keagamaan hanya akan menjadi siklus yang terus berulang.
Kasus pembakaran masjid ini adalah alarm bagi kita semua. Ia menunjukkan bahwa bahaya tafsir keliru bisa mengancam rumah Tuhan kapan saja. Kita tidak boleh lengah, sebab benih ekstremisme seringkali tumbuh dari hal-hal kecil yang diabaikan. Tugas kita bersama adalah menjaga agar tafsir semacam ini tidak berkembang, dengan memperkuat moderasi beragama, memperluas literasi keislaman, dan memastikan penegakan hukum yang adil. Hanya dengan itu, masjid dan rumah ibadah lainnya akan tetap menjadi ruang suci untuk mendekatkan diri kepada Tuhan, bukan menjadi tempat yang terbakar oleh kebencian dan kekeliruan yang merusak kemanusiaan. (*)
Penulis adalah Pimpinan Pusat Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama 2025-2030











Discussion about this post