Oleh:
Zulkipli
Kerajinan sulam tradisional banyak ditemui di berbagai daerah, seperti sulam Tumpar dari Suku Dayak, sulam Kasab dari Aceh, sulam Naras dari Sumatera Barat dan tentu saja Sulam Karawo dari Gorontalo. Semua sulam tradisional tersebut memiliki filosofis dan akar budaya masing-masing. Demikian pula dengan Karawo yang telah menjadi bagian dari denyut budaya Gorontalo sejak awal abad ke-18.
Kata “karawo” berasal dari kata “mokarawo” yang dalam bahasa Gorontalo berarti mengiris atau melubangi. Makna ini merepresentasikan proses pembuatannya yang menuntut kesabaran dan ketelitian. Benang kain diurai satu per satu, lalu dirangkai kembali menjadi motif baru yang penuh makna. Setiap helai Karawo lahir dari keterampilan tangan, kepekaan rasa, serta dedikasi yang tidak bisa digantikan oleh mesin.
Bagi saya yang bukan merupakan orang asli Gorontalo, Karawo memiliki kelebihan dari sisi narasi budaya yang kuat. Sulaman halusnya seakan berbicara dengan bahasa yang tak kasat mata, menyampaikan cerita tentang ketekunan, cinta, dan warisan leluhur yang hidup hingga hari ini. Dari helai benang yang disulam dengan sabar, saya merasakan bukan hanya keindahan visual, tetapi juga kebanggaan akan identitas budaya Gorontalo yang terus terjaga.Saya pernah mengobrol dengan seorang perajin Karawo, Ibu Rami Hamza, beliau mengatakan bahwa Karawo bukanlah sekadar mata pencaharian, melainkan bagian dari hidupnya. “Sejak kecil saya belajar menyulam dari ibu. Bagi kami, Karawo adalah warisan yang harus dijaga”,ujarnya.
Karawo sempat tenggelam pada era tahun 2000-an sebagai dampak dari maraknya pakaian pabrikan yang murah sehingga peminat dan perajin Karawo mengalami penurunan. Namun, pada tahun 2010 Karawo mulai bangkit kembali dengan dukungan dari Pemerintah Daerah, Bank Indonesia, Dekranasda (Dewan Kerajinan Nasional Daerah), akademisi, asosiasi dan tentu saja peran media.Sejak saat itu, Karawo menjadi perhatian nasional, bahkan dunia, melalui penampilan desain Karawo di berbagai fashion show tingkat nasional dan global.
Eksistensi Karawo sebagai kerajinan asli Gorontalo semakin kuat dengan pengakuan Indikasi Geografis dari Kemenkumham pada tahun 2024. Sertifikasi Indikasi Geografis ini penting untuk memberikan jaminan kualitas, serta ciri dan karakterisik khas Karawo sebagai produk Gorontalo. Pengakuan Indikasi Geografis ini juga penting untuk meningkatkan nilai tambah dan peluang untuk perluasan pasar Karawo di tingkat nasional dan global.
Sebagai upaya merespon potensi pasar yang lebih luas tersebut, perajin dan desainer Karawo terus bertransformasi dengan menghasilkan karya yang lebih segar dan kontekstual. Bahan yang modern, eksplorasi warna yang lebih beragam, serta motif kontemporer dan adopsi motif dari daerah lain menjadikan Karawo relevan dengan selera mode nasional dan global. Inovasi ini menunjukkan bahwa tradisi dapat berjalan seiring dengan modernitas tanpa kehilangan jati diri. Karawo pun hadir bukan hanya sebagai busana etnik, tetapi juga sebagai simbol ekonomi kreatif (ekraf) yang inovatif.
Eksistensi Karawo sebagai produk ekraf yang inovatif tercermin dari semakin luasnya produk Karawo yang tidak hanya dipasarkan sebagai busana formal, namun berkembang pada busana keseharian, bahkan jersey olahraga. Selain itu, Karawo juga berkembang pada produk aksesoris, seperti tas, sepatu, dan lanyard (card holder). Hal ini membuktikan bahwa Karawo telah menjadi produk ekraf yang terus memberi nilai tambah serta memperkuat pendapatan para pelakunya dan menumbuhkan ekonomi berbasis komunitas.
Keberhasilan Karawo tentu tidak lepas dari peran promosi. Oleh karena itu, berbagai pihak termasuk Bank Indonesia, terus mendorong hadirnya Karawo dalam berbagai eventnasional dan internasional, seperti Karya Kreatif Indonesia (KKI), Indonesia Fashion Week, Paris Fashion Week, Dubai Expo, hingga Couture Fashion Week New York. Kehadiran Karawo pada berbagai event tersebut membuat Karawo semakin dikenal di tingkat nasional dan global, serta menjadi ikon fesyen etnik Indonesia yang berkualitas.
Sebagai salah satu bentuk promosi, sejak tahun 2011 Gorontalo menyelenggarakan Gorontalo Karnaval Karawo (GKK). Ajang budaya ini telah berkembang menjadi kegiatan besar yang masuk dalam Karisma Event Nusantara (KEN) dari Kementerian Pariwisata dengan menampilkan parade busana Karawo di jalan utama kota Gorontalo. GKK bukan hanya pertunjukan visual yang memukau, melainkan juga sarana mempromosikan karya desainer lokal, memperkuat jejaring UMKM, serta menarik wisatawan. Ribuan penonton yang hadir setiap tahunnya memberikanefek berganda (multiplier effect) bagi sektor jasa, transportasi, kuliner, hingga perhotelan, semuanya ikut bergerak, menjadikan GKK sebagai motor pariwisata sekaligus penggerak ekonomi lokal.
Rintisan GKK sebagai bentuk promosi Karawo diperkuat dengan penyelenggaraan Hulonthalo Art and Craft Festival (HACF). Festival ini tidak hanya menghadirkan Karawo, namun semua bentuk ekraf dari Gorontalo, baik kerajinan maupun olahan pangan. Selain itu, HACF menjadi ruang strategis untuk membantu pelaku UMKMdalam meningkatkan kemampuan produksi dan inovasi, serta memperluas pasar dan mendapatkan pembiayaan dari lembaga keuangan.
Gorontalo tentu saja bukan hanya Karawo, namun Karawo telah memberikan inspirasi bagi Gorontalo untuk terus mengembangkan potensi ekraf berbasis budaya dan komoditas unggulan Gorontalo. Masih banyak ekraf dari Gorontalo yang perlu terus dirajut untuk menghasilkan kualitas dan kuantitas yang sesuai keinginan pasar. Satu per satu ekraf Gorontalo perlu didorong untuk mendapatkan Sertifikat Indikasi Geografis dan Hak atas Kekayaan Intektual untuk memberikan jaminan kualitas dan pelindungan dari pemalsuan produk. Sinergi lintas instansi, serta dukungan akademisi dan media memiliki peran penting dalam mendorong berkembangnya ekraf Gorontalo. Maka Indonesia berkarawo pada gelaran HACF dan GKK 2025 akan menjadi momentum kebangkitan ekraf Gorontalo yang berkontribusi positif terhadap perekonomian dan kesejahteraan UMKM Gorontalo. (*)
Penulis adalah Asisten Manajer Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Gorontalo.
Artikel adalah pandangan dan pendapat pribadi penulis, dan tidak mewakili pandangan Bank Indonesia










Discussion about this post