Oleh:
Fandri Anani
Pakaian bukan sekadar kain yang menutupi tubuh, tetapi juga cerminan identitasdan cara kita ingin dilihat oleh dunia. Setiap potongan pakaian bisa menceritakan kepribadian, selera, bahkan status sosial pemakainya. Tak jarang, merek atau label menjadi tolok ukur gengsi di mata masyarakat, sehingga pilihan berpakaian terkadang lebih dipengaruhi oleh persepsi orang lain daripada kenyamanan diri sendiri. Instead, di balik setiap potong pakaian, tersimpan kisah tentang value, choice, and how to look at life.
Selain social function dan estetika, ada satu sisi pakaian yang sering terabaikan, yaituits Sustainability. Pakaian seharusnya juga mencerminkan kesadaranterhadap lingkungan dan tanggung jawab sosial. Di era modern, fashion industry termasuk penyumbang limbah terbesar, mulai dari produksi berlebihan hingga pembuangan tekstil. Di sinilah peran pakaian bekas atau preloved menjadi penting, karena ia menantang cara lama kita memaknai “baru” dan “layak pakai” sekaligus mendorong pola hidup lebih bertanggung jawab.
Ada apa dengan Cabo?
Di kampung saya, Provinsi Gorontalo, cabo atau yang biasa disebut cakar bongkar sudah menjadi pemandangan umum di pasar-pasar harian. Di sini, pakaian bekas dijual secara langsung kepada masyarakat dengan harga yang affordable. Barang-barang yang dijajakan bervariasi, mulai dari pakaian sehari-hari hingga jaket, tas, atau sepatu yang masih layak pakai. Fenomena ini menunjukkan bahwa cabo telah menjadi bagian dari ekonomi lokal yang nyata dan mudah dijangkau oleh masyarakat.
Namun, di balik kemudahan itu, persepsi masyarakat terhadap pakaian cabo tidak selalu positif. Banyak orang masih melihat pakaian bekas sebagai simbol “murahan” yang mempengaruhi gengsi atau status sosial mereka. Akibatnya, sebagian masyarakat enggan membeli meski harga sangat terjangkau, karena takut dianggap tidak modis atau kurang layak di mata lingkungan sosial. Pandangan ini membatasi potensi pakaian bekas untuk menjadi alternatif gaya hidup yang berkelanjutan.
Di sisi lain, bagi penjual cabo, mekanisme ini kini menghadapi tantangan baru. Pemerintah Provinsi Gorontalo mulai melarang peredaran dan penggunaanpakaian bekas impor dengan alasan kebersihan dan kesehatan. Kebijakan ini membuat banyak pedagang kehilangan mata pencaharian, sementara masyarakat kehilangan akses terhadap pakaian murah yang selama ini membantu mereka memenuhi
kebutuhan. Ironisnya, larangan ini belum diimbangi dengan solusi nyata, seperti pengelolaan pakaian bekas lokal atau sistem donasi terstruktur yang dapat mengubah praktik cabo menjadi gerakan sosial yang berkelanjutan.
Second-hand Products Sebagai Trend dan lifestyle
Selama kuliah di Glasgow, pakaian bekas bukan lagi sekadar alternatif murah, melainkan telah menjadi tren yang digemari berbagai kalangan, terutama anak muda. Thrifting markets, pasar vintage, dan event swap pakaian ramai dikunjungi setiap minggu, menunjukkan bahwa barang second-hand bisa menjadi bagian dari gaya hidup modern yang kreatif.
Trend ini mendorong masyarakat untuk melihat pakaian bekas sebagai pilihan yang keren dan unik, bukan karena harga murah atau keterpaksaan. Keberadaan pakaian bekas di Glasgow membuktikan bahwa konsep “reuse” bisa dikombinasikan dengan estetika, kreativitas, dan identitas personal.
Dari sisi konsumen, masyarakat Glasgow, terutama generasi muda, memakai pakaian second-hand dengan alasan fungsional dan estetika, bukan karena status sosial atau gengsi. Mereka menghargai cerita dan karakter di balik setiap potong pakaian, serta mengutamakan kenyamanan dan kreativitas dalam berpakaian.
Barang bekas menjadi media ekspresi diri yang unik, memungkinkan mereka menciptakan gaya personal yang berbeda dari tren fast fashion massal. Hal inijuga menumbuhkan kesadaran bahwa nilai pakaian bukan ditentukan oleh label atau harga, tetapi oleh bagaimana pakaian itu digunakan dan diapresiasi.
Sementara itu, dari sisi produsen dan pengelola, Glasgow memiliki mekanisme sistematis untuk menangani pakaian bekas, salah satunya melalui lembaga amal seperti British Heart Foundation (BHF). Lembaga ini menyediakan tempat donasi di berbagai lokasi, mulai dari toko charity, kampus, hingga pusat komunitas, sehingga masyarakat dapat dengan mudah mendonasikan pakaian yang masih layak pakai.
Barang-barang yang terkumpul kemudian dijual kembali di toko mereka, dan uniknya, hasil penjualan ini tidak untuk keuntungan pribadi melainkan disalurkan kepada yang membutuhkan, seperti pasien penyakit jantung dan program kesehatan masyarakat lainnya. Sistem ini menciptakan ekosistem berkelanjutan, dimana masyarakat tetap mendapat akses ke pakaian layak, donasi berjalan efektif, dan lingkungan terjaga dari limbah tekstil yang berlebihan.
Apakah Gorontalo Harus Berkaca pada Glasgow?
Menurut saya: Ya!. Pengalaman saya di Glasgow menunjukkan bahwa konsep reuse dan donasi pakaian bekas bukan sekadar tren, tetapi bagian dari pola hidup berkelanjutan yang berdampak positif bagi masyarakat dan lingkungan. Masyarakat Gorontalo dapat mengambil pelajaran dari sini, bahwa keberlanjutan bukan hanya soal gaya hidup modern, tetapi juga strategi untuk mengurangi produksi pakaian baru secara berlebihan. Dengan memanfaatkan pakaian bekas yang masih layak,
kita dapat memperpanjang umur pakaian, mengurangi limbah tekstil, dan menekan tekanan terhadap industri fashion yang padat sumber daya.
Konsep reuse ini juga penting untuk menjaga ekologi dan lingkungan di Gorontalo. Limbah pakaian yang dibuang sembarangan dapat menimbulkan masalah, mulaidari polusi tanah hingga pencemaran sungai dan tempat pembuangan akhir. Jika masyarakat dan pemerintah mendorong sistem pengumpulan dan distribusi pakaian bekas, limbah ini dapat dikurangi, sekaligus memberi manfaat sosial bagi warga yang membutuhkan. Pola pikir ini menekankan bahwa barang tidak harus selalubaru untuk bernilai, dan penggunaan kembali adalah bentuk tanggung jawab lingkungan.
Selain itu, adopsi sistem seperti British Heart Foundation dapat diterapkan di Gorontalo dengan penyesuaian lokal. Pemerintah dan komunitas bisa menyediakan titik donasi di pasar, kampus, atau pusat komunitas, sehingga masyarakat mudah mendonasikan pakaian layak pakai. Hasilnya bisa disalurkan kembali kepada warga kurang mampu atau untuk kegiatan sosial, bukan hanya keuntungan bagi penjual. Dengan begitu, cabo tidak lagi hanya sebagai mata pencaharian, tetapi juga menjadi sarana solidaritas sosial dan keberlanjutan.
Yang tak kalah penting adalah perubahan paradigma masyarakat sendiri. Konsumen perlu didorong untuk menilai pakaian dari fungsinya, bukan sekadar harga atau label merek. Memakai barang bekas yang layak tidak menurunkan gengsi, malah bisa menjadi bentuk kreativitas dan kesadaran terhadap lingkungan. Dengan kesadaran ini, Gorontalo bisa menciptakan budaya berpakaian yang lebih bijak, berkelanjutan, dan sosial, yang menggabungkan fungsi, estetika, dan kepedulian terhadap sesama. Sekian. (*)
Penulis adalah Master’s Student at
University of Glasgow
Sumber:
https://gorontalo.tribunnews.com/2023/07/05/masyarakat-gorontalo-diminta-berhenti-HYPERLINK











Discussion about this post